Buku dan Puisi; Ziarah Terpanjang Saifuddin Almughniy

Judul          : Cinta dan Nyanyian Hujan (antologi puisi)

Penulis        : Saifuddin Almughniy

Penerbit      : Meja Tamu

Cetakan      : Pertama, Mei 2017

Tebal          : xxx + 160 Halaman

Saat aku berjumpa cinta saat itu juga aku tak bertemu cinta, saat aku memahami cinta saat itu juga aku tak mengerti cinta, saat cinta menyapamu seketika itu engkau tak mengenal dirimu, engkau telah mengubur diri karena yang tumbuh tenyata hanyalah dia.  Sejak itulah aku tak membutuhkan rindu karena dirimu tak lagi berjarak denganku.

(Sopian Tamrin)

Apa yang lebih jujur, halus tetapi kuat dan tajam, lebih dari puisi? Barangkali tak ada, petuah-petuah bijak bahkan kitab-kitab suci datang dengan kalimat yang sangat puitis. Itu menjadi penanda bahwa puisi adalah ruh yang menghidupkan peristiwa bahkan peradaban. Ia menjadi monumen peringatan juga kenangan di sepanjang sejarah peradaban manusia.

Secara sederhana puisi merupakan ekspresi kreatif atau renungan seorang terhadap sebuah peristiwa. Puisi menjadi media mengekspresikan ide-ide pencerahan dan pembaruan. Di sana  kejujuran, maksud baik, refleksi diabadikan.

Para penyair—walaupun saya yakin Saifuddin Almughniy tak pernah berharap disebut penyair—selalu punya caranya sendiri dalam menyampaikan kemarahan, kerinduan, kegelisahan atau pikiran-pikirannya. Mirip-mirip dengan para nabi, pertapa atau para sufi. Ada kekhasan tersendiri bagi mereka dalam memaknai hal-hal yang ditemuinya di setiap lorong-lorong kehidupan. Demikian halnya dengan Saifuddin Almughniy—Penulis buku ini—dalam melukiskan relung-relung keresahan dan kerinduannya.

Cinta dan Nyanyian Hujan. Sebuah buku dengan kejernihan makna dan kedalaman permenungannya; tentang cinta, kepergian dan kesetiaan. Barangkali sulit bagi kita untuk percaya bahwa 129 puisi dalam buku tersebut ditulis hanya dalam waktu 12 hari. Rasa-rasanya memang sulit untuk mempercayainya, bagaimana bisa ia ditulis hanya dalam tempo yang sesingkat itu. Tapi percayalah, puisi tersebut benar-benar dituliskan hanya dalam 12 hari. Kalau tidak percaya, bacalah buku tersebut, lalu temuilah penulisnya dan berbincanglah dengannya.

Sebetulnya, buku tersebut merupakan saripati atau ruh dari novelnya yang juga di tahun ini akan terbit “Memungut Cinta Di Atas Sajadah”, yang ia tuliskan lebih dari enam tahun. Berkebalikan dengan buku puisi ini, yang begitu singkat. Buku ini adalah buku yang ke 22-nya. Sekalipun bukan kali pertama menulis puisi, tetapi buku ini terasa begitu spesial, sebab dialamatkan untuk dua perempuan yang disebutnya sebagai ibu; ibu baginya dan ibu bagi kedua anaknya. Buku ini tentu saja berisi demonstrasi patahan-patahan perasaannya, tentang dua orang perempuan yang begitu banyak mempengaruhi arah sejarah kehidupannya. Anda tahu, perempuan tersebut pergi mengabadi tepat di jam, tanggal dan hari yang sama, hanya berbeda tahun. Suatu peristiwa yang sangat muskil untuk disebut sekadar kebetulan.

Buku Cinta dan Nyanyian Hujan karya Saifuddin Almughniy ini sepertinya ingin menjelaskan lika-liku perjalanan cintanya. Buku ini menjadi tugu dari serangkaian perjalanan yang telah disusurinya. Ia monumen ingatan, pusara keabadian kisahnya. Puisi-puisinya dalam buku tersebut memanifestasi patahan-patahan dari penghayatan dan permenungannyayang begitu reflektif—baik sebagai anak dari seorang perempuan yang disebutnya ibu, maupun sebagai suami dari perempuan yang dipanggilnya kekasih atau ibu anak-anaknya—dalam memotret peristiwa agung antara seorang lelaki dengan dua perempuan yang ia sangat hormati dan kasihi. Terutama kejernihan dan kearifannya dalam mengemas dialog dan laku spritual, sosial dan intelektual ibunya dan ibu dari anak-anaknya, dalam diksi ataupun bait-baitnya yang maknawi.

Buku ini bagi para perindu atau pecinta kesejatian tentu sangat mungkin untuk dijadikan kitab suci, tentu bukan dalam pengertian “pengganti ayat-ayat ilahi”, tetapi dalam pengertian hikmah atau pelajaran. Sekalipun tema-tema yang disajikan dalam buku ini barangkali sudah akrab dengan telinga dan pikiran kita, tetapi ada hal yang khas dari buku ini. Setidaknya buku ini dalam menggambarkan maknanya selalu menggunakan pendekatannya yang sangat reflektif dan kontemplatif. Di situlah salah satu kelebihan dari penulis buku ini, mampu menyajikan beragam dialog dengan bahasa yang cair, komunikatif, dan sangat piawai menempatkan diksi-diksi yang reflektif dalam setiap bait-bait syairnya.

Pada intinya, syair yang ada dalam buku ini mesti dibaca dengan cinta, di mana hati sedang dalam kondisi bersukacita. Tanpa kondisi sukacitakita akan membaca syair-syair tersebut seperti membaca buku biasa, yang mana setiap katanya berlalu begitu saja. Padahal dalam setiap syairnya, ada serangkaian peristiwa, setumpuk makna yang penulis hendak sampaikan.

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221