Lalat Saja Masih Berempati

 

Dia yang menjadi penikmat sampah, belajar lama untuk berinteraksi.

Sedangkan, mereka yang tiap hari berinteraksi, belajar lama untuk berempati.

***

“Manusia tak lagi punya rasa empati”. Ucapnya sinis

Terjadi penekaan intonasi, perubahan raut wajah dan bahkan tak ada kedipan yang terlihat. Secara diplomatis, kalimat tanpa majas hiperbola itu, keluar secara spontan dari mulut Asran Salam. Mungkin saja, kalimat itu diperuntukkan pada para pengacau ulung. Tapi entah mengapa, aku yang hanya berjarak sekitar empat langkah darinya, seakan ikut dirajam paksa.

“Apa kau pernah melihat pertarungan brutal antara Mike Tyson dan Evander Holyfield?” Usiaku saat itu masih tujuh tahun. Tapi, melihat bagaimana Tyson di diskualifikasi setelah menggigit telinga Holyfield, bagian itu tak pernah luput dari ingatan. Tak ada bedanya dengan kejadian pekan kedua Kelas Literasi Paradigma Institute, hampir sepekan berlalu. Jangankan lupa, rasa sakit hatiku justru tak kunjung berkurang.

Pukulan keras mendarat di sela-sela alunan musik beraliran Fankot. Musik tempo upbeat dengan bass line yang menggema, seolah menjadi daya tarik bagi pria di sudut kanan bangunan Ipteks. Pria berkulit putih, tingginya kira-kira 170 cm. Jangan bertanya perihal keyakinan, tato salip di lengan kanan, menjadi bukti yang tak bisa terbantahkan. Pria itu tak sendiri, seorang lainnya asik menahan punching pad setiap kali pukulan di layangkan.

Situasi di sudut kiri menunjukkan perbedaan yang mencolok. Suguhan gerak tubuh dipertontonkan pada ruang terbuka. Menurutku, pemandangan itu seperti kawanan lalat yang sedang asik menikmati tumpukan sampah. Jika kamu membayangkan pertunjukan ini seperti sebuah seni, sudah pasti jawabannya adalah bukan. Perpaduan unsur raga, irama dan rasa, ketiganya tak melebur menjadi kesatuan yang harmonis.

Hal yang paling memilukan bagiku adalah, kelas literasi pekan ini, berada di antara dua pergulatan makluk Tuhan, yang boleh jadi telah kehilangan rasa empati. Bila diibaratkan dalam sebuah pertandingan tinju, aku seperti berada di sudut putih (baca: bagian tengah) bangunan ini. Tak ada wasit dalam pertandingan, pergulatan alot berlangsung hingga akhir. Sudut kiri-kanan bangunan ini menyuguhkan duel paling glamor  di sepanjang pertunjukan.

Aku duduk mematung, tak menangkap poin penting pada pertemuan kali ini. Petarung utama dalam kelas literasi adalah Imhe Puan Mawar. Sedangkan aku, hanyalah secuil upil di antara puluhan pegiat literasi. Tak ada yang kondusif selama kelas berlangsung, emosiku mulai tersulut ketika suara pemateri tak lagi terdengar.

“Sial, tak tahu diri, tak tahu malu, tak tahu aturan”.

Rentetan kalimat dengan awalan kata “tak” saling bersahutan dalam hati.

“Bayangkan saja, bagaimana rasanya terjebak dalam kawanan zombie yang siap memangsamu kapan saja”. Hal yang sama terjadi hari itu. Satu sama lain manusia bahkan tak saling perduli dengan apa yang mereka lakukan. Entahlah, mungkin mereka pemilik dunia ini. Hingga aku tak punya kuasa untuk protes. Atau mungkin pula dia adalah pemilik bangunan ini, sedang aku hanyalah penyewa sementara. Ternyata dugaanku tak sepenuhnya benar. Aku memang penyewa sementara, dan mirisnya lagi mereka sama denganku namun bertingkah bak penguasa.

***

Aroma material sisa, menampar hidungku. Meski terlahir dengan organ penciuman yang berukuran lebih kecil, warisan faktor genetik dari orang tuaku adalah satu-satunya bagian tubuhku yang menuai kontroversi. Mulai dari sebutan pesek, hidung nyungsep dan mahkota jambu air, indra yang satu ini memang paling menarik. Tak salah lagi, di beberapa tempat, terlihat tumpukan sampah organik-anorganik yang menjadi bulan-bulanan pasukan lalat. Bangunan ini cukup luas, dan sampah lebih memikat di bandingkan berkencan dengan lalat betina.

Aku berdecak kagum, memahami setiap gerakan. Pola hidup lalat yang menyukai timbunan sampah, membuat mereka berinteraksi antara satu lalat dengan lalat lainnya. Ini lebih memungkinkan bagi serangga dari ordo Diptera ini untuk bersarang dan berkembang biak. Hewan yang memilih berinteraksi dengan gerakan udara ini, tak pernah menggangu satu sama lain. Bila jatah makanan habis, mereka berlalu pergi, tak menggangu yang lain. Entahlah, pemandangan itu semacam bentuk kepekaan mereka memahami sesamanya.

“Bagaimana bisa, serangga yang hanya memiliki sekumpulan neuron di kepalanya, justru lebih berlogika dan berempati?” Aku mencermati sekelilingku, kali ini dengan pandangan lebih jeli. Puluhan manusia, masing-masing dilengkapi satu kepala dan otak berisi 100 juta jumlah neuron di dalamnya. Aku menekuk lutut, memeluk erat dan tetap menjaga keseimbangan.

Keringat dingin, sorot mataku tak berpaling dari pria berbaju hitam itu. Rasanya aku ingin protes pada kalimat yang tadi dia ucapkan. Aku kini terisak dalam hati, kaku dengan tanyaku yang tak terjawab.

“Mengapa manusia tak mampu berempati? Haruskah kami berguru pada lalat?”

Sayup-sayup terdengar musik yang perlahan berhenti. Terjadi pergeseran suasana, tak ada lagi musik Fankot terdengar. Para pengacau di sudut kiri bangunan ini, terlihat lelah mempertontonkan body language miliknya.

“Akhirnya”. Ucapku menunduk, berharap kali ini lebih tenang.

Semenit kemudian, keadaan justru bertambah buruk. Pria berwajah oriental itu mengambil alih daerah kekuasaan.

“Hook…Hook…Hook…”

“Hook…Hook…Hook…”

Irama yang terdengar lebih mirip teriakan pria yang berlari kencang. Entahlah, mungkin pria itu akan mencapai puncak gunung tertinggi.

Aku menarik lengan bajuku, berbalik arah dan akan melangkah pergi.

“Gedung ini, sungguh aku tak membencinya. Hanya saja, lebih baik melepaskan ratusan lalat untuk berinteraksi, dibandingkan menyimpan satu manusia tanpa rasa empati.

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221