Demonstrasi tanpa Dangdut

—Cerita buat Sulhan Yusuf

Amma’ akan selalu cemas setiap kali ia mendengar mahasiswa di Ujung Pandang menggelar demonstrasi. Adalah Dion, sopir angkutan langganan Amma’, yang tiap hari bolak balik Bantaeng-Ujung Pandang membawa penumpang, yang tiada pernah lupa memberitahu Amma’ setiap kali mahasiswa turun ke jalan. Sulhan pernah meminta Dion untuk tak perlu mengabari Amma’ soal semacam itu, demi menjaga perasaan Amma’. Tapi Dion tak mau menyanggupi permintaan Sulhan lantaran ia sudah terlanjur berjanji kepada Amma’.

Amma’ kerapkali mendadak ke Ujung Pandang, mendatangi kos Sulhan, jika ia telah begitu cemas dengan kabar demonstrasi mahasiswa, sementara Dion tak mendapat kabar apa-apa dari Sulhan. Waktu tempuh antara Bantaeng dengan Ujung Pandang sekitar dua jam. Amma’ akan langsung balik ke Bantaeng sore harinya setelah memastikan Sulhan baik-baik saja. Kalau ia tak yakin dengan keselamatan Sulhan, maka ia akan memaksa putranya itu pulang bersamanya, dan baru mengizinkannya balik ke Ujung Pandang jika Dion sudah melaporkan bahwa situasi aman terkendali. Amma’ trauma dengan aksi demonstrasi mahasiswa, lantaran enam tahun silam, kakak Sulhan, Safwan, tewas ditembak polisi dalam sebuah demonstrasi di depan kampusnya di Yogyakarta.

Sulhan kuliah di IKIP, dan bergiat di Senat Mahasiswa. Ia termasuk penggerak aksi-aksi mahasiswa di kampusnya. Amma’ tak pernah setuju Sulhan mengikuti jejak Safwan menjadi aktivis. Amma’ tentu tak ingin Sulhan bernasib serupa dengan Safwan.

Di tempat kos Sulhan, ada seorang penghuni kos lainnya bernama Javid. Ia seorang mahasiswa jurusan Teknik Mesin, tapi belakangan mulai berpikir untuk pindah ke jurusan Seni Musik, lantaran kian lama ia merasa kian terganggu oleh suara mesin apa saja (dan sejurus dengan itu jiwanya makin tertarik pada suara musik, khususnya lagi musik dangdut). Amma’ menyebut Javid sebagai mahasiswa yang baik karena tak suka ikut demonstrasi. Javid sudah lima tahun kuliah dan selama itu pula ia tak satu kali pun ikut demonstrasi. Setiap kali Amma’ berkunjung ke kos Sulhan, ia selalu melihat Javid di kamarnya, asyik dengan lagu dangdut kesayangannya. Anak muda ini penggemar berat biduan dangdut Elvy Sukaesih. Amma’ ingin Sulhan seperti Javid saja, menjadi anak baik-baik. Tapi Amma’ sungguh tidak tahu kalau Javid bukan hanya malas ikut demonstrasi, tapi juga malas ikut kuliah.

Berbeda dengan Amma’, Abba tak pernah mempersoalkan jika anak-anaknya menjadi aktivis. Abba jelas sedih dengan kematian Safwan, tetapi Abba tak pernah menyesalkan jalan yang dipilih almarhum sewaktu di kampus. Abba dulu aktivis pemuda zaman revolusi. Ia juga memimpin sekelompok pemuda di kampungnya dalam perang kemerdekaan. Ketika sudah merdeka, Abba selalu bersikap oposan terhadap rezim yang berkuasa. Setiap Pemilu digelar, Abba selalu memilih partai yang kritis kepada rezim. Di era Orde Baru ini, ketika seluruh rumah di sekitar situ memasang atribut Golkar, hanya rumah Abba sebatang kara yang memasang atribut PPP. Seorang tetangga berjarak tujuh rumah dari rumah Abba sekali tempo mengikuti kebiasaan Abba memasang atribut PPP. Tapi tak sampai sejam setelah atribut itu terpasang, si tetangga itu didatangi camat dan sejumlah tentara. Ia dipaksa mencopot atribut PPP dan menggantikannya dengan atribut Golkar.

