Ke Tana Toraja, Yuk!

Untuk kedua kalinya saya bertandang ke Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara—daerah yang sangat terkenal dengan pariwista dan budayanya. Kujungan saya ke daerah tersebut lantaran menemani rombongan Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNM Angkatan 2016 yang sedang mengadakan studi sejarah-budaya—di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara—pada tanggal 14-16 April 2017 lalu. Keberangkatan rombongan yang berjumlah 70 orang ini bermaksud untuk menyelami keindahan dan keunikan objek wisata dan budaya yang terdapat di daerah yang juga dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tanak Matarik Allo. Untuk mencapai tempat tersebut perlu memangsa waktu delapan sampai sembilan jam dengan kendaraan roda empat.

Di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, setidaknya terdapat lima objek wisata dan budaya yang disambangi, yakni: Lemo, Londa, Ke’te Kesu, Buntu Pune, dan Baby Grave. Dalam perjalanan studi budaya tersebut, rombongan dipandu oleh salah seorang dari pegawai dinas kebudayaan dan pariwisata Tana Toraja, kami memanggilnya dengan sapaan Ibu Jane.

Objek wisata dan budaya yang pertama kali dikunjungi adalah Lemo, sebuah komplek perkuburan dinding berbatu. Mengapa tempat ini dikatakan Lemo? Karena perkuburan dinding berbatu ini memiliki dinding yang berkerut-kerut seperti kulit jeruk atau Lemo dalam bahasa setempat. Ketika berada di Lemo akan dijumpai tebing yang tinggi menjulang, di dinding tebing itulah terdapat liang atau lubang yang dipahat cukup dalam. Dan di dalam liang itulah dimakamkan masyarakat Tana Toraja. Dalam kepercayaan masyarakat setempat—yang kepercayaan itu disebut dengan aluk todolo—semakin tinggi posisi liang maka semakin tinggi pula stratifikasi sosial jenazah yang dimakamkan.

Apa yang ditemukan di Lemo, ditemukan pula di Londa. Untuk diketahui, Londa merupakan komplek pemakaman yang di dalamnya terdapat gua dan tebing yang tinggi. Di dalam gua dan tebing tinggi itulah bermukim mendiang masyarakat Tana Toraja. Ketika menginjakkan kaki di sana, saya—dan romobongan tentunya—disuguhi pemandangan erong, erong adalah peti mati khas Toraja yang bagian depan dan belakangnya menyerupai kepala Babi atau Tedong—kerbau dalam bahasa Toraja. Dalam kepercayaan setempat, erong adalah kendaraan yang menghantarkan si-empunya menuju Puya atau surga. Erong itulah yang ditaruh pada celah-celah dinding atau tebing Londa, seperti di Lemo, semakin tinggi posisi erong maka semakin tinggi pula derajat sosial seseorang yang dimakamkan dalam erong.

Ketika saya sedang asyik-asyiknya mengambil gambar, sayup-sayup terdengar sebuah pertanyaan yang dilontarkan salah seorang rombongan studi sejarah dan budaya ini. Kalau tidak salah ia adalah pemuda—yang mengaku dirinya tamvan (pakai “v” bukan “p”)—bernama Alfayed, mahasiswa Pendidikan Sejarah UNM Angkatan 2016. Pertanyaannya kurang lebih begini: “Mengapa sebahagian besar, mereka (mungkin yang dimaksudkan mendiang yang dikuburkan di Londa dan Lemo) tidak dikuburkan di dalam tanah? Melainkan harus dimakamkan di tebing atau di dinding gua?”

Menurut penuturan Ibu Jane, setidaknya ada dua alasan utama mengapa masyarakat Toraja tidak dikebumikan atau dikubur di dalam tanah. Pertama, kepercayaan/tradisi aluk todolo yang masih mengakar pada masyarakat Toraja. Kedua, topografi Tana Toraja yang berbukit, yang mengakibatkan sedikitnya lahan yang dapat digunakan untuk mengebumikan jenazah (sebagian besar lahan yang ada di Toraja diperuntukkan untuk lahan persawahan dan pemukiman).

