Politik Bunga dan Bunga Politik

Pada sepetak pekarangan depan mukim, yang luasnya tidak seberapa, hanya sekira enam kali dua meter, tumbuh beberapa tanaman. Ada pohon sirsak, sebatang jeruk nipis, dan dua pohon bunga asoka, yang warna bunganya, ada yang kuning mentega, dan satunya lagi, merah terang. Mulanya, ada tiga pohon bunga asoka, tapi karena terdesak oleh pohon jeruk, maka saya pun mengorbankan sepohon bunga itu. Sesungguhnya, ada rasa bersalah yang tiada bertepi, setelah sebatang bunga asoka itu saya matikan, sebab sumbangsihnya dalam kehidupan bertetangga sudah teruji manfaatnya. Sementara, pohon jeruk, belumlah setulus asoka dalam menunaikan fungsi sosialnya.

Apa pasal, sehingga bunga asoka ini begitu vital adanya? Sejak saya menempati mukim, setara dengan dua puluh tiga tahun yang lalu, bunga asoka itu sudah ada. Pastinya, ia ditanam bersamaan dengan mulainya masuk mukim, setelah sekian lama bergerilya dengan rumah kontrakan. Begitu bunga asoka ini menunjukkan tajinya, dengan kembangnya yang indah aneka rupa, para tetangga, atau sesiapa saja yang tertarik, sering meminta pada saya, atau pada penghuni mukim lainnya, agar diberikan kembang warna-warni itu. Apatah lagi, jika jelang bulan Ramadan, misalnya, minus tiga hari, hingga hari pertama Ramadan tiba, banyak sekali yang meminta bunga.

Bunga-bunga itu menunjukkan baktinya, dengan cara bersedia dihamburkan di atas pusara, oleh para peziarah yang menziarahi kuburan kerabatnya, khususnya jelang Ramadan. Seperti halnya saat ini, sisa lebih dua puluh hari lagi Ramadan tiba, saya sudah siap-siap bersapa ria dengan para peminta bunga. Syukurlah, kembangnya mulai mekar, padat menggoda. Kini, setiap harinya, beberapa ekor burung pipit sering berkasih-kasihan di sela ranumnya kembang. Pun, ada sepasang burung jalak berani bercinta di antara warna kuning dan merah sang asoka. Saya hanya membatin, sila nikmati mekarnya kembang-kembang itu, saat ini dan di sini. Berkejaranlah dengan waktu, sebab, hari-hari mendatang, para pemburu kembang akan datang memetik bunga merah dan kuning itu.

Suara batin saya menjalar ke alam pikiran. Terlontarlah serupa pikiran, mungkinkah sekaum pipit dan jalak, masih ingin berkasih-kasihan dan bercinta, manakala tak ada bunga yang mekar. Rasa-rasanya percintaan mereka bakal gersang. Karenanya, wahai sekawanan burung, percepatlah musim percintaanmu, sebelum bunga-bunga dipetik, buat menyambung tali silaturahim, antara para peziarah dan kerabatnya di keabadian. Bagi saya bukanlah soal, apa bunga-bunga itu sebagai perangsang cinta sekaum burung, atawa penyambung silaturahim pada keabadian. Toh, dua-duanya, merupakan fungsi bakti paripurna dari sekuntum bunga.

Beberapa waktu belakangan ini, anak-anak negeri saya disita energi dan waktunya oleh banjir karangan bunga di Balai Kota dan kawasan Monas Jakarta, serta Mabes Polri, seriuh perbincangan kala banjir melanda Jakarta, persis ributnya sekaum burung yang berkasihan-kasihan dan bercinta di kisaran mekarnya bunga-bunga, pada pekarangan mukim saya. Karangan bunga yang dialamatkan pada Ahok dan Jarot, menuai perdebatan, yang besaran pendapatnya berujung pada mengapresiasi tanda terima kasih itu, tapi tidak sedikit yang mencibirnya sebagai bagian dari pencitraan yang belum tuntas. Yang pasti, pagelaran karangan bunga, yang berjumlah lebih 5000 buah, untuk Ahok-Jarot, diganjar penghargaan rekor Muri, oleh pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri), Jaya Suprana, pada katagori Parade Papan Bunga Terpanjang.

