Masjid: Lapik Gerakan Literasi

Ayo ke masjid! Itulah ajakan dari tema besar program Badan Kerjasama Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kabupaten Bantaeng. Dan, tema ini pula dipertegas kembali pada acara halalbilhalal yang dihelat pada hari Sabtu, 15 Juli 2017, bertempat di Masjid Sport Centre Pantai Seruni Bantaeng. Rajutan tema yang disodorkan penyelenggara, berbunyi, “ Ayo ke Masjid Membangun Bantaeng Menuju Masyarakat Marhamah”.

Bertolak dari tema itu, disodorkanlah kepada empat pembicara, guna menguraikannya. Ahmad Jailani, Ketua Tanfidziah NU Bantaeng, mengulas topik, “Masjid Sebagai Pusat Peradaban”, Amri Pakkanna, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bantaeng, membahas judul, “Masjid Sebagai Pusat Pengembangan Kesejahteraan Umat”, dan Kepala Kantor Kementrian Agama Bantaeng, memapar bahasan, “Masjid Sebagai Tempat Pemersatu Umat”, serta saya selaku pembina BKPRMI Bantaeng, didapuk membabar poin, “Konsepsi Masyarakat Marhamah”.

Sekotah pembicara, tiba pada simpaian pendapat, bahwa ada yang belum maksimal dari fungsi masjid, baik sebagai pusat peradaban, pengembangan kesejahteraan, terlebih lagi sebagai wahana pemersatu umat. Pasalnya, realitas kekinian, perwajahan masjid lebih banyak sebagai tempat melaksanakan ritus keagamaan, dan cenderung terjebak pada pembangunan fisik masjid. Bahkan lebih dari itu, tak jarang pula, justru dari masjidlah, lewat para dainya menguarkan ujar-ujar yang tidak menguatkan persatuan umat.

Buat apa ke Masjid? Demikianlah pertanyaan yang saya ajukan pada forum perbincangan itu. Soalnya, bila merujuk pada realitas demikian, magnet masjid amat lemah sedotannya. Apatah lagi, jika yang diajak itu adalah sekaum muda belia, yang terhimpun dalam kesatuan usia muda dan remaja. Semestinya, masjid menjadi pusat pengembangan potensi kaum muda dan remaja, lewat pendidikan nonformal yang ditawarkan oleh masjid. Pun, sebaiknya masjid berfungsi sebagai wadah mengasah pengembangan keterampilan, agar kelak kaum muda dan remaja punya bekal untuk menjajal kehidupan yang lebih sejahtera. Dan, di atas segalanya, pastinya, lewat masjidlah kaum muda dan remaja dari umat ini, sedini mungkin disodorkan pemahaman keagamaan yang lebih menguatkan persatuan umat.

Teringatlah saya pada sebuah buku, The Message, yang diterjemahkan menjadi Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, anggitan Ja’far Subhani, yang menulis, “Masjid bukan saja pusat peribadatan. Di Masjid, segala instruksi dan perintah Islam diberikan, dan setiap jenis pendidikan, agama dan pengetahuan, termasuk membaca dan menulis, dilakukan. Hingga awal abad keempat Hijriah, masjid berfungsi pula sebagai sekolah pada setiap saat kecuali waktu salat. Setelah itu, pusat-pusat pendidikan mengambil bentuk khusus. Kebanyakan ulama besar adalah lulusan pendidikan yang telah diadakan di masjid”.

Lebih dalam Ja’far Subhani  meliukkkan tarian kalamnya, “Ada kalanya Masjid Madinah berfungsi sebagai sentra sastra pula. Para penyair besar Arabia, yang karangannya sesuai dengan semangat moral dan pendidikan Islam, membacakan syair-syair mereka di hadapan Nabi. Ka’ab bin Zuhair membacakan syair-syair pujiannya yang terkenal kepada Nabi, di hadapapan beliau, di masjid, dan menerima hadiah besar dan jubah kehormatan dari Nabi. Hasan bin Tsabit, yang membela kehormatan Islam dengan syair-syairnya, biasa membacakan syair-syair kepada beliau di Masjid Nabi”.

Keterangan lain patut saya ajukan, guna menguatkan tradisi literasi awal muslim, yang bahkan saat masjid yang pertama kali dibangun. Ali Syariati menukil peristiwa yang dipaparkan dalam bukunya, Khatim an-Nabiyyin: Min al-Hijrah Hatta al-Wafat, Rasulullah SAW: Sejak Hijrah Hingga Wafat, menoreh tutur, “Dengan cepat dinding-dinding masjid berdiri, dan orang-orang besar yang saat itu meletakkan batu-batu sendi peradaban manusia, menyenandungkan rajaz ini: Kalau kita duduk berpangku tangan // sedang Nabi bekerja // Maka itu tak lain // adalah perbuatan yang menyesatkan.

Dan berulang-ulang pula mereka melantunkan bait berikut ini: Tiada hidup yang paling mulia // Kecuali kehidupan akhirat // Allahumma,ya Allah, rahmatilah // Orang-orang Anshar dan Muhajirin. Rupanya Nabi ingin mengubah bait tersebut, lalu beliau berkata: Tiada hidup yang paling mulia // Kecuali kehidupan akhirat // Allahumma, ya Allah, rahmatilah // Orang-orang Muhajirin dan Anshar”.

Terus terang, selaku pegiat literasi, yang senantiasa merindukan masjid sebagai lapik bagi gerakan literasi, saya tersungkur, jatuh pikir pada ungkapan sejarah dari Ja’far Sughani dan Ali Syariati tersebut. Berdasar pada keterangan tersebut, terkuaklah sudah, bahwa tradisi literasi di kalangan muslim paling awal sudah terdedahkan, sebab bersentuhan langsung dengan laku kenabian. Karya sastra, khususnya puisi yang memuat bait-bait dan syair-syair adalah produk literasi. Karenanya, cukup beralasan manakala dalam konteks kekinian dan kedisinian, saya ajukan ajakan untuk menjadikan masjid sebagai salah satu sentra pengembangan tradisi literasi.

Mari ke masjid! Begitulah ajakan yang saya ajukan. Tentulah kala masjid sudah kembali menjalankan fungsi sosialnya, yang dikendalikan oleh para pengurusnya. Dan, tradisi literasi, sebagai bentuk yang paling dalam dari pendidikan menjadi salah satu tawarannya. Sulit membayangkan masjid menjadi pusat peradaban, pengembangan kesejahteraan, dan persatuan umat, manakala tradisi literasi terabaikan. Tradisi literasi yang berlapikkan masjid, adalah tradisi awal kaum muslim, yang dipandu langsung oleh Nabi. Kembali ke masjid, berarti kembali ke tradisi literasi berbasis masjid. Dengan begitu, masjid telah mewujud sebagai lapik gerakan literasi.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221