Pesta Literasi

Literasi

getaran gerakan-gerakan literasi itu makin hari makin terasa, dan akan bergerak menjadi gelombang literasi, yang akan menghasilkan akumulasi: Gempa Literasi

percayalah, wahai warga Butta Toa-Bantaeng, jikalau gempa literasi itu melanda negerimu, maka derajatmu akan terangkat sangat tinggi melampaui langit, menghunjam ke dalam menembus perut bumi.

anak negeri Butta Toa-Bantaeng ini, ternyata menyimpan potensi-potensi gempa literasi yang tak terkira

Mari satukan potensi, timbulkan getaran-getaran , guna menyongsong gempa literasi, agar negeri ini tercerahkan pikirannya dan tersingkap ruhaninya

 

Narasi-narasi di atas, adalah narasi yang disabdakan oleh seorang murid SD Neg. 5 Lembang Cina Bantaeng, Wasita Rezkya Putri P, yang juara 1  lomba baca puisi FSL2N se Bantaeng, 2017.   Bait-bait yang dirapalkan itu, menandai pembukaan perhelatan Pesta Literasi, Sabtu, 13 Mei 2017, pukul 18.00 Wita, yang diselenggarakan oleh Pemkab Bantaeng, yang digawangi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bantaeng. Pun, syair-syair yang dipuisikan itu, merupakan puisi yang terdapat dalam buku sehimpunan puisi, AirMataDarah, anggitan saya, beberapa tahun lalu.

Saya tidak menduga, puisi yang berjudul “Literasi” itu dibacakan, mungkin karena judulnya yang beresonansi dengan momentum, sehingga penyelenggara tak perlu repot-repot mencari puisi yang sepadan dengan perjamuan literasi. Dan, memang, sesarinya, puisi itu saya bikin, sebagai bentuk pemahatan saya pada dinding ingatan, agar peristiwa-peristiwa literasi yang terjalani, maupun obsesi-obsesi ke masa depan, bagi tanah yang amat saya cintai ini, Butta Toa-Bantaeng,  masyarakatnya bersetubuh dengan jagat literasi.

Pesta literasi yang menghadirkan Najwa Shihab, sang Duta Baca Indonesia, yang terpilih sejak 2016, bagi saya selaku pegiat literasi, rasanya seperti durian runtuh, reski yang tiada terkira, nikmat ilahi yang tak bertara. Kalau boleh saya memuji, saya ajukan dua jempol buat jajaran Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bantaeng, yang dengan segala daya upayanya dalam mewujudkan perhelatan ini. Mungkin, bagi banyak orang, ini hanyalah sekadar peristiwa biasa, semacam rutinitas program, tapi bagi saya lebih dari itu. Kehadiran Najwa Shihab, makin menambah amunisi bergerak, meringsek ke seluruh tulang-belulang literasi anak negeri di Bantaeng.

Sekadar mengingat saja. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya, ketika Kantor Perpustakaan Daerah Bantaeng diresmikan penggunaannya oleh bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah, pun mendatangkan duta baca Indonesia, yang saat itu digenggam oleh Yessi Gusman. Saya hadir pada perhelatan itu. Dan, penanggung jawab selaku kepala perpustakaan adalah  Etha Karim. Setelah Nurdin Abdullah, terpilih menjadi bupati periode berikutnya, perhatian pada perpustakaan, nampak makin meningkat. Salah satu terobosannya, memindahkan perpustakaan ke dalam jantung kota, mengalihfungsikan Gedung Wanita menjadi Perpustakaan Daerah Bantaeng, waima kantornya tetap di pinggiran kota.

Lebih dari itu, pemkab makin menegaskan kuasanya untuk membenahi keberadaan struktur perpustakaan ini. Maka, ditetapkanlah perpustakaan dan kearsipan, yang semula hanya sekadar menjadian bagian dari Dinas Pendidikan, menjadi kantor dinas tersendiri, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bantaeng. Saat ini, kepala dinas perpustakaan dan kerasipan Bantaeng, dijabat oleh Etha Karim. Nampaknya, tugas pemkab yang berdasar pada kuasa yang dimilikinya, telah memaksimalkan landasan dasar infrastruktur dari gerakan literasi, yang merupakan domain yang dimiliki. Mungkin karena budi baiknya itulah, Nurdin Abdullah diurapi penghargaan yang berkaitan dengan perpustakaan.

