YANG TERSISA DARI PEMILU 2019

Masih terhitung pagi jelang siang. Matahari sudah mulai sedikit menyengat pori-pori tanganku yang sedang memegang stang sepeda yang sedang kugowes. Tiba-tiba handphone-ku bergetar dan langsung tersambung ke headset yang nempel di telingaku. Halo.. suara sedikit lembut menyapaku dari kejauhan sekira empat puluh kilo meter dari tempatku membalas sapaan via telepon genggam itu. “Kakak ditunggu ya..”. “Baik saya akan datang tapi agak siang,” balasku cepat dan singkat.

Adik-adik kelas waktu sekolah menengah atas dahulu kala, sedang mengadakan reunian dengan jumlah yang terbatas di rumah empangnya di sebuah kabupaten berbatasan kota Makassar, satu kabupaten terdekat dari kota Makassar. Saya tiba di kerumunan mereka persis waktu makan siang, bahkan sebagian dari mereka sudah pada suapan terakhirnya. Kampung yang kutuju ini sesungguhnya masih kawasan kampung ibuku juga, kampung-kampung yang berbatasan dengan kabupaten kepulauan yang sepanjang mata memandang terhampar hamparan tambak atawa kerap pula dibilangkan empang.

Dari orang orang yang berkumpul sekira lima puluhan orang, terselip pula dua di antaranya caleg (calon anggota legislatif). Keduanya caleg dari kota Makassar. Dalam perbincangan yang riuh dipenuhi canda tawa aku iseng menanyai kedua caleg yang masih terbilang adik angkatan saya itu. “Berapa anggaran yang engkau siapkan dalam bertarung Pemilu ini?” Keduanya hampir bersamaan menjawab dengan mimik wajah santai, “berkisar tiga ratus hingga enam ratus juta, Kak.” “Saya tidak melakukan serangan Fajar kak karena anggaran saya terbatas, hanya menyediakan berupa-rupa souvenir yang kami bagikan ke konstituen, seperti sarung, mukena, sejadah, dan lain-lain.” Di samping tentu memberi uang bensin dan makan bagi peluncur-peluncur di lapangan yang membantunya. Kalau lawan-lawan kami yang berkantong tebal mereka memang menyiapkan anggaran di atas satu milyar jelasnya.

Tuan rumah menjelaskan bila di sekitar kampung ini hampir setiap hari kedatangan tamu asing. Atawa tamu yang keluarga besarnya beranak pinak di kampung ini yang menjelang pemilu baru rajin mengunjungi sanak-saudaranya demi kepentingan suara. Lihat saja mobil-mobil baru yang lalu lalang itu mereka bukan penduduk kampung sini. Mereka adalah para caleg atawa “peluncur” yang sedang bersaing dan bekerja keras mendekati dan membujuk para konstituen dengan berbagai strategi dan iming-iming.

Saya meninggalkan kampung tambak ini setelah penduduknya usai melaksanakan ibadah salat Zuhur di masjid dan surau yang tidak terlalu sulit menemukannya. Hal ini juga mungkin penanda atau sebuah indikator bila penduduk kampung ini terkategori sejahtera. Sepanjang jalan masjid-masjidnya yang kulintas lumayan bagus secara fisik untuk tidak mengatakannya mewah. Di perjalanan sebelum memasuki ibu kota kabupaten, kuputuskan untuk menyambangi adik kandungku. Tempatnya di salah satu desa atawa kampung di pelosok bagian timur kabupaten ini yang besisisan dengan bukit-bukit karst nan indah. Kendaraan kubelokkan mengarah ke timur menyusuri jalan-jalan beton yang tak seberapa lebar tapi cukup dilewati kendaraan roda empat bila bersisian kiri dan kanan. Realitas ini juga penanda bila pembangunan di kabupaten ini secara fisik sudah cukup distributif dan merata.  Kampung tempat kelahiran ayah saya ini terbilang kampung paling tepi dan paling ujung.

Kala kendaraan yang kutumpangi kutepikan di pagar rumah adikku, dari rumah-rumah tetangganya yang masih terbilang kerabat, mengintip-intip dari jendelanya. Pun orang-orang yang sedang mengaso di sebuah balai-balai, di pojok pekarangan sebelah rumah adikku setelah menunai salat azar bersama di surau. Aku belum sampai dan duduk di beranda rumah panggung adikku, sekonyong-konyong para tetangga itu berdatangan. Melihat kedatangan mereka, adikku tersenyum lebar seraya berseloroh bercanda dengan bahasa bugis yang berarti: “Bukan caleg ini yang datang, tapi kakak saya dari Makassar.” Dengan mimik kecele kerabat saya itu tetap datang dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tradisi yang entah kapan dimulainya.

Melihat fenomena yang berkembang sejak lama di negeri ini, cara-cara culas untuk meraih kekuasaan politik masihlah mengemuka. Money politic, serangan fajar, dan iming-iming material yang menyerbu para konstituen masih sangat massif dari kota hingga ke pelosok desa. Para caleg masih menyiapkan segepok anggaran untuk meraup suara. Inilah salah satu penyebab sehingga korupsi di negeri ini masih susah hengkang dari berbagai sumber-sumber anggaran. Para politisi dan partainya masih bermain di ruang-ruang gelap untuk meraih kekuasaan.

