Ramadan Itu Bening

Puasa atau saum adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela berpantang dari makan dan minum serta melakukan hubungan suami-istri pada waktu yang telah ditentukan. Secara umum puasa ini hampir semua agama telah memerintahkan, melakukannya, baik agama samawi maupun agama non samawi. Sehingga berkenan dengannya, secara umum hampir pula tidak ada perdebatan. Kecuali di kalangan umat Islam ketika masuk pada hal menentukan waktu masuknya bulan Ramadan. Secara umum, puasa dimotivasikan agar orang-orang yang menjalankannya menerima manfaat, baik secara ruhaniah (spiritual) maupun secara fisik. Bagi umat Islam secara khusus agar pelaksananya sampai kepada manusia yang bertakwa sedangkan secara fisik telah banyak dibahas oleh ahli gizi maupun para dokter di berbagai keahlian. Dan secara umum pula yang kerap disampaikan, bahwa puasa itu sebagai media detoksifikasi atawa sebagai media (aktifitas) mengeluarkan racun-racun yang semayam di dalam tubuh kita.

Ramadan adalah bulan di mana segala kebajikan yang dilakukan akan dilipatgandakan pahalanya, sehingga sebuah frasa yang populer di tengah masyarakat bahwa di bulan Ramadan, bila engkau berbuat kebajikan sedepah maka kebajikan itu akan mendatangimu beribu depah, bahkan Tuhan membilangkankannya pula bahwa bulan Ramadan ini adalah bulanku, pahalanya akan langsung kuberi dariku. Bulan Ramadan juga dibilangkan sebagai bulan pengampunan, sehingga apa bila seseorang menjalani puasa dengan baik, tidak makan dan minum dari waktu imsak hingga terbenamnya matahari, serta mengasah batinya untuk selalu berprasangka baik dan berlaku bajik dan bijak kepada sesama manusia, maka memasuki bulan Syawal, manusia seperti ini diibaratkan Ia baru lahir kembali dalam keadaan suci sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim Ibunya. Itulah orang-orang yang meraih predikat takwa sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah ; 183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang bertakwa”.

Menurut Imam Al-Ghazali dengan merujuk sebuah hadist, bahwa selain puasa yang sifatnya elementer, seperti tidak makan dan minum, serta menyalurkan hasrat birahi pun pada suami istri. Secara substansial intisari dari puasa itu diantaranya adalah “tidak berbohong, tidak menggunjing, tidak mengadu-domba, tidak bersumpah palsu, dan tidak memandang lawan jenis dengan syahwat.”. Bila dalam berpuasa masih terjebak satu dari lima yang mesti dihindari di atas pasti kualitas puasa kita akan terjatuh dan terpuruk. Karena puasa itu juga bagian dari latihan meningkatkan akhlakul karimah sebagai salah satu misi utama dakwah Nabi maka lima unsur yang dijelaskan Imam Al-Ghazali di atas adalah menjadi sangat penting dan utama dalam mendukung proses peningkatan laku dan budi baik dalam kehidupan kita. Kata Imam Ghazali kemudian, bahwa Allah SWT telah menyediakan satu tempat khusus di Sorga, yang di pintunya bertuliskan Al-Rayyan (kesegaran, kedamaian) dan hanya bisa dimasuki oleh mereka yang ahli puasa. Secara sosiologis, bila kita mampu menahan diri untuk tidak melakukan lima hal di atas, maka nampaknya kehidupan masyarakat akan menjadi tenteram dan bening sebening-beningnya, kendati masyarakat masih berasyik-masyuk dengan suasana politik yang kerap menjadi tipu daya.

