Konsep Bersama Allah dalam Pandangan Syekh Yusuf Al-Makassary

Syekh Yusuf al-Makassary merupakan tokoh besar sufi yang bukan sekedar senantiasa bergelimang Tuhan dalam setiap tarikan napasnya, tapi juga merupakan sufi pejuang yang melawan praktik kezaliman dalam dunia nyata di zamannya. Biografinya menunjukkan bahwa beliau begitu gigih dalam menuntut pengetahuan pencarian jati diri dan mengajarkannya, pada saat yang sama juga gigih menentang penjajahan dan kezaliman. Seolah beliau ingin membumikan citra surgawi yang didapat dalam perjalanan ruhaninya ke dalam dunia nyata sehingga harus berhadap-hadapan langsung dengan pelakon kezaliman dalam kehidupan. Sepanjang hidupnya dihabiskan dengan belajar mengenal diri serta mengajarkannya dan juga menghabiskan banyak waktu untuk menentang kolonialisme dan kekafiran.

Berbagai pemikiran Syekh Yusuf yang tertuang dalam banyak risalah pendek dan surat-surat yang beliau kirim kepada para sahabatnya telah diriset dan dikumpulkan oleh Tudjimah dalam buku Syekh Yusuf Makasar: Riwayat dan Ajarannya. Selain memaparkan bagaimana berzikir dengan baik untuk terhubung dengan Allah kapan dan di mana pun, karya-karya Syekh Yusuf juga kaya dengan pandangan Wahdatul Wujud. Bahkan, dalam berbagai tempat beliau mengutip langsung pandangan-pandangan Grand Master Wahdatul Wujud, Syaikh Ibnu Arabi tentang “kemenyatuan” dengan Allah.

Dengan mengusung konsep wahdatul wujud, maka pemikiran Syekh Yusuf berfokus pada urusan hubungan spesial antara hamba dengan Khalik dalam konteks ketunggalan wujud. Guna menghindari terjatuh pada kubangan panteisme atau pun deisme, Syekh Yusuf memagari ajarannya dengan doktrin “laisaka mitslihi syai’”(tiada sesuatu pun yang menyerupai Allah) dan surah al-Ikhlas. Dengan demikian pemahaman dan pengalaman spiritual berkaitan dengan Allah harus terhindar dari segala sesuatu selain Allah demi menghindari kejamakan wujud. Begitupun juga jika membincang kedekatan atau kebersamaan dengan Allah juga harus bersih dari selain-Nya secara wujudiah.

Adalah jamak secara awam didengar ungkapan dekat atau pun bersama Allah. Bagi para pencari jati diri yang sejati, ungkapan tersebut menjadi bahan perenungan mendalam. Seperti apa realitas sebenarnya yang dimaksud dengan “dekat Allah” atau pun “bersama Allah”? Bagi mereka pertanyaan ini harus dikupas tuntas karena ia bagian penting dari tujuan perjalanan spiritual. Kegagalan atau kesalahan dalam menjawab pertanyaan ini berdampak pada kegagalan perjalanan spiritual tersebut. Perjalanan spiritual semestinya kembali kepada Allah, akibat dari salah baca realitas yang sesungguhnya dan salah jawab, bisa jadi perjalanan tersebut berakhir pada selain-Nya.

