Raja Salman, Pete, dan Buku

http://sebarr.com/uploads/content/Jokowi-Salman%20Makan%20besama.jpeg

Tetiba saja  saya tersentak, tatkala seorang karib, Surya Darma, memposting di akun facebooknya, sebuah gambar seikat pete, berjumlah tujuh bongkol, sembari menuliskan pesan, “My beloved belikan saya buah pete pagi ini. Ihhh, tiba-tiba saja saya merasa lebih kaya dari Raja Salman. Sebab segemerlap apapun istananya, haqqul yakin barang dibawah ini tak pernah tersaji di meja hidangannya. Allahumma ‘ainni ‘alaa syukrika wa husni ‘ibadatika…”

Lontaran pesan itu, pastilah banyak menimbulkan penafsiran. Apalagi di era bermedia sosial yang kadang kacau balau ini, karena hoax dan hate spech. Tapi, saya ingin menafsirkannya sebagai sebuah tindakan penuh satir. Bahwasanya, seperti yang diulaskan pada catatan lain Surya di akunnnya, “Kedatangan Salman disambut gegap gempita. Banyak yang sumringah karena ‘bantuan’ ratusan trilliun akan mengalir dalam berbagai bentuk proyek. Bahkan ada yang membahasakannya, Salman datang dengan tujuan ‘charity’. Adakah ini benar ?

Perkara sambutan yang begitu spektakuler ini memang menyita banyak perhatian. Soalnya, di balik harapan yang besar akan maksud kunjungan itu, tersimpan banyak tanda tanya. Maksudnya, banyak masalah-masalah dalam negeri sendiri dari Saudi Arabia yang patut dipertimbangkan, agar dalam memaknai tandangan Raja Salman tidak dalam kerangka yang tunggal; berinvestasi. Dari banyaknya urita yang menguar, semisal anjloknya harga minyak, yang menimbulkan ketidakstabilan sumber pendapatan utama Saudi, keterlibatan Saudi dalam pergolakan politik di kawasan Timur Tengah, baik di Syiria maupun Yaman, menyebabkan pula Saudi terseret dalam pusaran politik global.

Sosok Raja Salman sendiri dipendapatkan sebagai persona yang dilematis. Sosoknya tidak bisa dilepaskan dari representasi penguasa Saudi Arabia, yang dalam sepak terjang kekuasaan para pendahulunya, yang bertumpu pada kekuatan keluarga al-Saud, faham keagamaan warisan Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabisme) dan limpahan minyak, sering menuai kontroversi. Namun, sebagai figur, ada sisi lain dari Raja Salman, yang membuat banyak orang di tanah air, bersimpatik, bahkan memujanya sebagai raja yang agung, sri baginda yang mulia.

Saya rujukkan sisi figuritas Raja Salman pada apa yang ditulis oleh jurnalis Kompas, 2 Maret 2015,  Mustafa Abdurrahman. Dalam paparannya, Mustafa menuliskan bahwa karir politik  Salman, sejak sebelum dinobatkan menjadi raja, amat cemerlang. Ia menjadi Walikota Riyadh selama 48 tahun. Pun yang lebih menarik lagi karena ia didapuk memimpin lembaga kebudayaan dan mengepalai perpustakaan yang mengurus pelestarian budaya dan khazanah. Sebagai pemimpin lembaga kebudayaan dan perpustakaan – dengan koleksi jutaan buku dan dokumen —tentulah Salman bakal dipersepsikan sebagai sosok yang terdidik, walau hidup dalam terungku pemahaman keagamaan, yang sering dianggap terlalu tekstual. Karenanya, kunjungan liburannya ke Bali, tempat yang sarat nilai budaya, selama 6 hari, mungkinkah itu terkait pula dengan pertautan kapasitasnya ini?

Menjawab pertanyaan itu, sebaiknya saya ajak kembali ke soal pete, yang belum tersajikan di meja makan Raja Salman, setidaknya, begitu penabalan Surya dalam sindirannya. Padahal, buah pete adalah buah yang mengandung banyak gizi tinggi, dan punya khasiat sebagai obat berbagai macam penyakit. Dalam tradisi kuliner orang Indonesia, makan pete, sudah menjadi bagian dari budaya makan yang tertanam kuat dalam perjamuan. Satu-satunya masalah terbesar dari pete ini, baunya yang kurang sedap, menyengat bahkan sedari mulut, hingga saat kencing dan berak. Pete sebagai santapan penambah selera makan, diburu karena enaknya, namun diolok sebab baunya.

Demikian pula Raja Salman, ia semirip dengan pete, diburu karena ada pengharapan padanya, dimuliakan sebab sejumlah keinginan di pertautkan dengannya, namun tidak sedikit yang mengecamnya. Saya tidak mau mengatakan, bahwa Raja Salman layak ditandaskan dengan gelar baru sebagai Raja Pete, sebab bisa mengundang kontroversi baru, bisa pula dituduh pelecehan dan penistaan pada raja. Tetapi, yang berani saya pastikan, nasib Raja Salman serupa dengan pete, disanjung sekaligus diolok.

Kala tulisan ini saya bikin, Raja Salman sudah menikmati liburannya di Bali. Berharap pada Raja Salman, agar benar-benar menyelami keindahan alam dan budaya Bali, sebagai seorang mantan pemimpin lembaga kebudayaan dan perpustakaan Saudi Arabia. Dan, di sela jelang makan pagi, siang, maupun malamnya, semoga ada pete goreng yang tersaji. Sebab, pete goreng, jika digoreng agak lama, bakal menjadi coklat kehitaman warnanya, dagingnya mengeriput sedikit, menyerupai buah kurma. Siapa tau Raja salman mengira itu buah kurma, lalu menyantapnya, dan enak maknyus di lidahnya, sembari bertanya,”Ini kurma Indonesia?”

Harapan saya pun berlanjut, setelah perjamuan, Raja Salman penasaran dengan buah yang mirip kurma, namun agak aneh baunya. Lalu ia pun memerintahkan pengawalnya untuk mencarikan buku kurma Indonesia itu, buat ia baca sebelum tidur. Maka siapkanlah buku tentang pete di sisi tempat tidur raja, sebab ketika ia membacanya, sesungguhnya ia sementara mengeja dirinnya.

 

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221