Formalitas akan keberadaan gerakan literasi, lewat jalur pemerintah, sudah ditancapkan pilar-pilarnya, hingga berwujud menjadi bangunan literasi. Soal apa yang harus dibuat setelahnya, menjadi urusan bersama, antara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah. Urusan gerakan literasi, menuju eksisnya masyarakat literasi, sesungguhnya urusan hidup berjamaah. Pemerintah lewat Dinas Perpustakaan akan bergerak lewat program-program literasinya, sementara komponen masyarakat, lewat para pegiat literasi dan komunitas literasi, bakal berjuang melalui advokasi-advokasi gerakan literasi. Pemerintah dengan jalur strukturalnya, masyarakat  bersama jalan kulturalnya. Maka sinergi di antara keduanya, merupakan harga mati.

Pesta literasi yang malam itu dipandu langsung oleh Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah, yang sesekali bertukaran posisi host dengan Najwa Shihab, disemuti oleh penghadir yang meruah. Kursi yang disiapkan tidak mencukupi, sehingga haruslah sebagiannya duduk bersila di depan panggung. Bintang malam itu pastilah sang tamu, sang duta baca. Menguarlah petuah bertuah dari Najwa, tentang pentingnya membaca. Bukan itu saja, Najwa bercerita bagaimana kehidupan keluarganya, sejak sebelum bisa membaca hingga kini, terkait dengan tradisi literasi di keluarganya.

Najwa kecil sering dibacakan cerita oleh ibunya. Pun, dalam perkembangannya, sang Abi, Quraish Shihab, amat menentukan pertumbuhan tradisi literasinya. Hingga di masa kiwari ini, tatkala menjadi jurnalis televisi, lewat program bekennya, Mata Najwa di Metro TV, tradisi bacanya tiada berhenti. Maka langkah yang amat strategis, ketika Perpustakaan Nasional mendapuknya selaku Duta Baca Indonesia. Dan menurut Najwa, guna mengemban tugas ini, ia memilih mengundurkan diri dari karyawan Metro TV, meski program Mata Najwa tetap ia gawangi.

Para penghadir di pesta literasi ini, amat beragam latar belakang sosial, ekonomi dan pendidikannya. Tak ketinggalan puluhan pegiat dan komunitas literasi yang hadir. Baik yang diundang secara langsung oleh penyelenggara, maupun yang hanya mendapatkan info dari media sosial. Bahkan, dari kabupaten tetangga, Jeneponto dan Bulukumba, hadir mewakili komunitas literasinya. Tentu, ada pula yang hadir karena penasaran pada daya tarik Najwa, yang saban waktu hanya bisa dipandangi lewat kotak ajaib, televisi. Buktinya, kerumunan untuk minta berfoto, baik yang berswafoto, maupun berjamaah seolah tiada putus, antri mengular.

Lalu apa yang mesti dilakukan pasca pesta ini? Titah bupati harus disebarluaskan. Perpustakaan daerah, kecamatan, desa dan keluarahan, mesti menjadi arena yang nyaman untuk membaca. Saatnyalah menjadikan wadah-wadah itu menjadi jajaran terdepan dalam menyiapkan bahan bacaan yang bergizi. Sedangkan, bagi pegiat dan komunitas literasi, harus menafsirkan pesta literasi ini, tidak sebatas perayaan belaka, tetapi merefleksikan bahwa gerakan literasi sudah merupakan jalan juang yang benderang arahnya. Memang, kita hanya sebatas penghadir dan penyaksi pesta, tapi amat konyol jikalau kita tak mampu menikmati durian runtuh penyemangat ini. Setidaknya, dua figur yang ber-talk show itu, Najwa Shihab dan Nurdin Abdullah, dijadikan stempel pembenar akan keabsahan jalan juang yang telah dipilih.

Daya pukau Najwa mesti dihangatkan secara persisten dan konsisten. Bukan Najwa biologis lagi yang dibincangkan, tapi Najwa ideologis yang mesti dikonkritkan. Najwa biologis, kita cukupkan kenangannya pada foto-foto yang sudah menyebar ke seantero penjuru mata angin. Najwa ideologis selaku duta baca, dan ideologi literasinya, yang terpatri dalam tradisi literasinya, bisa menjadi ideologi bersama dalam menguatkan gerakan literasi. Ideologi Najwa adalah ideologi baca, baca, dan hanya baca. Sebab, dengan begitu, maka negeri ini tercerahkan pikirannya dan tersingkap ruhaninya.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221