Stereotip

Hari ini, pengembaraanku ke pelbagai pojok negeri ini sedikit mengalami interupsi dan distorsi dari kenyamanan menikmati keindahan negeri beribu pulau ini. ada yang tak nyaman lagi setelah perhelatan politik menguasai ruang-ruang pikir dan hidup warganya. Sepanjang jalan ruang dan waktu kita diriuhi dan disesaki gelinding kabar hoax dan fitnah. Perbincangan mulai memasuki pojok-pojok pribadi kita dan begitu susah menghindarinya.

Kawan-kawan yang bergelut di dunia politik formal di partai-partai nampaknya telah banyak yang sungkuk dari keretivitas dan kecerdasan positif. Strategi pemenangan yang dilakukan jauh dari kata bajik untuk memuliakan langkah-langkah politik jangka panjang kemaslahatan negeri. Banyak yang terjebak pada keuntungan instan dan jumud. Amarah dipertontonkan dengan lihainya. Padahal dalam semua tatanan, baik agama dan budaya, amarah adalah value yang paling rendah. Ia adalah jalan-jalan menuju kebusukan peradaban.

Di sebuah pojok kampung, kala kumelintasinya dan sejenak jeda di sebuah rumah kepala desa meluruhkan penat dalam perjalanan panjang. Obrolan-obrolan yang biasanya ringan dan rileks, kali ini masuk pada tema politik praktis yang mengernyitkan dahi. Kata kepala desa sahabat saya ini, pergulatan politik satu dasawarsa terakhir sangat melelahkan dan mengkhawatirkan, sebab para kompetitor politik tak lagi ramah menyampaikan program-program kandidatnya. Apatahlagi cerdas dan kreatif, nampaknya para pegiat politik seolah berjalan di jalan buntuk yang gulita. Tinggal satu jalan, hoax dan fitnah.

Fenomena di atas mengingatkan kita di masa awal Orde Baru di mana penguasa yang baru saja melakukan “kudeta” melakukan gerakan politik konstruksi stereotip. Bahwa semua orang yang tidak setuju dengan kebijakan penguasa kala itu, pastilah label komunis, Lekra, GPK (Gerembolan Pengacau Keamanan), dll, pasti diberi label ini. pelabelan-pelabelan seperti itu menjadi stereotip sehingga masyarakat dirundung ketakutan. Bila pun ada yang berani melakukan terobosan-terobosan baru maka pasti dibilangkan aneh. Melawan arus maenstream yang telah diciptakan dari awal hingga dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dengan bantuan Medsos (Media Sosial) dengan beraneka ragam modelnya dan perkembangan teknologi mutakhir, arena caci maki, hoax, dan fitnah semakin menemukan ruangnya. Perseturuan di ruang-ruang canggih itu lumer hingga ke pelosok-pelosok desa walaupun prosentasenya masih lebih banyak jumlahnya yang tidak bisa bermain langsung di area itu, tapi menjadikan permainan informasi satu arah. Semua info yang samapi ke mereka bisa langsung di telan bulat-bulat. Perseteruan politik di Jakarta bisa berpengaruh hingga ke desa-desa yang aku kunjungi di atas. Masih bersaudara kandung bisa terputus silaturrahim hanya karena berbeda pilihan ketika Pilkada di daerahnya, bahkan Pemilukada yang berlangsung di Ibu kota Jakarta bila kecenderungan pilihan berbeda maka perseteruan berlangsung pula di desa tersebut padahal mereka bukan pemilih langsung, hanya sekedar pendoa dari kecenderungan pilihannya, hehehe..

Yang menarik, bila di masa Orde Baru, politik stereotip di konstruksi rezim penguasa dengan menggunakan perangkat kekuasaan untuk mendukung kekerasan atawa teror yang dilakukan oleh perangkat keamanan pada kelompok-kelompok warga dan pererongan yang antitesa dari kekuasaan dengan perlawanan-perlawanan yang dilakukan, baik secara intelektual maupun dengan gerakan tertutup dan terbuka. Tapi, kini stereotip politik terjadi dua arah arus besar. Warga pendukung penguasa dan warga pendukung partai politik lawan penguasa. Mereka saling menghardik dalam waktu durasi panjang. Melempar dan mengemas informasi-informasi hoax. Tidak jarang fitnah dikemas seolah nyata dan benar.

