Spirit Literasi, Flashdisk, dan Narasi Kehidupan

Setelah kegiatan bedah buku Pesona Sari Diri, karya Sulhan Yusuf (saya sering memanggilnya Kak Sul) di Desa Bonto Jai, Kecamatan Bissappu, Bantaeng, yang melibatkan saya selaku pembedah, saya menemukan muara, sebagai refleksi dari karya yang cukup gurih, enak, sangat inspiratif, dan filosofis. Bermuara minimal pada diksi “spirit literasi”, “flashdisk” dan “narasi kehidupan”.

Pesona Sari Diri sebagai anak ruhani Sulhan Yusuf, yang kurang lebih 529 halaman, terbagi menjadi empat bagian, merupakan “narasi kehidupan”, yang lahir dari hubungan intim dari “spirit literasi”. Pesona Sari Diri sebagai buah dari proses eksternalisasi, menghabiskan durasi rentang waktu kurang lebih 3 tahun, sebentuk  refleksi atas fenomena, pergulatan, dan pergumulan dinamika kehidupan yang mengitari, mengiringi keseharian Sulhan Yusuf.

Namun, jika menyelami lebih dalam dan mengonfirmasi, terhadap personalitas dari seorang Sulhan Yusuf, maka sesungguhnya Pesona Sari Diri diawali dengan proses internalisasi ke dalam dirinya, sebagai hasil pembacaan filosofis, dari dinamika intelektualitas, sosial, budaya, politik sampai pada persoalan religius-spritualitas. Dan ini merentang dalam ruang dan waktu yang lebih lama, cukup panjang dibandingkan proses ekternalisasi itu sendiri.

Seringkali penulis buku Pesona Sari Diri, Kak Sul, memberikan labelisasi, bentuk identifikasi bahwa literasi dan dirinya sendiri, identik dengan literasi itu sendiri, bagaikan “flashdisk”. Istilah “flashdisk” adalah sebuah hardware eksternal dan bersifat portable untuk penyimpanan berbagai jenis data. Sebagai Flashdisk, dirinya siap dicolokkan di laptop dan komputer manapun, tentunya selama memiliki alat pembaca USB (Universal Serial Bus).

Mendaras buku Pesona Sari Diri, tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa karya itu adalah sari diri dan personalitas penulis itu sendiri. ketika saya mencolokkan dengan beberapa perspektif, lalu saya melakukan perjumpaan segitiga imajiner dengan penulis lain, maka dirinya sebagai flashdisk, sungguh benar adanya. Identitas, bahkan sebagai tesis, bahwa penulis sebagai flashdisk yang siap dicolokkan, amat tepat dan tidak berlebihan.

Pada sebuah kesempatan orasi budaya, oleh Yudi Latif, ketika haul Cak Nur (Nurcholish Madjid) ke-13, sempat menyampaikan tentang teori radiasi budaya, dari seorang sejarawan,  Arnold Toynbee. Berdasarkan teori radiasi budaya, sebagai hasil survey dari beberapa peradaban secara komparatif, menyimpulkan bahwa peradaban mana—tentunya termasuk negara dan bangsa—yang bertahan dalam waktu adalah yang memiliki basis, visi dan nilai–nilai spritualitas. Dalam teori radiasi budaya tersebut, visi dan nilai –nilai spritualitas adalah salah satu lapisan dari 4 lapisan (selain lapisan etika, estetika, dan teknologi sains) yang paling utama dan menentukan sebuah peradaban bisa bertahan atau tidak.

Membaca buku Pesona Sari Diri, meskipun di dalamnya ada khusus tentang Bagian II, Teras Religiusitas (Hal. 147-258), tapi sesungguhnya keseluruhan buku ini mengandung visi dan nilai–nilai spritualitas. Membaca, memahami, dan menginternalisasi ulang ke dalam diri pembaca dari pembacaa  Pesona Sari Diri –sebagai proses ekternalisasi, yang diawali proses internalisasi–adalah sebagai upaya nyata mempertahankan peradaban, bangsa dan negara, sekaligus membangun peradaban literasi.

