Kali ini saya membaca Steven Pinker, setelah sebelumnya saya membaca Yuval Noah Harari. Ada benang merah yang mereka bicarakan yakni laju kehidupan, perkembangan sains dan teknologi. Kedua-duanya melihat, bahwa dalam kehidupan kita sudah banyak terselesaikan karena sains dan teknologi. Segala kesulitan hidup manusia, sains dan teknologi hadir sebagai solusi.
Khususnya Steven Pinker, ia tampil menjadi orator ulung dalam membela kemajuan sains. Dan mengutuk setiap orang yang pesimis pada kemajuan ini. Baginya, jalan ini sudah benar dan sudah terbukti menyelamatkan kita. Benar di dunia masih ada kekacauan tapi statistik menunjukkan penurunan setiap tahun dan abadnya. Kita perlu optimis atas pencapaian nalar, sains dan humanisme serta kemajuan yang ada.
Jika kita bertanya, apa yang sebenarnya paling mendasar diinginkan oleh manusia, Yuval mengajukan tiga hal: keabadian, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Dan saya pikir ketiga hal ini yang paling kita kejar. Bisakah sains mewujudkan ketiganya? Para saintis dengan lugas memberi jawaban, itulah yang sementara dikerjakan. Kedepan sains dan teknologi tidak hanya sedang melawan penyakit, tetapi bergerak melawan kematian. Itu untuk satu hal: keabadian.
Ada perbedaan yang signifikan antara sains dan agama melihat konsep keabadian. Agama menempatkan pada kehidupan setelah dunia ini. Tapi sains mengambil jalur lain. Keabadian bisa di sini, di dunia ini, tanpa menunggu kematian. Sebab kematian bukanlah syarat mutlak untuk abadi. Ia hanya kesalahan-kesalahan teknis yang terjadi pada tubuh kita. Dan tentunya bisa diselesaikan dengan upaya teknis pula.
Jika demikian adanya upaya sains, ada hal-hal yang menjadi risih dalam kehidupan keberagamaan kita. Doktrin-doktrin agama seperti, eskatologi, surga dan neraka menjadi goyah. Ia bisa jadi tak relevan lagi. Jika manusia masih membutuhkan agama tentunya diperlukan sebuah tafsiran baru. Tafsiran yang relevan dengan perkembangan ini.
Sains dan teknologi sedang berlari kencang menyibak banyak hal. Para jomblo tak perlu khawatir lagi akan ancaman kepunahan karena tak memiliki pasangan. Sekarang, tanpa pasangan pun kita bisa punya keturunan. Punya anak yang secara gen bisa disilangkan dengan gen yang unggul. Tanpa berhubungan badan dengan lawan jenis, anak bisa “lahir” sehat tanpa cacat fisik dan psikis. Lalu kembali lagi, bagaimana agama menyikapi ini?
Sepertinya, kedepan agama perlu konsep baru tentang pernikahan dan status anak yang “lahir” dari proses teknologi. Perlu fikih yang baru untuk menjelaskan akan posisi anak tersebut. Teks agama tentang keluarga, jika tak dibaca ulang dalam melihat kenyataan seperti ini, ia akan semakin menguatkan sainstis, bahwa agama dari sononya tidak memiliki titik temu dengan sains.
Atau pada hakikatnya memang agama dan sains tidak bisa berjumpa?
Jika membuka lembaran sejarah, di sana kita akan disuguhkan konflik yang tajam antara sains dan agama. Satu sama lain saling menegasikan. Ingatan sejarah masih terwariskan ihwal apa yang dialami Copernicus dan Galileo. “Agama” menentang segala temuannya. Walau belakangan temuan mereka yang terbukti benar. Dalam dunia Islam, kita banyak mengenal nama saintis. Apakah temuan-temuan mereka didasarkan pada doktrin-doktrin Islam? Sebuah tanya yang memerlukan penelusuran historis.
Sumber gambar: https://www.teknoekip.com/yapay-zeka-neden-insanlardan-daha-yavas-ogreniyor-18134.html