***

Ketika pertama kali saya ke tempat ini di tahun 2012, ada desiran dan debaran tersendiri yang kurasakan. Begitu banyak keunikan yang saya temui. Dan keunikan itu masih terjaga hingga saat ini. Selain keunikan tradisinya (Pemakaman masyarakat Toraja), terdapat pula keunikan dari struktur pemukiman masyarakat Toraja. Keunikan itu dapat ditemui ketika menyambangi objek wisata Ke’te Kesu dan Buntu Pune. Di kedua objek wisata-kebudayaan tersebut, terdapat rumah tradisional suku Toraja, yaitu Tongkonan. Dan di bagian depan Tongkonan terdapat Allang atau lumbung padi. Baik Ke’te Kesu dan Buntu Pune merupakan kawasan pemukiman adat. Menurut penuturan pengelola situs budaya Buntu Pune, Marla Tendirerung, SS. Disebutkan bahwa dalam kepercayan aluk todolo sebuah kawasan atau pemukiman dikatakan “kawasan adat” ketika memenuhi tujuh unsur, yaitu; (1) Tongkonan, yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan. (2) Allang, rumah tradisional yang berfungsi sebagai lumbug padi. (3) Sumur, sebagai sumber mata air. (4) Sawah Adat, sebagai sumber pangan. (5) Rante atau alun-alun, sebagai tempat berkumpul. (6) Hutan Adat. Dan terakhir (7) Palembaran, tempat memelihara dan pengembalaan ternak.

Perjalanan atau studi budaya bersama mahasiswa Pendidikan Sejarah UNM Angkatan 2016 diakhiri dengan mengunjungi objek wisata budaya Baby Grave. Objek wisata budaya ini dikenal sebagai makam bayi, di objek tersebut akan ditemukan sebatang pohon besar yang di tubuh pohon itu dimakamkan bayi-bayi orang Toraja. Dalam kepercayaan aluk todolo, bayi yang makam di pohon tersebut merupakan bayi yang ketika meninggal belum tumbuh giginya. Pohon tempat makam bayi-bayi itu disebut sebagai Pohon Tarra. Ketika berada di tempat ini, saya teringat pada salah satu cerpen di Harian Kompas yang berjudul: Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon—yang ditulis Faisal Oddang.

***

Saya secara pribadi tak bisa menafikan, bahwa Tana Toraja dan Toraja Utara begitu indah, bentang alamnya mengagumkan nan sejuk, warisan adatnya terpelihara dan bersanding dengan kemoderenan. Keunikan Toraja pada umumnya terletak dari warisan kebudayaan dan adat yang dikemas sedemikian rupa sehingga menarik wisatawan untuk bertandang ke Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Bahkan kekaguman atas pesona Toraja tertuang dalam pernyataan gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo.

“Jangan pernah meninggalkan dunia, sebelum ke Toraja!”

Jadi?! Apakah Tuan dan Puan tertarik berkunjung ke Toraja?

 

Kabupaten Tana Toraja – Kabupaten Gowa

14 April 2017 – 26 Juni 2017

 

Sumber gambar: Instagram tana toraja_official

  • Bagi penyuka hari libur, angka merah – kadang juga hijau, tapi lebih populer dengan istilah “tanggal merah”– di kalender adalah waktu yang paling dinanti. Dan, di pekan pertama bulan Mei 2016, benar-benarlah berkah bagi banyak orang. Soalnya, pada tanggal 5-6, diganjar sebagai hari libur nasional. Latar penetapan libur itu, dutujukan sebagai peringatan akan dua peristiwa…

  • Kelas dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam. “Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya. Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah…

  • Tidak banyak insan yang mengisi hari libur dengan berbagi kepada sesama. Sebab, bagi kebanyakan orang, liburan adalah buat keluarga, atau setidaknya, menjadi ajang memanjakan diri, mengurus soal-soal pribadi. Tapi, bagi empat pembicara di Seminar Nasional yang bertajuk: “Narasi Kepustakawanan dalam Gerakan Literasi”, yang diselenggarakan oleh IKA Ilmu Perpustakaan dan HMJ Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, memilih…

  • Ada apa dengan angka  60 (enam puluh)? Yang jelas, tidak ada kaitan erat dengan film  Ada Apa dengan Cinta (AADC)2, yang lagi ramai diobrolkan dan penontonnya masih antrian mengular. Pun, angka 60 ini, bukan merupakan usia kiwari saya, sebab saya masih harus melata sebelas tahun untuk tiba di angka itu. Semuanya bermula dari rilis yang…

  • Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis.  Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran. Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221