Secara umum, sesungguhnya politik menghendaki sebuah proses bergulirnya pembagian kekuasaan di dalam masyarakat. Bentuk praktisnya pembuatan keputusan khusus  dalam sebuah Negara. Yakni keputusan yang diambil dari rakyat (perwakilan) dan untuk rakyat (yang diwakili). Sebagaimana sinyalemen Aristoteles, bahwa muara sebuah proses politik adalah usaha yang mengajak warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Muara dari keseluruhan proses demokrasi dalam politik adalah bagaimana kebaikan bersama dapat terwujud dalam berbangsa dan bernegara, yang secara substansial di mana rakyat memberikan amanat dan tanggung jawab kepada pihak-pihak yang mendapatkan dukungan oleh rakyat kebanyakan.

Jadi tanggung jawab moral, spiritual, dan konstitusi melekat di dalamnya. Tapi, lihatlah realitas yang ada, di mana modal dan politik uang masih menguasai dan merajai proses demokrasi dan politik kita, dari level paling bawah hingga di pucuk. Nampaknya sudah jamak di negeri ini bahwa secara etis partai politik juga tidak berperan dengan baik, mulai dari proses pengkaderan dan rekruitmen anggotanya. Yang dipikirkan adalah bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dan partainya menjadi pemenang di setiap Pemilu (pemilihan umum).

Jadi perpenjelasan singkat dan sederhana di atas berkenan fenomena pada paragraf yang lebih awal, menunjukkan secara substansial arah dan pergerakan demokrasi dan politik di negeri yang kita cintai ini sudah mulai menyimpang. Belum lagi bila kita memotret fenomena pertikaian dua pendukung paslon presiden pada pemilu yang baru saja dihelat, menyisakan rangkaian dendam kesumat. Bagaimana tidak di masa kampanye semua cara digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Dari hoaks, fitnah, dan berbagai cara-cara Machiavellian digunakan untuk menghancurkan lawan. Dan bila kita cermat mengamati, bahwa sesungguhnya fenomena ini telah berlangsung sejak pemilu 2014 dihelat. Hoaks dan fitnah merebak bak bola api menggelinding di jerami kering seolah tiada akhir hingga pemilu tahun 2019 ini.

Bila membaca sejarah pendahulu kita, bagaimana mereka mempraktikan politik beradab dan saling menghargai pastilah terkesan elok. Contoh paling kecil bila kita menengok sepak terjang, Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, dan Kasimo, mereka paling tidak memberi contoh-contoh selain persahabatan mereka di luar panggung dan khasak-khusuk politik, mereka juga mempertontokan sebuah gerakan politik narasi dan literasi yang baik. Mereka tidak hanya berpolemik di mimbar-mimbar kampanye dan sejenisnya, tapi juga secara intelektual berpolemik lewat tulisan di berbagai media maupun buku yang mereka tulis sendiri. Sebagai politik gagasan yang mestinya menjadi budaya yang mesti diteruskan oleh para politisi negeri ini. Bukan hanya pandai merangkai hoaks dan fitnah yang secara psikologis bisa berdampak sangat buruk pada generasi penerus bangsa ini.

Beberapa menit sebelum aku meninggalkan mukim adikku, seseorang berusia parubaya menanyaiku dengan suara sedikit bergetar. “Apakah betul kalau si Fulan yang menang dalam pemilu ini, suara adzan akan ditiadakan di masjid-masjid?” Aku terhenyak dan sedikit senyumku kukulum untuk semua kerabat yang hadir di mukim adikku sore itu, lalu kuberi penjelasan secara proporsional bahwa dua paslon presiden yang sedang berkompetisi dalam pemilu kali ini, adalah muslim semuanya, mereka salat, puasa, naik haji, membayar zakat, dan melaksanakan berbagai ritual Islam lainnya.

Imam Al-Mawardi dalam kitab Adab al-Dunia wa al-Din mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa; “Kehidupa di dunia ini memang unik. Diumpamakan pertandingan, dalam pertandingan ada harapan untuk menang, serta ada trik dan perjuangan yang akan dipraktikkan. Dalam pertandingan-pertandingan ini, semua orang harus mengikuti aturan serta menjauhi larangan, karena jika hal itu dibutuhkan maka ia akan melakukan kecurangan yang akan dilanggar, bahkan mencelakakan lawan-lawannya. Maka ini sangat berbahaya.”

Lebih lanjut Imam Al-mawardi menjelaskan, bahwa ada dua hal yang selalu dihindari Imam Ali. Yang pertama mengikuti hawa nafsu karena akan menutup diri dari kebenaran, dia tidak akan menerima jenis apapun kebenaran itu. Pada hakekatnya nafsu selalu berhubungan dengan hala-hal negatif, maka segala macam kebenaran tak akan diterimanya, sehingga berujung pada pembenaran yang sesuai dengan hawa nafsunya. Kedua, terlalu panjang dalam berangan-angan yang tak berguna. Kekhawatiran ini akan melalaikan kehidupan akhirat. Kemenangan abadi adalah kemenangan yang diliputi kebajikan dan penuh cinta.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221