Suargaloka, Kado Terindah untuk Anak-anak

Dari belakang meja kerja toko, saya memandang satu per satu anak-anak yang pagi ini memenuhi ruang baca di bagian samping rumah. Raut wajah mereka tampak riang, semringah, dan bahagia. Meskipun di balik rupa ceria mereka ada beragam karakter yang tersembunyi di sana. Lamun semua menyembul dalam satu bahasa, suka cita.

Kegiatan yang mereka lakukan beraneka jenis, ada yang bermain puzzle, ada yang menggambar, ada yang membaca buku, ada yang sibuk mengobrol dengan temannya.  Jumlah mereka tak lebih dari tigapuluh. Suasana sangat riuh tetapi masih tetap dalam batas-batas yang bisa dikendalikan. Keramaian ini hanya terjadi sekali dalam sepekan, setiap Sabtu pagi. Karena pada hari ini mereka bebas melakukan kegiatan apa saja yang kiranya menarik minatnya. Hari-hari selebihnya mereka rutin mengaji setiap hari kecuali libur

Bahkan ada kalanya anak-anak usia SD ini menunda pulang dan tinggal lebih lama untuk membaca dan bermain. Jika tak ada pekerjaan penting yang harus saya selesaikan saya akan membolehkan mereka untuk berdiam lebih lama. Sudah beberapa tahun ini rumah kami sepi dari keramaian anak-anak seusia mereka. Anak-anak semua sudah besar, sehingga waktu saya yang tersisa bisa saya alihkan untuk mengajar dan berinteraksi dengan santri-santri  cilik.

Dalam benak orang dewasa, kehidupan surgawi nanti bisa dinikmati setelah melalui proses perjalanan kematian yang panjang. Di dunia anak-anak, kebahagiaan surgawi  itu sederhana saja. Asal mereka merasa dicintai oleh orang-orang di sekelilingnya, terutama oleh ayah-ibunya, bebas mengekspresikan perasaan dan keinginannya, memperoleh perasaan aman dan perlindungan dari kejahatan orang-orang tak bertanggung jawab, dan bebas bermain bersama teman-temannya. Itulah dunia terindah yang  sangat mereka impi-impikan.

Dalam iklim seperti ini, angan mereka bebas mengembara ke ujung dunia, meniti pelangi, menuju angkasa yang tak bertepi. Dalam naungan kasih sayang orang-orang dewasa, langkah-langkah mereka seolah tarian riang penari yang berlompatan, lalu menjulang ke langit ide dan kreativitas. Keberanian dan percaya dirinya menguatkan otot-ototnya, mengukuhkan tulang-tulang tanggung jawabnya. Yang pada suatu masanya nanti menjelma menjadi manusia-manusia yang kompeten dan peduli pada dirinya juga lingkungan sekitarnya.

Cerita imajinatif pada penggalan paragraf di atas adalah sekelumit khayalan sekaligus harapan yang hendak saya titipkan pada dunia orang dewasa. Bahwa anugerah perhatian dan kasih-sayang itu bisa mahal bisa murah tergantung persepsi masing-masing. Sejauh mana kemampuan setiap orang menghadirkan anugerah tersebut  sebagai kado abadi dan terindah kepada anak-anaknya.

Kelak, setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Maha Pemberi Karunia. Sudah seberapa syukurkah kita mengelola karuniaNya selama di dunia? Pada penglihatan, pada pengecapan, dan pada pendengaran yang dianugerahkanNya? Mulut kita sudahkah menjalankan fungsinya bertutur ramah dan lemah-lembut, pada anak-anak sebagai makhluk lemah dan tak berdaya di hadapan kuasa manusia dewasa? Pendengaran kita sudahkah digunakan untuk mendengar segala curahan hati, keluh-kesah, atau cerita indah keseharian mereka? Dan mata kita, sudah mampukah memancarkan kesejukan dan kedamaian di hati anak-anak kala kabut gelap mengikis.

Atau jangan-jangan mulut hanya kita gunakan untuk menghardik dan memaki saat mendapati perilaku mereka tidak memenuhi standar dan harapan kita. Pendengaran kita sumbat manakala anak-anak hendak berbicara, berbagi keluh soal kehidupannya yang terasa berat untuk ia lalui. Dan kita hanya berminat mendengar kisah-kisah indah yang bertabur prestasi yang sebenarnya tak pernah sungguh-sungguh kita tabur. Lalu memelototkan mata saat menemukan tingkah anak-anak yang sedikit bergeser keluar baris. Bahkan marah dengan mata merah ketika mendengar laporan prestasi dan perilaku anak yang tak pantas di luar.

Anak-anak tak inginkan surga yang jauh tak tergapai, yang mereka ingin kehidupan surgawi yang tampak nyata di depan mata. Percuma mengisahkan surga jika perilaku tidak indah di hadapan mereka. Percuma berkisah neraka manakala rumah adalah kepedihan yang nyata mereka rasakan. Rumah, keluarga semestinya menjadi tempat pertama yang aman dan nyaman bagi anak. Bukan orang lain, pihak lain, atau lembaga lain yang tak punya ikatan emosional dengan mereka. Saatnya memulangkan kesadaran ini pada pihak rumah dan keluarga.  

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221