Jadi, sesungguhnya bila ingin melihat seseorang atau sebuah komunitas telah melaksanakan puasa dengan baik maka lihatlah perubahan pada kejiwaannya yang terpancar dari perilakunya setelah puasa dilaksanakan selama sebulan penuh. Makanya dalam perspektif spiritualitas, kala ramadan telah beranjak meninggalkan semesta maka manusia-manusia yang telah menempa dirinya dengan segenap maksimalisasi kemampuannya menjalankan ibadah puasa, maka di gerbang syawal Ia atawa mereka akan menjadi bening, sebening bayi yang baru lahir. Tutur kata akan berhijrah dari pengumpat dan pencaci menjadi lemah-lembut, laku dan gerak geriknya, dari kasar hijrah mencerminkan akhlak tinggi atawa budi pekerti yang baik, dari kerap berprasangka buruk mengubah diri (hijrah) menjadi positif thingking selalu berprasangka baik. sebagaimana pesan Sayyidina Ali Bin Abu Thalib, bahwa “Ilmu orang beriman itu ada pada amalnya, sedang orang munafik ada pada lisannya.”.

Bukankah salah satu tujuan bernegara adalah tercapainya sebuah negeri yang “Baldatun Tayyibah wa Robbun gafur” “sebuah negeri yang baik, sentosa, adil dan makmur, serta mendapat perlindungan Tuhan yang maha kuasa.” Nah. Negeri impian untuk semua orang seperti yang kerap dipidatokan oleh para ustadz dan ulama serta para pemimpin ini, syarat utamanya adalah melahirkan rakyat, warga, dan Bangsa yang berkualitas bening sebening embun. Kualitas manusia-manusia takwa. Manusia-manusia yang telah tercerahkan oleh celupan ramadan karim. Manusia-manusia yang berprilaku saleh, manusia-manusia yang telah berhijrah hati dan lakunya oleh tempaan ramadan. Bukan manusia-manusia yang nampak secara fisik ‘bepakaian saleh’, tapi suka menyakiti sesamanya baik pisik dan non fisik. Manusia-manusia yang suka pamer bila berbuat baik. Manusia-manusia yang suka menyebar hoaks dan fitnah pada semesta raya. Manusia-manusia yang selalu merasa paling baik dan benar di antara manusia lain. Dua style dalam mengarungi hidup ini sebagai bangsa terus akan “berperang”. Jadi, bila ingin memotret capaian negeri yang baik dan mendapat pengampunan dan perlindungan Tuhan, ya lihat saja sikap dan style warganya, apakah dia tipikal yang petama atawa yang kedua, wallahu a’lam bisyawwab.

Puasa mencakup dimensi sangat pribadi pada seseorang dan juga berdemensi universal untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa sebuah Negara dan untuk memberi spirit kesehatan lahir dan batin untuk warga sebuah Negara dan bangsanya. Sebab, seperti pembahasan pada alinea awal ditulisan ini, bahwa puasa itu menjadi ajaran dan perintah dihampir semua agama di bumi ini. Baik agama samawi atawa agama langit yang diantaranya adalah, Yahudi, Nasrani, dan Islam, maupun agama tabhi’i, yakni agama yang lahir secara alamiah dan proses natural dari kebudayaan sebuah komunitas atawa warga, seperti, Agama Hindu, Buddha, Shinto, dan Konghucu. Walaupun dengan jumlah dan waktu pelaksanaannya berbeda-beda, tapi secara substansial caranya secara umum sama, dengan menahan untuk tidak makan dan minum, menyalurkan nafsu syahwat kepada suami istri sekali pun. Bahkan pada masyarakat yang tidak mengenal agama sekalipun, seperti komunitas-komunitas primitive dan yang lainnya ditemukan adanya kebiasaan berpuasa.

Ada dua hal sehingga puasa disyariatkan oleh agama-agama yang ada, diantaranya pertama adalah, puasa sebagai alat untuk mendekatkan diri menuju Allah. Karena alasan inilah sehingga kita menemukan perintah puasa pada seluruh agama di dunia ini. yang kedua, agama dapat memenuhi kebutuhan spiritual kita. Bila semua orang yang beragama memperaktikkan sisi-sisi spiritualitas puasa secara baik dalam kehidupannya maka dapat dipastikan sebuah negeri seperti negeri yang indah ini, negeri kita tercinta Indonesia akan sampai pada suasana bangsa yang saling mengasihi dan mencintai. Sebuah Negeri yang berperadaban tinggi seperti yang dicitakan para founding fathers Negeri ini dan UUD serta perangkat politik dan hukum lainnya.

Makassar, Mei 2019.

 

Ilustrasi: https://www.thehansindia.com/

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221