Dari Amien Rais Menuju Rais Amien

Jika sampai padamu cercaan akan suatu segi kekuarangan. Maka bagiku itu adalah bukti kesempurnaanku  ( Abu Al-‘Ala Al-Ma’arri)

Bukan batu besar yang bakal menjungkalkanmu, tapi batu kerikil yang akan menggelincirkanmu (Guru Han)

Sepekan terakhir ini, jagat berbangsa dan bernegara di negeri ini geger. Baik di dunia maya, maupun di alam nyata, ricuh sericuh-ricuhnya. Apa pasal?  Tersebutlah seorang Amien Rais, yang dikenal sebagai tokoh bangsa, salah satu pengusung  Reformasi Indonesia 1998, sosok Bapak Reformasi, tersandung perkara, yang selama ini sering dikritisinya. Oleh jaksa penuntut atas kasus korupsi alat kesehatan yang mendakwa Siti Fadilah Supari, mantan menteri Kesehatan, menyebut ada aliran dana ke rekening atas nama Amien Rais, sejumlah 600 juta. Amien Rais sendiri membenarkan adanya dana itu, yang berasal dari sumbangan Soetrisno Bachir.

Siti Fadilah telah membantah, Soetrisno pun demikian, mengklarifikasi aliran dana tersebut. Karenanya, Amien Rais berusaha menemui jajaran pimpinan KPK, namun tertolak, karena tidak senafas dengan aturan main KPK. Persoalan, tidak berhenti sampai di sini. Amien Rais pun bertandang ke DPR yang sementara menggulirkan Hak Angket buat KPK, guna memberikan dukungan. Bahkan, lebih jauh, Amien Rais telah mendakwa KPK sebagai lembaga yang dihuni oknum busuk. Dukungan ke Amien Rais mengalir, tapi tidak sedikit yang menyayangkan langkahnya. Pro kontra pun di jagat negeri menguar.

Tetiba saja saya terbawa arus untuk ikut nimbrung dalam kericuhan jagat ini. Sebagai pengagum pikiran-pikiran Amien Rais, wajarlah saya berunjuk pikiran. Dan, motif inilah yang membawa saya ke masa yang silam, tatkala saya masih menjadi bagian dari anak negeri yang senantiasa ikut meramaikan pentinganya perubahan mendasar pada negeri, khususnya periode 80an-90an. Saya pertama kali jatuh pikir pada intelektualisme Amien Rais, setelah menamatkan sebuah buku yang terbit tahun 1984 (Shalahuddin Press), dan cetak ulang 1987 (Rajawali Press), berjudul Tugas Cendekiawan Muslim, karangan Ali Shariati, intelektual asal Iran.

Makna terdalam buku Shariati itu bagi saya, karena buku tersebut diterjemahkan dan diberi pengantar oleh Amien Rais. Saya berani nyatakan, bahwa tidak sedikit kaum muda mahasiswa yang terseret secara intelektual pada buku itu. Apatah lagi, Amien Rais menyodorkan gagasan sentral Shariati, dalam pengantarnya menulis, “para intelektual Muslim hanya akan memiliki makna dan fungsi bila mereka selalu berada di tengah-tengah massa rakyat; menerangi massa melakukan pembaharuan ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih Islami.” Dan, saya melihat, hingga Reformasi  1998, seolah  Ali Shariati sebagai ideolog Revolusi Islam Iran, termanifestasi pada diri Amien Rais.

***

Seputar bulan Oktober 1992, saya ke kota Yogyakarta. Ini kunjungan kedua saya, yang saya anggap sebagai lawatan intelektual. Momentum acara yang saya ikuti kala itu, mewakili HMI-MPO Cabang Ujung Pandang, mengikuti Advance Training, atau Latihan Kader III, yang diselenggarakan oleh PB HMI-MPO, yang digawangi oleh Badko Jawa Tengah sebagai organizing commite.  Pada sela lawatan ini, saya nyambi ikut seminar, yang Amien Rais nara sumbernya. Sebagai kaum muda mahasiswa, bertemu dengan sosok Amien Rais pada sebuah momen seminar, adalah berkah tiada tara. Rasa takjub meluap-luap, karena bersua dengan seorang intelektual sebagaimana gambaran Shariati.

Sejak mulai dari membaca pengantarnya Amien Rais pada buku Shariati, sampai bertemu pertama kalinya, berlanjutlah saya pada perburuan pikiran-pikiran Amien Rais di berbagai media dan buku. Pikiran-pikirannya yang terkompilasi pada buku semisal, Cakrawala Islam, Tauhid Sosial, Menyelamatkan Indonesia, dan lainnya, saya santap sepenuh jiwa. Terbawanya saya dalam arus gerakan menuntut reformasi, pun tidak lepas dari pengaruh intelektualisme Amien Rais. Tentulah bukan satu-satunnya pikiran Amien Rais yang dimamah oleh kaum muda mahasiswa, tetapi menepikannya adalah sebuah tindakan ceroboh secara intelektual.

Pascareformasi 98, Amien Rais melangkah lebih jauh dalam pusaran politik. Seorang intelektual yang menyemplungkan diri dalam pusaran politik. Ia mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), yang mengantarkannya menduduki ketua MPR periode 1999 – 2004. Selanjutnya mencalonkan diri sebagai Capres tahun  2004, berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo  tapi kalah, yang terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, dan Yusuf Kalla sebagai wakilnya.