Abba dikenal sebagai lelaki yang kebal senjata. Orang-orang bersaksi pernah melihat Abba ditembak berkali-kali di masa perang kemerdekaan, tapi peluru tak juga menembus kulitnya. Abba kerap terlihat mengiris-iris dan menusuk-nusuk lengannya dengan badik, tapi Abba tak luka atau tergores sedikit pun. Abba melakukan itu kalau seseorang memberi badik padanya untuk diuji apakah badik itu bisa diandalkan atau tidak. Abba akan melemparkan badik itu kepada pemiliknya jika setelah diuji ternyata badik tersebut tidak ada apa-apanya. Kepada pemiliknya ia akan berkata: “Buang saja badikmu itu. Ia hanya berguna untuk mengupas mangga!”

Anak-anak muda yang diterima masuk tentara, selalu datang menemui Abba, dan Abba pun akan memantra-mantrai mereka. Atlet tinju atau pesepak bola, juga kerap mendatangi Abba, minta dimantra-mantrai supaya kuat bertanding. Pernah seorang atlet tinju tak sadarkan diri selama berhari-hari lantaran dihajar atlet tinju lain yang sebelum bertanding dimantra-mantari oleh Abba. Si petinju malang itu baru siuman setelah Abba datang mengobatinya.

Dengan reputasi yang demikian itu, tentu saja tak seorang pun yang berani mendatangi Abba untuk memaksanya mencopoti atribut PPP yang terpasang di rumahnya dan menggantikannya dengan atribut Golkar.

 

***

 

Pemerintah baru saja mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pengendara sepeda motor menggunakan helm. Beberapa tempo sebelum peraturan itu terbit, Presiden meresmikan sebuah perusahaan yang salah satu produksinya adalah helm. Pabrik itu tiada lain merupakan milik putra Presiden. Mahasiswa lantas curiga kalau terbitnya peraturan wajib helm itu ada kaitannya dengan bisnis keluarga Presiden. Kecurigaan mahasiswa makin kuat ketika mendapati bahwa semua helm yang beredar di pasaran merupakan buatan perusahaan milik putra Presiden.

Sabtu, 31 Oktober 1987, Senat Mahasiswa IKIP menggelar aksi protes. Jalan Pettarani di depan kampus ditutup oleh mahasiswa. Tak satu pun kendaraan dibiarkan lewat. Seribuan mahasiswa tumpah ruah di sana. Asap hitam dari ban bekas yang terbakar, membumbung tinggi. Sulhan tampak di antara kerumunan peserta aksi. Ketika gilirannya tiba, ia orasi dengan lantang di atas panggung kayu darurat, di tengah jalan. Para hadirin mendengarnya dengan hikmat sambil sesekali bersorak.

Sekitar pukul 11.00, tiga truk penuh polisi dan lima truk penuh tentara, tiba di jalan Pettarani. Komandan pasukan berbicara melalui pelantang suara agar mahasiswa segera membubarkan diri. Ketua Senat Mahasiswa mendatangi komandan pasukan dan mulai bernegosiasi. Komandan pasukan berkata akan memberi kesempatan mahasiswa menggelar aksi hingga pukul 12.00, tapi Ketua Senat Mahasiswa minta diberi waktu hingga pukul 14.00. Negosiasi berlangsung alot namun akhirnya terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak bahwa aksi hanya akan berlangsung hingga pukul 13.00, dan setelah itu aparat berhak melakukan pembubaran paksa jika mahasiswa masih bertahan.