Nilai –nilai spritualitas, sebagai salah satu perasan dan bersumber utama dari ajaran dan spirit agama, tak ketinggalan Sulhan Yusuf pada Bagian IV, Pesona Persona, esai “Tjokro, Islam dan Sosialisme”, menguraikan pesan spritualitas, “Pentingnya agama sebagai salah satu variable perubahan.” Bahkan Ali Syariati melihat agama sebagai pijakan transformasi sosial, sehingga agama khususnya Islam, ditafsirkan menjadi agama yang sangat revolusioner (Hal. 408).

Dalam menjalani hidup dan kehidupan, seringkali kita menghadapi berbagai problematika hidup, tetapi ibarat garam akan terasa asin, sedang, sangat atau tidak terasa, sangat tergantung personalitas diri kita. Sulhan Yusuf selaku penulis Pesona Sari Diri dan yang dirinya identik dengan flashdisk, saya mencoba colokkan, melakukan perjumpaan imajiner segitaga dengan Arvan Pradiansyah. Dalam Buku karya Arvan Pradiansyah, The 7 Law of Happiness, dapat ditarik kesimpulan, bahwa kita membutuhkan proses intrapersonal relation, interpersonal relation, dan God relation, agar garam kehidupan itu tepat sesuai selera. Dan, termasuk kita akan senantiasa mampu surfing menghadapi badai kehidupan.

Buku Pesona Sari Diri, pun demikian, mampu membuat pembaca yang telah menginternalisasi sari diri yang ada di dalamnya, untuk bisa menjalani hidup ini penuh kebahagiaan. Senantiasa mampu surfing by the soul, sehingga menghadapi badai sekalipun, diri tetap tenang. Pesona Sari Diri yang memang sangat gurih, bisa dibaca berbagai kalangan, bisa menjadi pemantik agar hidup tetap bahagia. Sari diri yang ada dalam buku ini, adalah sari diri dari penulisnya sendiri, konfirmasi realistis bahwa penulisnya juga selalu bahagia, tenang menghadapi hidup secara sederhana bisa dilihat pada bagian tulisan “Botak” (Hal.95),

Penulisnya tidak pernah marah meskipun oleh anak kecil meneriakinya “botak”. Saya pun menyimpulkan bahwa betul dalam hidup ini, sejatinya, tidak ada jalan untuk marah. Jika “hinaan” orang itu sesuai kenyataan, untuk apa marah, itu adalah sesuai realitas. Jika tidak sesuai, demikian pun tidak mesti direspon dengan marah, karena tidak sesuai dengan jati diri kita.

Buku Pesona Sari Diri Bagian I penulis membahas tentang, “Bahagia itu Mudah”. Dan saya sepakat dengan itu. Karena sesungguhnya, kebahagiaan itu berasal dari dalam diri kita, sehingga apa yang dilakukan oleh Eric Weiner yang berkeliling dunia, mengunjungi beberapa Negara, untuk mencari kebahagiaan, sejatinya itu adalah laku yang kurang tepat. Sulhan Yusuf, pada bagian ini mengutip teori Martin E.P. Seligman, pendiri Psikologi Positif, menarik sebuah tesis hubungan antara kebahagiaan dan pekerjaan. Meskipun demikian bukan berarti pekerjaan adalah sumber kebahagiaan, tetapi jika kita bekerja berdasarkan passion, yang menggairahkan hati, maka itu akan kembali menjadi pemantik untuk menambahan kebahagiaan.

Kebahagiaan, jika kita merujuk pada teori Quantum Learning, Bobbi De Porter & Mike Hernacki, bahwa suasana hati yang bahagia, tenang dan senang mampu membangunkan raksasa tidur (otak) yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Pesona Sari Diri, diawali dengan bagian “Bahagia itu mudah” bisa mengambil pesan moral bahwa perubahan apa pun pada diri kita, termasuk membangun peradaban, tanpa kecuali peradaban literasi, berawal dari suasana hati yang bahagia.

Meneropong atmosfer kehidupan berbangsa dan bernegara, cuaca perekonomian dan perpolitikan bangsa, serta sosial budaya, seringkali mengalami kondisi ekstrim yang belum sesuai dengan cita–cita dan harapan kemerdekaan, sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara. Berangkat dari itu, faktornya, salah satunya karena bangsa kita sedang mengalami krisis keteladanan, sosok yang mampu memercikkan sari dirinya, untuk diinternalisasi oleh anak bangsa.