***

Akibat tersandung aliran dana ini, saya kemudian menelisik lebih khusyuk lagi pada figur Amien Rais. Mungkin ini hanyalah sebuah keisengan, meski nampak serius adanya. Saya gapailah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencari entri yang merujuk pada kata “Amien” atau “Amin”. Darinya saya mendapatkan pengertian, bahwa Amien bermakna terimalah, kabulkanlah. Sementara  kata “Rais” berarti ketua, pemimpin,dan presiden. Jadi, Amien Rais, bolehlah saya maksudkan sebagai, terimalah sebagai pemimpin. Nah, kalau saya membaliknya, Rais Amien, maka tak mengapalah saya memakanainya serupa pemimpin yang diterima.

Sebegitu pentingkah utak-atik nama, atau kata ini? Bagi saya amat penting. Soalnya, saya akan membingkai perjalanan seorang Amien Rais, dalam bingkai pemikiran seorang ahli mitologi, Joseph Campbell, yang mendedahkan konsep perjalanan dari seorang hero (pahlawan) menuju sosok wise (bijaksana). Menurut Campbell, seorang pahlawan melewati 6 tahap penting kehidupannya yang disebut The Hero Journey. Yakni innocence, the call, initiation, allies, breakthrough, dan celebration. Pada tahap innocence, mereka adalah orang biasa. Kemudian mereka tiba-tiba mendapatkan panggilan hidup (the call) yang tidak bisa ditolak. Panggilan tersebut mengharuskan mereka melewati cobaan-cobaan berat (initiation). Untuk melewati cobaan tersebut, mereka sering dibantu beberapa teman-teman setia (allies) yang akhirnya membawa mereka mencapai terobosan (breakthrough) dan keberhasilan (celebration). Dan, setelah tahapan hero, menjadilah wise (bijaksana).

Contoh terbaik dari penempuh perjalanan dari seorang hero ke wise adalah Nabi Muhammad SAW. Perjuangan heroik sejak dari Mekkah ke Madinah, lalu menaklukkan Mekkah, Futuh Mekkah, adalah perjalanan kepahlawanan. Setelah kejatuhan Mekkah, dan Nabi kembali ke Madinah, kehidupannya lebih mencerminkan sosok wise. Pun, dalam sejarah kontemporer, pada diri Imam Khomaeni, setelah menjatuhkan Shah Reza Pahlevi, ia memilih menjadi pemimpin spiritual. Atau, boleh juga mengajukan sosok Habibie, yang setelah presiden, memilih menjadi kehidupan bijak. Begitu juga Gus Dur, setelah dilengserkan, lebih memilih menjadi wise.

 ***

Bagi pecinta Amien Rais seperti saya, ada harapan terdalam, yang belum tentu tersampaikan. Semestinya Amien Rais berhenti jadi hero setelah gagal jadi presiden, dan berjalan menju wise. Peleburan diri dalam koalisi politik di Pilpres dan Pilkada Jakarta kemarin, lebih mencerminkan langkah politik dari politisi. Tindakan heroiknya sekarang dengan mendatangi DPR, bukan meneguhkannya sebagai seorang hero lagi, lebih menabalkan diri sebagai seorang politisi, tindakan politik. Seharusnya, ia menghadapi proses yang didugakan kepadanya. Bagi saya, ini sejenis pintu masuk untuk menjalani kehidupan sebagai wise, seorang bijak bestari.

Sebagai seorang hero yang mewujud politisi, logika terdepannya adalah menang kalah. Tepatnya, pertarungan politik. Sementara sosok wise, pertimbangan utamanya berupa benar salah. Pastinya, menegakkan kebenaran dengan kaidah yang bijak, dan menunjukkan kesalahan melalui cara yang bestari. Dari pijakan inilah, saya ajukan tindakan tawaran ideal, metamorfosis dari seorang Amien Rais, menjadi Rais Amien. Dari keberterimaan sebagai seorang pemimpin, hero, menuju pemimpin bijak yang diterima, wise. Maka, seorang wise dalam konteks ini, akan berbentuk, sosok bapak bangsa atau guru bangsa. Seorang Amien Rais, berubah hakikat, dari Bapak Reformasi menjadi Bapak Bangsa, yang berakhir sebagai Guru Bangsa. Metamorfosis nama Amien Rais menjadi Rais Amien, tidak penting mengubah akte kelahiran, pun tiada perlu potong kambing.

Ketergelinciran karena sandungan kerikil kekhilafan, menunjukkan kesempurnaan sebagai manusia. Dan itulah hero sejati. Karena pada diri manusialah potensi kepahlawanan mengada, lalu mengaktuil dalam rupa wise, kebijaksanaan. Sebagai anak bangsa yang merindukan bapak bangsa, sebagai murid bangsa yang menantikan guru bangsa, sebagai persona yang mengharap pesona Amien Rais menjadi Rais Amien, di pintu gerbang sekolah bangsa, saya dan sekaum pecinta, akan menyiapkan penyambutan yang hangat. Dari seorang hero menjadi sosok wise, dari persona pahlawan mewujud pribadi bijaksana. Yah, dari Amien Rais, terimalah pemimpin sebagai pahlawan-Bapak Reformasi, menuju Rais Amien, pemimpin yang diterima selaku bijak bestari, Guru Bangsa.

 

 

 

 

 

 

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221