Pun, demikian yang dialamatkan pada Kapolri di Mabes Polri, apresiasi dan cibiran saling berciutan. Yang jelas, Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, telah menabalkan tutur, bahwa kiriman karangan bunga itu, sebentuk penguat akan bakti yang ingin dimaksimalkan oleh jajaran kepolisisan dalam mengawal keutuhan NKRI. Lebih dari itu, kiriman karangan bunga ke Mabes Polri, merupakan sebentuk nasionalisme warga, yang mengharapkan tetap eksisnya NKRI.

Apa makna yang bisa ditangkap dari perilaku warga ini? Ulasan menarik dari harian Kompas, Kamis, 4 Mei 2017, dengan tajuk urita, “Bahasa Simbolik dari Mayoritas Diam”, patut saya ajukan sebagai bahan pemikiran. Bahwasanya, ini semisal gerakan sosial dari representasi mayoritas diam. Dengan merujuk pada seorang shoolar, pengajar sosiologi komunikasi politik, FISIP Universitas Diponegoro Semarang, Triyono Lukmantoro, mengatakan, pengiriman karangan bunga sebagai “permainan” simbolik kelas menengah.

Lebih dalam Triyono mengungkapkan, “pilihan bentuk komunikasi dengan karangan bunga dilakukan karena penyampaian pesan melalui kata-kata dianggap sudah terlalu banyak dan klise. Sementara unjuk rasa dan mobilisasi massa dianggap menimbulkan kejengkelan dan mengganggu masyarakat. Bunga dianggap universal dan bisa menjadi simbol penegasan bahwa bangsa Indonesia sebagai orang yang punya perhatian, kelembutan, dan kasih”.

Bagi saya, pendapat yang terbelah atas tindakan pengiriman karangan bunga itu, antara apresiasi dan cibiran, dilatari oleh cara pandang yang berbeda. Para pengirim bunga, yang kemudian mendapat sambutan apresiasi, sesungguhnya, serupa dengan tindakan politik, kongkritnya politik bunga. Menjadikan karangan bunga sebagai keterwakilan suara politik yang damai, sedamai burung-burung yang bercinta di sela bunga-bunga asoka. Indah, seindah bunga-bunga yang lagi mekar, harum mewangi, menghidu halaman mukim yang adem.

Sebaliknya, para pencibir, melihatnya dari sudut kebalikannya, sebentuk bunga politik, yang memandang karangan bunga itu, sebagai tindakan yang dilatari oleh pencitraan politik lewat bunga. Karangan bunga tidak lebih dari upaya membangun pencitraan politik. Karenanya, bisa bermuara pula pada adanya bunga-bunga politik. Tudingan bahwa karangan bunga itu setara dengan rekayasa dari pihak tertentu, hanyalah salah satu bukti penguat atas asumsi saya. Tindakan merusak karangan bunga, oleh segelintir demonstran, pun, sebentuk bunga-bunga politik. Jadi, banjir karangan bunga itu, sepastinya telah tiba pada simpaian pendapat, antara politik bunga dan bunga politik.

Akhirnya, saya ingin menyudahinya dengan kembali pada bunga-bunga asoka saya, yang tidak lama lagi akan menjadi arena perebutan kepentingan, antara sekawanan burung, yang acap kali menjadikannya sebagai tempat paling romantis untuk bercinta, dengan para pemburu bunga, yang kerap kali ingin menjadikan bunga-bunga itu, sebagai galah religiositas dan spiritualitas, buat menyambung tali silaturrahim dengan para kerabat di keabadian, pada pusara dekat mukim saya, jelang Ramadan nanti.

Saya hanya sering menyesal. Terutama, bila sudah dekat bulan puasa, tatkala kebutuhan bunga para warga yang ingin ziarah tidak maksimal. Apatah lagi, tindakan saya yang telah mematikan salah satu pohon bunga asoka, akibat kalah bersaing tempat dengan pohon jeruk nipis. Kontribusi pohon bunga asoka yang saya matikan itu sudah amat jelas, sementara pohon jeruk nipis masih berusaha bersaing untuk menunjukkan sari dirinya.

Sesekali pada musim tertentu, pohon jeruk ini sudah berbunga, dan berbuah pula. Beberapa ekor kumbang sering menghisap sari pati bunganya, dan buahnya pun sudah saya nikmati. Tetangga pun sesekali dapat jatah. Namun, sesal yang tak bertepi, hingga kini menerungku saya, sebab, kemauan saya berbagi buah jeruk nipis pada warga yang lewat depan mukim, belum sepadan dengan laku berbagi saya atas bunga asoka itu. Rasanya, beda sekali antara bunga asoka dan buah jeruk, seperti berbedanya antara politik bunga dan bunga politik.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221