Menjelang pukul 13.00, tak ada tanda-tanda mahasiswa akan membubarkan diri. Massa mahasiswa bahkan kian bertambah. Jumlahnya kini tak kurang dari dua ribu orang. Jalan Pettarani dan lapangan gerbang kampus disesaki mahasiswa. Dua orang dosen yang tidak muda lagi juga tampak bergabung dan mendapat kesempatan orasi di atas panggung. Keduanya memang dikenal sebagai dosen pembangkang, dan karena itu golongannya tidak pernah melewati jenjang III/b sekalipun telah puluhan tahun mengabdi. Komandan pasukan mulai memerintahkan anak buahnya bergerak maju ketika waktu menunjukkan pukul 12.50. Gerak maju pasukan itu membuat mahasiswa yang bertahan di jalan Pettarani mulai memunguti batu, balok, atau apa saja yang bisa dijadikan senjata.

Tepat pukul 13.00, sirine dari mobil patroli polisi berbunyi melengking. Itu menjadi isyarat bagi pasukan untuk segera memaksa mahasiswa membubarkan diri. Bukannya bubar, mahasiswa malah melempari aparat dengan apa saja. Bentrokan pun tak bisa dihindarkan. Aparat merangsek maju, satu tangan mereka memegang tameng menangkis lemparan mahasiswa, sementara tangan yang lain menggebuki mahasiswa dengan sebatang rotan. Mereka juga menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa. Mahasiswa tak tinggal diam, mereka berupaya menahan gerak maju aparat, meski lama-kelamaan mereka kewalahan dan terpaksa beramai-ramai kabur ke dalam kampus. Pagar gerbang kampus segera ditutup oleh para mahasiswa. Komandan pasukan memerintahkan anak buahnya berhenti di depan gerbang dan membentuk formasi bertahan. Dari dalam kampus mahasiswa memaki-maki aparat yang telah membuat benteng hidup di sepanjang pagar kampus.

“Pulang sana! Tamatan SD dilarang masuk kampus!” kata seorang mahasiswa, disambut sorakan geli mahasiswa yang lain.

Seorang mahasiswa menunggingkan bokongnya ke arah aparat sambil membuka celana jeansnya hingga terlihat celana dalamnya belaka yang berwarna biru. Sembari menggoyang-goyangkan bokongnya, mahasiswa itu berteriak: “Tembak yang ini saja, Komandan!”

Dan benar saja, tembakan tiba-tiba menyalak. Mahasiswa panik berhamburan. Sebagian yang lain kembali melemparkan batu ke arah aparat. Pasukan yang sedari tadi kesal dihina itu, membuka paksa pagar gerbang, lalu merangsek masuk ke dalam kampus. Suara tembakan begitu bising. Sejumlah mahasiswa terkena peluru, karet maupun tajam. Mahasiswa yang lain kocar-kacir, tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa di antaranya, termasuk Sulhan, masuk ke dalam mesjid kampus, pura-pura salat. Tetapi kali ini aparat tak memberi ampun. Mereka mengejar hingga ke dalam mesjid, menangkapi siapapun yang ada di situ kecuali jemaah perempuan. Sulhan tidak termasuk yang ditangkapi lantaran ia sempat-sempatnya memakai mukenah dan berlindung di antara jemaah perempuan yang baik hati padanya.

 

***

 

Meski situasi di kampus sudah demikian panas, dan kemarahan mahasiswa kepada aparat menggema di mana-mana, Javid tetap saja bersantai ria di kamar kosnya. Ia seperti tak terpengaruh oleh hal-hal yang demikian itu. Ketika rekan-rekannya bentrok dengan aparat, ia asyik-asyik belaka di atas tempat tidurnya, ditemani suara merdu Elvy Sukaesih. Ketika Sulhan pulang ke kos dan menceritakan peristiwa bentrokan di depan kampus (dengan maksud agar Javid terpanggil ikut demonstrasi pada hari-hari berikutnya), Javid justru hanya berkata:

“Kalau saja demonstrasi mahasiswa dimeriahkan oleh suara merdu biduan-biduan dangdut, tentu saja bentrokan aparat dengan mahasiswa bisa dihindarkan.”

