Pad Man: Melawan Kemiskinan dengan Pembalut

Lakshmikant Chauhan dilanda kegalauan setiap istrinya memasuki masa haid. Gayatri, Istrinya, lebih memilih memakai kain lap sebagai pembalut. Kegalauan Lakshmi semakin menjadi-jadi lantaran setiap kali haid, setiap itu pula istrinya menggunakan kain yang sama sebagai penggantinya. Hingga suatu hari, dengan uang pinjaman, Lakshmi membelikan pembalut untuk istrinya. Bukannya berterima kasih, lantaran mahal, Gayatri malah menolak pembalut pemberian suaminya.

Didorong kegundahan melihat polah istrinya dan kehidupan yang dililit kemiskinan, Lakshmi bereksperimen membuat pembalut dari mesin sederhana yang diciptakannya sendiri. Setelah melalui beberapa percobaan Lakshmi kembali membujuk istrinya menggunakan pembalut buatannya. Tidak diduga sebelumnya, untuk kesekian kalinya, istri Lakshmi menolaknya.

Begitulah secuplik cerita film Pad Man yang dibintangi Akshay Kumar dan Sonam Kapoor adaptasi kisah nyata Arunachalam Muruganantham, aktivis sosial yang kini menjadi pengusaha di India. Film yang disutradai R. Balki ini mengisahkan suatu tema unik yang selama ini menjadi tabu dan hanya dibicarakan diam-diam oleh perempuan-perempuan India: menstruasi.

Penyakit dan Selimut kemiskinan

Tulang punggung film ini ada pada harapan Arunachalam Muruganantham (diperankan Akshay Kumar sebagai Lakshmikant Chauhan) agar istrinya (diperankan Radhika Apte sebagai Gayatri), termasuk perempuan-perempuan India memerhatikan kesehatan ketika tiba masa haid dengan menggunakan pembalut yang lebih higienis daripada kain lap. Harapan Muruganantham bukan tanpa sebab karena memakai kain lap saat menstruasi dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit hingga mengancam rahim perempuan terserang virus dari kain yang kotor.

Menurut laman berita BBC, survei 2011 yang dilakukan AC Nielsen oleh pemerintah India, menemukan bahwa hanya 12 % wanita di seluruh India menggunakan pembalut wanita. Sementara menurut data USAID dalam artikel yang ditulis Abijan Barua di laman KBR.id, sekitar 80 persen perempuan India hanya menggunakan potongan kain ketika menstruasi. Selama berkali-kali kain itu tetap dipakai dengan dicuci menggunakan air dingin, dan dipakai ketika masih lembab. Ini menyebabkan infeksi dan luka berkembang biak.

Hal itulah yang menyebabkan, seperti dikutip dari  Detik Healt, 70 persen dari semua penyakit reproduksi di India disebabkan kebersihan menstruasi yang buruk. Bahkan ada yang sampai berujung kematian. Hal ini karena selain menggunakan kain lap, perempuan-perempuan India, juga menggunakan pasir, daun, serbuk gergaji, bahkan abu sebagai pengganti pembalut.

Fenomena di atas seperti tampak dari adegan-adegan Padman, hanyalah efek dari situasi ekonomi masyarakat miskin India. Perempuan-perempuan di India, sengaja menggunakan kain lap karena tidak mampu membeli pembalut akibat selimut kemiskinan.

Di tengah-tengah keadaan ekonomi yang buruk, Pad Man dengan terang mengangkat pula kehidupan budaya perempuan India yang disekap pandangan dunia tradisional. Seperti diperagakan melalui adegan-adegannya, selama mens, perempuan-perempuan di desa Muruganantham harus menjalani suatu prosesi unik berupa hidup terpisah di beranda khusus menyerupai sepetak kamar. Kamar itu disusun dari sekat-sekat kayu menyerupai penjara yang diisi satu tempat tidur khusus dan tali jemuran untuk mengeringkan pakaian dan kain lap pembalut.

Kebiasaan di atas menurut  aktivis perempuan, Swapna Tripathi, dikutip dari artikel Abijan Barua dalam situs KBR.id, karena pola pikir tradisional yang menyebut para perempuan seharusnya merasa malu jika sedang mens sehingga harus tinggal terpisah.

