Kapan Kita Merdeka?

Kemerdekaan Indonesia telah memasuki usianya yang ke-72, namun makna dari kata “merdeka” masih belum menyatu dengan darah dan daging kita. Sebenarnya, kapan kita betul-betul merdeka?

Saban Agustus, negeri kita tercinta menyambut dengan riang gembira hari kemerdekaan. Sejak Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan republik ini pada 17 Agustus 1945, setiap tahunnya masyarakat merayakannya dengan berbagai macam ekspresi. Dari membuat kegiatan lomba, diskusi, sampai upacara bendera.

Antusias masyarakat dalam menyambut bulan Agustus adalah cerminan betapa berharganya arti kemerdekaan. Bung Karno telah mewanti-wanti bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas merah). Sejarah para pahlawan dalam mengkonsolidasikan dan mengantarkan bangsa ini keluar dari jerat kolonial, sungguh hal yang tak patut untuk dilupakan barang sedikitpun. Oleh karenanya, setiap detil keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia harus selalu dirayakan agar spirit kemerdekaan mampu bertahan sepanjang zaman.

Namun akhir-akhir ini bangsa kita sedang dilanda wabah penyakit, yang dengan perlahan menggerogoti setiap inci tubuh dan pikiran kita. Terjebaknya masyarakat dalam pengagungan terhadap simbol-simbol yang hanya tampak dipermukaan, berefek pada terkikisnya makna dari kata “merdeka”. Kita bisa menyaksikan langsung maupun tidak langsung (lewat medsos) banyaknya pelarangan diskusi dengan tema-tema tertentu, pembredelan pemutaran film, atau yang paling parah ketika ketakutan-ketakutan terhadap simbol kepercayaaan tertentu di cap sebagai perontok iman bagi kepercayaan yang lain. Sehingga orang yang dirugikan atas perlakukan tersebut, secara terpaksa harus menerima bahwa kemerdekaannya dalam melakukan aktivitas sosial dan keagamaan harus dibatasi.

Kemerdekaan Indonesia, di usianya yang menurut saya sudah cukup matang, ternyata tak mampu berbuat banyak ketika dihadapkan dengan masyarakat yang latah dan tak kunjung dewasa dalam melihat berbagai fenomena. Pemikiran yang tertutup dan keinginan untuk selalu memaksakan kehendak merupakan akar dari semua itu. Masih banyak masyarakat kita yang melihat kemerdekaan hanya sebatas perayaan tahunan. Padahal, makna yang lebih dalam dari perayaan tersebut terletak pada sejarah perjuangan yang diukir oleh para pahlawan menuju kemerdekaan. Di sana ada darah, doa, dan kisah tentang keterbukaan pikiran dan kebijaksanaan dalam menerima berbagai macam silang pendapat tentang strategi dan taktik untuk merebut kemerdekaan dari penjajah, tanpa peduli apa agama mereka dan latarbelakang suku budaya.

Kemudian hal yang juga tak kalah penting, kesejahteraan di bangsa ini didefinisikan sebagai terwujudnya kondisi masyarakat yang adil, makmur, dan damai. Akan tetapi, fakta sosial di masyarakat menunjukkan fenomena yang berbeda. Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 mencatat, di Indonesia masih ada 27,77 juta orang yang hidup dalam kemiskinan. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan data pada September 2016 yang mencatat ada 27,67 juta orang yang hidup miskin. Dilain sisi jumlah kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin. Inilah potret ketimpangan di negeri yang katanya telah merdeka hampir 72 tahun.

Lantas merdeka itu seperti apa? Apakah ketika masih banyak para veteran yang kelaparan? Atau ketika masih adanya warga yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan hak atas tanah mereka yang hendak digusur oleh kepentingan kapital atau ketika kita menyaksikan warga Galesong-Takalar yang menolak penambangan pasir di pesisir pantai mereka karena akan memberikan kerugian terhadap kehidupan disana? Ataukah ketika untuk beribadah, kita harus menanggung kecemasan karena bisa saja dianggap sesat atau dapat mengganggu keberimanan orang lain.

Merdeka adalah kata yang belum selesai didefinisikan bangsa ini. Bung Karno mengajarkan kita untuk berdikari atau berdiri diatas kaki sendiri. Tapi utang luar negeri kita membengkak dan harus ditambal disana-sini. Tan Malaka dengan gagasan “Merdeka 100%” menyerukan bahwa jika hanya segelintir orang yang hidup adil, makmur, dan damai maka belum sampailah Indonesia pada arti merdeka yang sesungguhnya.

Kita harus berbenah untuk mencari makna dari pesan kemerdekaan. Tafsir tersebut harus mampu mengobati setiap keresahan dan penyakit yang melanda bangsa ini. Kita harus saling merangkul dalam menumbuhkan kesadaran di masyarakat agar tak terjebak pada perayaan kemerdekaan yang hanya seremonial belaka. Ujung dari itu semua, agar setiap elemen bangsa bergerak kearah yang lebih adil dan bermartabat.

Diskriminasi, intoleransi, dan segala bentuk ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, harus mampu “menampar” kita. Menyadarkan kita bahwa revolusi kemerdekaan belum selesai di 17 Agustus 1945. Hal itu bertujuan agar kita merefleksikan semua perjuangan para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Itulah pada awalnya fungsi mengheningkan cipta. Agar kita sadar bahwa sesungguhnya merdeka, sejak kapan kita merdeka?

 

Ilustrasi: https://firnadi.deviantart.com/art/jayalah-INDONESIA-ku-253368770

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221