Teka-teki tentang diri atau “aku” merupakan misteri sepanjang sejarah manusia. Telah banyak cara dan jawaban yang diberikan untuk menjawab siapa “aku” sebenarnya namun selalu saja menyisakan berbagai pertanyaan. Dari setiap cara dan jawaban itu selalu saja memancing pertanyaan berikutnya, yang menunjukkan bahwa misteri siapa “aku” belum tersibak secara benderang. Jika dikatakan bahwa “aku” mengetahui dan bertindak, di sisi lain tiada kejelasan siapa “aku” sebenarnya, maka segenap pengetahuan dan tindakan tersebut tidak memiliki pijakan yang jelas, oleh karena itu runtuhlah semua bangunan pengetahuan dan tindakan tersebut. Pengetahuan dan tindakan semacam ini tidak memiliki nilai kepastian sehingga tidak dapat dijadikan acuan, semua itu akibat dari masih tersamarnya siapa “aku” yang sebenarnya. Begitu pun dalam hal ibadah, karena tidak jelasnya siapa “aku” atau salah paham tentang siapa “aku” menyebabkan segenap bangunan ibadah runtuh seketika, karena pelakon ibadah yang tidak jelas.
Setidaknya ada dua mazhab pemikiran dalam memandang siapa “aku” secara hakiki. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “aku” memang ada secara mandiri, berwujud dan tidak bergantung pada yang lain. Kedua, pendapat yang berpendirian bahwa “aku” tidak memiliki wujud yang mandiri, akan tetapi ia bergantung pada yang lain. Kedua mazhab ini memiliki interpretasi yang sangat berbeda dalam memandang “aku” dan berimplikasi serius pada pemaknaan pengetahuan dan tindakan pada “aku” selanjutnya.
Pendapat pertama yang mengatakan bahwa “aku” memiliki wujud mandiri, mengharuskan “aku” tampil sebagai manusia super: “aku hebat dalam segala hal dan tidak bergantung pada yang lain”. Dalam bentuk ekstrim pendirian semacam ini pada sisi manusia dapat melahirkan penindasan sesama manusia karena adanya kompetisi kekuatan, dan pada sisi keyakinan dapat melahirkan ateisme, karena percaya diri yang sangat berlebihan dalam kemandirian wujud, mengakibatkan “aku” mengingkari Tuhan.
Yang menjadi pertanyaan utama adalah: apakah “aku” itu sesungguhnya terikat pada tubuh fisik atau tubuh non-fisik saja? Atau terikat pada keduanya? Atau mungkin juga “aku” justru tidak terikat pada keduanya, baik tubuh fisik maupun tubuh non-fisik? Apakah tubuh fisik dan atau tubuh non-fisik merupakan “aku” atau bukan aku, akan tetapi hanyalah “alat” bagi “aku” untuk menyata? Apakah “aku” itu identik dengan jiwa atau sama sekali bukan jiwa, akan tetapi jiwa hanyalah “alat” bagi “aku” untuk menyata? Pertanyaan semacam ini banyak diabaikan, terlebih lagi jawabannya, namun sangat menentukan bagi kepastian landasan pijak pengetahuan dan tidakan manusia secara keseluruhan. Juga, pada nilai ibadah ummat manusia.
Dalam konsep Wahdatul Wujud yang ada hanya wujud tunggal, kalaupun ada selainnya maka hal tersebut tak lain hanyalah manifestasi atau penampakan dari wujud tunggal tersebut. Penampakan tidak memiliki wujud hakiki akan tetapi ia bergantung wujud pada wujud tunggal. Kebergantungan ini adalah kebergantungan wujudiah, kebergantungan murni. Manifestasi hanya mewujud karena ketergantungan totalnya pada wujud tunggal. Jadi, secara hakiki yang mewujud pada manifestasi adalah wujud tunggal itu sendiri.
Dalam konteks Wahdatul Wujud, “aku” harus dipandang sebagai manifestasi dari “Aku”, sehingga tidak terjadi dualisme wujud hakiki, yaitu kesalahan pandang yang mengatakan bahwa “aku” dan “Aku” adalah dua wujud hakiki yang berbeda. “Aku” dan “aku” berada pada satu wujud, yaitu wujud tunggal, hanya saja “Aku” berada pada wujud hakiki dan “aku” hanyalah manifestasi atau penampakan dari “Aku”. Dan, secara wujudiah “aku” bergantung total dan murni pada “Aku”. Secara hakiki pada saat “aku” menyebut diri sebagai “aku” sesungguhnya yang dia rujuk adalah “Aku”. Oleh karena itu “Aku” adalah aktor utama dan “aku” hanyalah “alat” bagi “Aku” untuk bertindak dan menyata.
Pada segenap kebaikan aktor utamanya adalah “Aku” dan “aku” hanyalah “alat” bagi “Aku” untuk menyebar kebaikan dalam kehidupan, oleh karena itu kesalahan besar jika terjadi klaim oleh “aku” bahwa dialah aktor utamanya. Lalu, bagaimana dengan hal-hal yang dipandang sebagai keburukan, apakah juga aktor utamanya adalah “Aku”? Atau pelaku utamanya adalah “aku”? Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan ruang lain yang lebih leluasa, namun tetap berpijak pada kosistensi argumen yang berakar dari konsep Wahdatul Wujud.
Sebagai wujud yang tidak memiliki wujud yang mandiri dan hakiki, maka “aku”, karena ia hanyalah manifestasi dari “Aku”, tidak mungkin menjadi pijakan bagi tindakan dan pengetahuan yang sesungguhnya, oleh karena itu hal tersebut hanya layak dinisbahkan pada “Aku”, karena pada “Aku”-lah bersemayam wujud hakiki pengetahuan dan tindakan. Sehingga adalah sama sekali tidak mungkin menemukan pengetahuan dan tindakan yang baik dan benar sesungguhnya hanya berpangkal pada “aku” semata tanpa menghadirkan dan meleburkannya pada “Aku”.
Dalam konteks hamba-Tuhan, maka “aku” adalah hamba dan “Aku” adalah Tuhan. Dengan demikian hamba tidak memiliki diri sendiri yang mandiri namun ia bergantung total dan murni pada Tuhan. Kebergantungan hamba pada Tuhan ini bersifat azali dan menyeluruh melampaui konsep ruang dan waktu. Tanpa sekejap pun hamba tidak bergantung pada Tuhan, dengan demikian secara hakiki hamba senantiasa bersama Tuhan, oleh karena itu tidak ada yang ada pada hamba tidak dalam pengetahuan Tuhan, termasuk kebaikan dan keburukannya. Setiap kali hamba mengetahui dan bertindak maka hal itu langsung dilakukannya di hadapan Tuhan tanpa perantara, karena pada dasarnya yang memiliki wujud hanya Tuhan, termasuk wujud tindakan dan pengetahuan yang dinisbahkan pada hamba.
Sumber gambar: https://systemicalternatives.files.wordpress.com/2015/01/nature-photos-2012-7.jpg?w=1200