Bahkan rasa malu karena masa haid berdampak pula kepada dunia pendidikan, terutama bagi para remaja perempuan. Esai Istri pangeran Harry, Meghan Markle seperti dilaporkan Tabloid Bintang dari laman Time mengungkapkan, perempuan-perempuan remaja yang telah memasuki masa haid merasa malu karena menganggap tubuh mereka dihuni mahluk jahat dan menjadi “kotor” ketika haid. Akibat hal ini banyak perempuan-perempuan remaja yang tidak ingin bersekolah saat haid.

Pemberdayaan perempuan

Hanya karena menstruasi istrinya, Arunachalam Muruganantham yang diperankan Akshay Kumar mengembangkan teknologi sederhana berupa mesin pembuat pembalut. Tidak lama setelah bertemu Rhea (Sonam Kapoor) yang mengikutkan alat temuannya pada ajang inovasi teknologi, seperti dikisahkan, Lakshmi berhasil menyabet penghargaan presiden berkat mesin temuannya.

Setelah menolak alat temuannya dikomersilkan dan diberi hak paten, dalam adegan, Lakshmi justru berkeinginan setiap perempuan dapat memiliki alat yang sama secara gratis. Mulai dari itulah, pelan-pelan bersama Rhea, Lakshmi mengembangkan mesinnya dengan melibatkan dan melatih perempuan-perempuan di desanya membuat pembalut.

Apa yang diusahakan secara kolektif dalam adegan-adegan film ini bersama perempuan-perempuan di desanya sebenarnya adalah usaha kritis untuk memberdayakan perempuan. Di samping mengkampanyekan bahwa masa menstruasi adalah hal yang normal, pemberdayaan perempuan melalui pabrik mini yang mereka ciptakan ikut serta membantu perekonomian keluarga-keluarga miskin di desanya dengan cara menjual pembalut buatan sendiri dengan harga yang lebih terjangkau.

Dari desa untuk dunia

Usaha Muruganantham bukan tanpa hambatan. Ketika pertama kali membuat pembalut ia ditentang istrinya sendiri karena ikut campur urusan perempuan. Perlu diketahui, di India, karena tradisi sangat tabu membicarakan masalah menstruasi apalagi bagi lelaki. Menstruasi dianggap tema pembicaraan yang tidak layak dibicarakan secara publik sekalipun dalam skala rumah tangga.

Itulah sebabnya, akibat sikap Muruganantham yang “keras kepala” ingin mencari solusi pengganti kain lap sebagai pembalut harus merelakan rumah tangganya hancur ditinggalkan istrinya. Bahkan, karena membuat malu keluarga besarnya, ia akhirnya harus pergi meninggalkan desanya setelah dihakimi secara sosial.

Tapi, niat Muruganantham sudah kepalang di atas ubun-ubun, usahanya membuat pembalut menarik minat dunia setelah ia berhasil memenangkan penghargaan inovasi dari presiden India. Diundanglah ia oleh PBB untuk membicarakan temuannya sekaligus perlawanannya melawan penyakit reproduksi yang disebabkan ketakutan menggunakan pembalut.

Berkat usahanya melawan mitos dan ketakutan seputar penggunaan pembalut, perlahan-lahan, dari desa ke desa, seiring berjalannya waktu mesin-mesin itu dapat menyebar ke 1.300 desa di 23 negara bagian.

Kini lelaki yang masuk 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia menurut majalah Time 2014 lalu telah memproduksi alat temuannya untuk disebarkan bagi 104 negara-negara miskin termasuk Kenya, Nigeria, Mauritius, Philipina, dan Bangladesh.

Berkat tindakannya ini, Muruganantham digelari sebagai “pahlawan”. “Jika di Amerika punya Superman, Batman, atau Spiderman. Maka di India ada Padman,” Ungkap Amitabh Bachchan yang muncul sebagai cameo.

Data Film:

Sutradara : R. Balki

Genre : Biografi, drama, komedi

Cast : Akshay Kumar, Sonam Kapoor, Radhika Apte

Durasi : 140 menit

Tahun rilis : 2018

Studio : Grazing Goat Pictures

Rating : 8.2/10 (IMDb), 100% (Rotten Tomatoes)

 


sumber gambar: Bollywood Garam.com

  • Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis.  Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran. Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya…

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221