Bukan. Yang dimaksud dengan bertuhan ala Plato versus ala Mulla Shadra bukan cara kedua tokoh tersebut secara personal dalam bertuhan. Akan tetapi yang dimaksud adalah corak berpikir atau gagasan filosofis yang mereka kemukakan membentuk model tertentu dalam bertuhan. Kesadaran maknawi yang dipahami dan dianut seseorang sangat menentukan seperti apa ia menempatkan diri berkaitan dengan keberadaan dirinya dan Tuhannya. Kesadaran relasi diri dan Tuhan ini mewarnai perjalanan panjang dalam mengarungi perjalanan spiritual yang tak berujung dan tak bertepi. Dan, menentukan tampilan luar dan dalam bagaimana ia bertindak sekaitan dengan Tuhannya. Filosofi Plato menghadirkan cara bertuhan ala Plato dan filosofi Mulla Shadra melahirkan cara bertuhan ala kesadaran Mulla Shadra.
Dalam mazhab pemikiran, Plato adalah Bapak alam idea. Bagi beliau idea adalah realitas yang sesungguhnya. Sementara, alam yang tercerap oleh panca indera adalah alam imitasi. Imitasi dari realitas alam idea. Alam idea itu abadi. Imitasinya, alam terindra, senantiasa berubah-ubah, oleh karena itu tidak abadi. Dalam filsafat Plato, senantiasa ada dualisme, yaitu idea dan bayangannya. Ada realitas asli dan ada realitas imitasi. Antara idea dan imitasinya tidak akan pernah bertemu karena keduanya adalah hal yang berbeda secara diametral. Idea dan imitasinya berada di alam yang berbeda dan tidak ada jembatan yang menghubungkan keduanya. Secara wujudiyah, dalam pandangan Plato, idea adalah wujud tersendiri begitupun alam nyata yang terindra adalah wujud tersendiri pula, sekalipun disebut sebagai imitasi dari idea. Ada wujud yang sama sekali berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Berbeda dengan Plato, Mulla Shadra memandang wujud itu tunggal dengan nuansa emanasi (memancar), illuminasi (bercahaya) dan dinamis di dalamnya. Wujud itu tunggal berupa cahaya yang meliputi. Wujud yang tunggal itu bergradasi, bertingkat-tingkat. Dalam wujud tunggal berupa cahaya yang meliputi dengan berbagai tingkatannya terdapat gerak dinamis, yang dinamai gerak substansial. Gerak yang ada dalam ketunggalan wujud yang memungkinkan wujud itu bergerak menaik atau menurun namun tetap dalam lingkup wujud tunggal dan gradasinya. Dalam pandangan ini tidak ada dualisme wujud, yang ada adalah deskripsi tentang wujud tunggal itu dan dinamikanya. Dengan demikian tidak ada pemilahan bahwa ada wujud asli dan wujud imitasi, yang ada adalah wujud tunggal dengan berbagai tingkatan pancaran cahaya internalnya.
Kedua corak pandang tersebut di atas, ala Plato dan ala Mulla Shadra, bila dikaitkan dengan relasi antara hamba dan Tuhan, memiliki perbedaan dan dampak yang sangat serius. Filosofi Plato yang mengatakan bahwa ada alam idea yang merupakan alam asli dan ada alam terindra yang imitasi, menempatkan Tuhan berada di alam idea yang tak tersentuh sama sekali dan hamba berada di alam imitasi yang tercerap oleh terindra. Sudut pandang ini menciptakan jarak pemisah yang serius antara hamba dan Tuhan. Relasi hamba dan Tuhan adalah relasi keterpisahan, efek logis dari adanya alam idea yang asli dan alam terindra yang imitasi yang memang terpisah secara azali.
Efek lebih lanjut dari perspektif ini, karena adanya dualisme wujud—asli dan imitasi—yaitu mengerasnya kehadiran ruang dan waktu. Adanya jarak dan gerak dari kejamakan wujud menghadirkan ruang dan waktu. Akibatnya adalah hubungan hamba dan Tuhan terjadi dalam relasi bingkai ruang dan waktu. Hubungan keterpisahan yang menguat dan mengeras. Tuhan berada di wujud idea yang abadi tanpa batas sementara hamba berada di wujud imitasi yang senantiasa berubah dan serba berbatas. Tak akan pernah ada pertemuan di antara keduanya. Dalam pandangan ini, hubungan hamba dan Tuhan adalah hubungan keterpisahan yang abadi.
Berbeda dengan Plato, sudut pandang Mulla Shadra melalui konsep wujud tunggal beserta deskripsinya, berdampak pada kehadiran relasi antara hamba dan Tuhan dalam bingkai ketunggalan. Jadi, relasi tersebut bukan relasi keterpisahan, akan tetapi relasi ketunggalan dan kemenyatuan. Relasi antara hamba dan Tuhan laksana cahaya dan pancarannya. Laksana api dan cahaya. Antara api dan cahaya tak dapat dipisahkan. Mereka menyatu. Hubungan keduanya adalah hubungan ketunggalan yang menyatu dan abadi.
Gerak internal dalam bingkai ketunggalan wujud menciptakan dinamika yang abadi. Adalah bijak jika setiap lakon relasi hamba dan Tuhan dalam kehidupan merupakan dinamika abadi gerak cahaya menuju intinya. Gerak menuju sumbernya. Ibarat pusaran laron mengitari sumber cahaya, namun dalam pandangan ini antara laron dan cahaya adalah wujud yang sama. Sama-sama cahaya. Gerak ini adalah gerak kembali, bukan gerak pergi. Gerak ini adalah gerak menyatu, bukan gerak memisah. Gerak hamba menuju Tuhannya adalah gerak cahaya menuju Yang Mahacahaya dalam ketunggalan wujud Cahaya-Nya.
Dalam ketunggalan wujud tidak ada ruang dan waktu. Secara azali semestinya relasi hamba dan Tuhan tidak berurusan dengan waktu dan ruang, karena ruang dan waktu membawa keterpisahan. Kalaupun tetap hadir ruang dan waktu, maka kedua hal tersebut harus dimaknai dan disadari dengan cara berbeda, dimaknai dan disadari dalam kaitannya dengan ketunggalan wujud yang berupa keabadian cahaya. Sejatinya hidup ini adalah Lautan Cahaya, antara hamba satu dengan yang lainnya saling menerangi dengan Cahaya-Nya, karena sesungguhnya wujud itu tunggal, yang ada hanya Dia Yang Mahacahaya.