Perseteruan politik inilah yang menurutku unik, sebab kepala negara yang sah pun bisa dilecehkan dengan tuduhan-tuduhan yang menurutku berlebihan nyaris irasional. Semisal menghina pisiknya, bentuk wajah dan tubuhnya. Bahkan, berita-berita hoax dan fitnah tak luput disandangkan padanya. Tuduhan PKI-lah, non muslimlah, dan cemooh- cemooh lainnya. Mungkin inilah fase di mana perpolitikan kita sampai pada titik nadir buruknya. Dan yang lebih parah, sebab kerapkali berita hoax dan fitnah diusung oleh orang-orang atawa kelompok yang mengatasnamakan gerakan politiknya berbasis pada agama tertentu. Di mana substansi agama yang diusungnya adalah agama yang penuh kasih sayang dan di liputi kedamaian.

Stereotip politik saat ini langsung terpolarisasi menjadi dua bagian besar. Bila mendukung pemerintahan padanannya kurang islami dan berbagai label lainnya yang rada-rada negatif. Dan sebaliknya, para kompetitornya mengklaim diri sebagai kelompok-kelompok putih yang menjalankan keyakinannya dan agamanya paling baik dan paling suci. Walaupun realitasnya kerap pula mempertontonkan adegan yang terbalik sangat dari idealisasi yang diusungnya. Kekerasan pisik dan terkesan menghalalkan segala cara untuk meraih target politiknya bisa dihalalkan. Fenomena inilah yang saat ini mewarnai jagad perpolitikan kita negeri indah ini yang konon warga dan bangsanya terkenal santun.

Saat menuliskan catan-catatan ini, aku sedang membaca sebuah novel sejarah yang cukup tebal “merajut harkat” ditulis oleh seorang penyair, cerpenis, novelis, Putu Oka Sukanta, yang bercerita tentang konstruksi stereotip politik yang dibangun oleh penguasa Orde Baru sebagai senjata untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya. Aku ingin mengakhiri tulisan pendek ini dengan mengutip puisi pembuka dari buku itu ;

Napas mengepakkan sayapnya

menyelinap di bayang-bayang mega berarak

mencari perlindungan dan bersembungi.

Tak ada lagi rumah yang aman.

Matahari yang menerpa pohon tidak lagi

membangun ruang teduh bagi pengembara.

Pepohonan hangus tempat bertengger dan bermalam.

Capung dan ulat di dedaunan banyak yang musnah,

dipanggang panas mesiu atau terbunuh amuk.

Orang-orang berlari-larian sepanjang siang

dan malam memburu sesamanya.

Membangun sungai fatamorgana

di atas bangkai yang dijadikan lawan.

Pori-pori bumi merekah menguapkan bau mayat segar,

rohnya masih mengembara di bumi

yang baru saja ditinggalkan dalam kepanikan.

Air sungai merah, darah mengucur

dari leher yang digorok.

Napas mengepakkan sayapnya

menjauh dari deru kilap kelewang dan deru panser

menghirup udara dalam ketakutan

dari celah-celah dinding.

Ruang langit telah dipersempit tipu muslihat

membangkitkan kebiadaban.

Fitnah, dengki, dendam, buas, telah dinyalakan

menghanguskan rumah-rumah penduduk

napas mengepakkan sayapnya,

air mata menetes dari lubang pori-pori tubuhnya

kesedihan membahana.

Dunia tidak hanya terpaku membiarkannya berlalu,

dunia membisu.

Napas mengepakkan sayapnya

bertengger di kepalamu.

“kau dengarkan tangis bayi

dari perut ibunya yang sedang digorok?.

Ilustrasi: Nabila Azzahra

 

 

 

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221