Bangsa kita sedang dilanda sejenis cultural lag dan cultural shortage, atau dalam perspektif Yasraf Amir Piliang, sedang terjadi “Kekacauan Organisme Kebudayaan”. Bangsa kita, bukan berarti tidak punya gagasan cemerlang, gagasan ideal, konsepsi–konsepsi yang luar biasa, tetapi intinya kita sedang krisis keteladanan.

Yudi latif menyampaikan dalam Kata Pengantar bukunya, Mata Air Keteteladanan, bahwa “Ada keluhan panjang tentang krisis keteladanan, banyak yang meratapi ketiadaan panutan di tengah masyarakat, sebagai mercusuar di kegelapan. Kita telah gagal mentransmisikan kisah keteladanan para pahlawan, baik yang meninggal maupun yang masih hidup.

            Di balik keteladanan kita bisa memetik pesan moral, untuk selanjutnya menginternalisasi nilai–nilai luhur bangsa yang menjadi spirit dalam menjalani kehidupan. Saya menyimpulkan, Yudi latif yang telah melahirkan karya, Mata Air Keteladanan, dengan niatan memenuhi harapan tersebut. Ternyata, Sulhan Yusuf pun dalam Pesona Sari Diri, terutama pada Bagian IV Pesona Persona, telah memenuhi keluhan panjang tentang krisis keteladanan tersebut. Selanjutnya, para pembaca bisa memetik sari dirinya, bahkan selain dalam anak ruhani tersebut, pada diri Sulhan Yusuf sendiri, ada keteladanan yang luar biasa, sehingga Bahrul Amsal pada Prolognya dalam Buku tersebut, “Altruisme”, semuanya dapat diasalkan dari kata ini.

Dr. Stephen Palmquis dalam karyanya, Pohon Filsafat, salah satunya, bisa ditarik sebuah hal filosofis bahwa ada kesamaan pola paparan perkembangan cara berpikir manusia pada skala makrokosmik (budaya manusia)—mitos, sastra,filsafat dan ilmu— dengan pada skala mikrokosmik (individu)—lahir, muda, dewasa dan muda. Memerhatikan pola ini, menarik relevansinya dengan proses internalisasi Sulhan Yusuf, tanpa kecuali durasi waktu (dalam hal ini saya tidak memaknai umur melata beliau), tetapi waktu panjang mencelupkan diri dalam lautan bahkan samudera literasi, tanpa kecuali dirinya siap digenangi, diterpa badai literasi, sehingga berdasarkan pola sebagaimana dirumuskan oleh Dr. Stephen Palmquis, beliua sudah berada pada level ilmu, penuh kebijksanaan.

Sulhan yusuf telah meninggalkan jauh level kehidupan penuh gelora jiwa, yang identik dengan gugat–menggugat. Sulhan Yusuf sebagaimana salah satu sari dirinya dalam karya, anak ruhaninya tersebut menawarkan satu sikap ideal, sikap yang identik dengan sikap kebijaksanaan yang menggambarkan sosok yang telah mencapai puncak pola cara berpikir manusia.

Pada bagian “Dari Gugatan ke Gugahan” (Hal. 71) dan “Menggugat, Menggugah dan Mengubah” (Hal. 74). Gugatan dan Gugahan meskipun sama–sama bermuara pada perubahan, tapi sesungguhnya dalam dimensi proses, implikasi sosial, sejatinya sebagai anak bangsa yang mengedepankan budi pekerti luhur, lebih mengedepankan gugahan.

“Yang dibutuhkan bukan lagi pidato yang berapi-api untuk kebebasan semisal Bung Karno, atau orasi yang menyalak seperti Bung Tomo agar mempertahankan kemerdekaan. Yang terpenting adalah gugahan… Bila gugat-menggugat melengket padanya muara kemenangan, yang melahirkan kesenangan, maka gugah-menggugah melengket padanya ujung kegemilangan, yang membuahkan kebahagiaan.”

Ini bukan cuma sari diri yang berada dalam dimensi idealisme. Namun, pada diri Sulhan Yusuf telah mewujud dalam dimensi realitas social. Nampak dalam pengalaman empirisnya bahwa dirinya lebih senang memberikan gugahan dan hampir tidak pernah ditemukan untuk sekarang ini, dirinya memberikan gugatan. Dirinya telah melewati level imajinasi, gelora jiwa, pemahaman, dan telah sampai pada level penimbangan, sebagaimana pola Stephen Palmquis.

 

 

 

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221