“Tapi apa kau lupa bahwa konser-konser dangdut juga kerap diwarnai kericuhan?” kata Sulhan.

“Sudahlah! Memang susah bicara dengan orang yang tak mengenal hakikat dangdut!” jawab Javid yang segera pergi menuju warung makan tak jauh dari situ.

Sepulang dari warung makan, Javid terperanjat ketika ia mendapati sebuah kutang berwarna merah jambu tergantung di gagang pintu kamarnya. Mendadak darahnya panas. Ia merasa telah dihina. Kehormatannya dilecehkan. Ia lantas bergegas mendatangi kamar Sulhan dan menggebrak-gebrak pintu kamar Sulhan.

“Keluar kau, Sulhan! Apa kau kira hanya kau yang laki-laki!? Bangsat, kau! Cccuihhh!”

 

***

 

Bentrokan kemarin mengakibatkan puluhan mahasiswa terluka. Seorang mahasiswa bahkan tewas setelah peluru tajam menerjang jantungnya. Minggu pagi, 1 November 1987, almarhum disalatkan di mesjid kampus. Selepas itu, almarhum dibawa ke kampung halamannya, satu jam perjalanan dari Ujung Pandang, diantar oleh ribuan mahasiswa dari berbagai kampus. Ketika ribuan pelayat itu kembali ke Ujung Pandang, di sepanjang jalan yang mereka lalui, mereka melempari setiap kantor polisi dan markas tentara dari atas truk yang mereka tumpangi.

Amma’ segera diberitahu Dion soal situasi di Ujung Pandang. Amma’ cemas dan bermaksud mendatangi kos Sulhan. Tapi Abba melarang Amma’ berangkat lantaran Amma’ sedang tak enak badan. Abba sendiri yang akan berangkat. Abba tiba di kos Sulhan menjelang asar, dan ia balik ke Bantaeng menjelang magrib. Sebelum balik, Abba meminta Sulhan berdiri tegap di hadapannya. Abba lantas mengusap sekujur tubuh Sulhan sambil mengucapkan mantra-mantra.

“Kau jangan surut. Perjuangkan apa yang kau anggap benar!” Begitu pesan Abba sebelum meninggalkan kos Sulhan.

Setibanya di Bantaeng, Abba diomeli habis-habisan oleh Amma’ lantaran tidak membawa Sulhan pulang. Tapi kata Abba, “Kamu tenang saja. Tak akan terjadi apa-apa pada anakmu itu. Percayalah padaku!”

Senin, 2 November 1987, mahasiswa dari seluruh kampus tumpah ruah ke jalan. Lalu lintas lumpuh total. Hanya para mahasiswa yang bebas berpawai keliling kota mengajak masyarakat agar membangkang aturan wajib helm. Di atas sepeda motor yang mereka kendarai, para mahasiswa itu mengenakan panci (yang pantatnya rata-rata sudah hitam pekat) di kepala mereka sebagai pengganti helm. Di setiap panci itu mereka tempeli tulisan: INI HELM.

Usai berpawai, lebih dari lima ribu mahasiswa dari berbagai kampus se-Ujung Pandang itu berkumpul di jalan Pettarani, depan kampus IKIP. Di situ, mereka menggelar mimbar bebas. Terlihat kepulan asap hitam membumbung dari tumpukan ban bekas yang terbakar. Mereka menggelar salat jemaah di jalanan ketika masuk waktu salat. Pukul 17.00 aparat yang sedari tadi berjaga di ujung jalan, memberi ultimatum bahwa aksi harus berakhir pukul 18.00. Tapi para mahasiswa tak mempedulikan ultimatum itu, dan balik menantang aparat berkelahi. “Nyawa dibalas nyawa!” teriak para mahasiswa. Mereka terus menggelar aksi hingga pukul 20.30 ketika aparat mulai bergerak maju dan berupaya memukul mundur mahasiswa.