Dalam konsep Wahdatul Wujud mengharuskan wujud itu tunggal. Tunggal di sini dalam artian tunggal tanpa bandingan dan tanpa rangkapan, tiada yang menyamainya termasuk dalam urutan atau kelanjutan. Tunggal sama sekali bukan dalam konteks bilangan, berarti bukan satu sebagai angka permulaan. Tunggal hanya tunggal itu yang ada, selainnya tiada. Dengan demikian, dalam konteks Wahdatul Wujud, Wujud Tunggal-Nya Allah sama sekali tidak mengizinkan hadirnya wujud selain Wujud-Nya Allah. Dalam konteks ketunggalan inilah dalam beberapa tulisannya, Syekh Yusuf dengan gamblang mengurai seperti apa hakikat hubungan hamba dengan Allah, hubungan manusia dengan Tuhannya. Termasuk, menjawab seperti apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ungkapan “bersama Allah” sebagai mana ungkapan yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pandangan Wahdatul Wujud, yang ada hanya Wujud Tunggal, kalau pun ada sesuatu selain Wujud Tunggal tersebut sudah dapat dipastikan bahwa wujud tersebut tidak lebih dari manifestasi-manifestasi dari Wujud Tunggal tersebut. Dan, manisfestasi-manifestasi tersebut tidak memiliki wujud mandiri, akan tetapi ia bergantung murni pada Wujud Tunggal. Begitu pun, dalam pandangan Syekh Yusuf, segala yang tampak, baik lahir maupun batin, tidak lebih dari tajaliat-tajaliat dari Allah SWT, tidak lebih dari manifestasi-manifestasi dari Allah SWT. Hubungan tajaliat-tajaliat ini dengan Allah adalah hubungan ketergantuangan murni. Tajaliat-tajaliat ini tidak dapat mewujud secara mandiri, akan tetapi tergantung murni total wujudnya pada Wujud Allah SWT. Tajaliat-tajaliat ini ada hanya karena Ada-Nya Wujud Allah SWT, berarti yang ada hanya Wujud Allah sementara selain-Nya hanya pancaran dari Wujud Allah tersebut. Hal ini seibarat dengan Zat Allah dan sifat-sifat-Nya yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dan tetap dalam ketunggalan.

Hubungan hamba dengan Allah adalah hubungan Allah dengan tajaliat-Nya. Hamba bergantung murni pada Allah dalam total wujudnya, hamba ada karena Ada-Nya Allah. Dalam konteks ini secara hakiki hamba tidak memiliki wujud, ia tidak lebih sebagai tajaliat-Nya, ia  mewujud bukan karena secara azali ada wujud pada dirinya, akan tetapi ia mewujud karena adanya Wujud Allah. Oleh karena itu, dalam segala hal, hamba bergantung total kepada Allah, dan ini terjadi dalam Ketunggalan Wujud Allah SWT.

Dengan demikian, menurut Syekh Yusuf, “bersama Allah” sama sekali bukan berarti ada dua wujud yang berdampingan, yaitu Wujud Allah dan wujud hamba, akan tetapi “bersama Allah” berarti Allah bersama tajaliat-Nya, dimana hamba sebagai tajaliat tersebut. Sebagai pengandaian, “bersama Allah” itu laksana hubungan matahari dengan pancarannya, air dengan sifat cairnya, api dengan sifat panas dan cahaya dan hal-hal yang sepertinya. Kebersamaan dalam pengandaian tersebut tidak memperlihatkan bersamanya dua zat yang berbeda, akan tetapi kebersamaan dalam ketunggalan zat dan kebersamaan tersebut sama sekali tidak dapat dipisahkan.

Karena “bersama Allah” itu adalah Allah dan hamba sebagai tajaliat-Nya, sehingga hubungan ini adalah hubungan azali, dia hadir apa adanya dalam ketunggalan, bukan pada dua wujud yang berbeda, oleh karena itu seorang hamba senantiasa bersama Allah kapan dan di mana pun dia berada. Para sufi adalah orang-orang yang sangat menyadari kelemahannya sebagai tajaliat atau manifestasi yang sama sekali bukan apa-apa dan bukan siapa serta tanpa memiliki kekuatan sedikit pun, dalam kepapaan murni tersebut tetap berharap kepada Allah SWT untuk merasakan dan mengalami “bersama Allah” selalu.

 

Sumber gambar: http://i2.wp.com/metroislam.com/wp-content/uploads/2015/09/syekh-yusuf-al-makassari-ilustrasi-_120327151939-501.jpg?fit=1140%2C9999

 

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221