 

***

 

Berminggu-minggu setelah demonstrasi pada senin malam yang berujung bentrok itu, aparat terus melakukan penangkapan terhadap para mahasiswa yang disebut-sebut sebagai provokator dan pelaku perusakan. Dalam bentrokan malam itu, ratusan mahasiswa terluka dan ratusan yang lain ditangkap, puluhan aparat juga luka terkena lemparan batu mahasiswa, tiga truk tentara terbakar, sebuah pos polisi juga dibakar, dan sebuah mobil berplat merah dirusak hingga remuk.

Meski sudah mentersangkakan delapan orang mahasiswa, polisi belum juga puas. Mereka masih mencari seorang lagi mahasiswa yang disebut-sebut sebagai pelaku tunggal pembakaran tiga truk tentara. Menurut cerita yang beredar, mahasiswa itulah yang melemparkan tiga bom molotov kepada truk-truk tentara yang terparkir berdekatan. Ketiga truk itu sebenarnya diparkir di ujung jalan Pettarani yang cukup jauh dari kerumunan mahasiswa. Truk-truk itu memang tak dijaga ketat, sebab tiada yang mengira akan menjadi target serangan. Ketika itu, aparat berkonsentrasi penuh di front terdepan di gerbang kampus.

Nyaris tiap hari aparat menggrebek kos-kosan mahasiswa mencari si pelempar bom molotov tersebut. Dalam setiap penggrebekan itu, aparat tak lupa menghajar mahasiswa di kamar kosnya lantaran kesal tak mendapatkan buruannya. Rumah kos tempat Sulhan tinggal, tentu tak lepas dari penggrebekan. Rumah kos itu bahkan telah dua kali digrebek lantaran terdapat informasi bahwa sang buron kos di situ. Semua kamar yang ada di kos tersebut diobrak-abrik aparat, kecuali kamar Sulhan. Setiap kali datang menggrebek, aparat-aparat itu selalu saja melewati kamar Sulhan, padahal Sulhan sendiri tengah tidur-tiduran di kamarnya. Selain menghajar mahasiswa yang berada di kamar-kamar kos itu (lantaran gagal menemukan sang buron), aparat juga menghajar si pemilik rumah kos tersebut sebab ia melaporkan memiliki 12 kamar, sementara aparat selalunya hanya menemukan 11 kamar. Hal itu tentu saja karena aparat-aparat itu selalu saja melewatkan kamar Sulhan.

Aksi-aksi penggerebekan oleh aparat itu segera dikabarkan Dion kepada Amma’ dan Abba. Abba tenang-tenang saja, tapi Amma’ langsung lemas. Amma’ lantas memerintahkan Dion pergi menjemput Sulhan saat itu juga. Tak lupa Amma’ membekali Dion dengan sepucuk surat yang isinya: “Ya Allah, cabutlah saja nyawa hamba sesegera mungkin apabila anakku Sulhan tak segera pulang ke Bantaeng seusai membaca surat ini!”

Aksi penggrebekan oleh aparat yang telah berlangsung berminggu-minggu itu baru berakhir ketika seorang mahasiswa mendatangi kantor polisi untuk menyerahkan diri. Dialah pelaku tunggal pelempar tiga bom molotov yang menyebabkan tiga truk tentara hangus terbakar. Dialah sang buron yang dicari-cari selama ini. Keesokan harinya, halaman utama koran-koran memberitakan peristiwa penyerahan diri itu. Koran-koran itu menulis bahwa pelaku pelempar bom molotov yang menyerahkan diri tersebut adalah seorang mahasiswa jurusan Teknik Mesin bernama Javid. []

Makassar, 24 September 2016

Ilustrasi: https://www.visimuslim.net/

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221