Anies Tak Lagi Sama

 

Waktu jadi mahasiswa, Anies Baswedan adalah salah satu pemateri saya di acara pertemuan BEM se-Indonesia. Saya mewakili kampus, Universitas Negeri Makassar—tempat saya kuliah. Saat itu, Anies bicara tentang peran intelektual dalam konstelasi perubahan di Indonesia. Intinya, perjalanan bangsa ini ke depan akan ditentukan oleh seorang intelektual namun memiliki jiwa interpreneur. Panggung politik Indonesia akan dikuasai oleh intelektual semacam ini. Dan Anies tentunya menyarankan agar kami memikirkan untuk memilih model seperti.

Sejak pertemuan BEM se-Indonesia itu, akhirnya, saya jadi salah satu pengagum beliau. Pengagum gagasan-gagasannya. Indonesia mengajar adalah salah satu gagasannya yang brilian untuk terlibat menyelesaikan problem pendidikan di pelosok. Waktu program ini berjalan sangat spektakuler. Sebab banyak anak orang kaya lulusan luar negeri rela ikut program ini. Meninggalkan kenikmatan kota. Masuk ke desa-desa yang tak memiliki lampu. Tanpa akses internet. Semangatnya hanya satu, berbagi dengan mereka yang sudah lama tak tersentuh. Tak diperhatikan khususnya dalam dunia pendidikan. Barangkali gagasannya yang dianggap memiliki kebaruan itu, ia banyak diundang jadi pembicara di mana-mana. Dalam hingga luar negeri. Ia tampil sebagai sosok intelektual yang komplet.

Waktu terus bergerak. Melaju seperti biasanya tentunya dengan beragam peristiwa mengikutinya. Momen politik tiba. Jokowi bersama Ahok menang di Pilkada Jakarta. Tampilnya Jokowi ke panggung politik nasional, punya warna baru. Secara, Jokowi bukanlah siapa-siapa. Bukan dari keturunan penguasa. Ia seorang pengusaha mebel di Solo yang percaya jadi Wali Kota Solo. Berselang dua tahun, oleh PDIP, Jokowi diusung jadi presiden melawan Prabowo. Ini salah satu Pilpres yang sungguh memilukan. Hoaks merebak dan menjalar. Yang paling banyak diserang adalah kubu Jokowi. Mungkin kita masih ingat bagaimana Jokowi dituduh sebagai anak PKI. Orang tuanya keturunan Cina dll.

Karena politik yang menggunakan hoaks sebagai salah satu strateginya, sentimen suku, agama dan ras mencuat. Keretakan bangsa benihnya tumbuh. Anies yang waktu itu di kubu Jokowi menulis di Kompas. Judulnya sangat menohok situasi sosial politik kebangsaan. “Tenun Kebangsaan” begitu judul tulisannya. Sebuah tulisan mengurai secara tidak langsung tentang keterlibatan oleh banyak pihak termasuk oleh etnis Tionghoa (Cina) dalam memerdekakan bangsa. Bangsa kita berdiri di atas keragaman. Kita perlu merawatnya.

Singkat cerita, Jokowi menang Pilpres. Otomatis Ahok jadi Gubernur Jakarta. Anies diangkat jadi Menteri Pendidikan. Di Jakarta, Ahok beraksi. Ahok bergerak memperbaiki Jakarta tentunya dengan ragam kelemahannya. Menggusur rakyat salah satunya. Kawan-kawan aktivis sosial mengkritik ini. Ini sangat tidak memihak. Ahok tutup mata atas kritik itu. Ia semakin laju. Barangkali tak luput dari ingatan bagaimana Ahok berhadapan dengan DPR. Ahok menolak tunduk pada permainan anggaran DPR. Ahok memotong semua anggaran yang tidak rasional, walau DPR harus meradang. Berkat dukungan publik Ahok menang. DPR Jakarta tak bisa berbuat apa-apa.

Produksi kebencian terhadap Ahok semakin meninggi. Ahok mulai tak disenangi. Kaum “agamawan” terkhusus kelompok FPI pun ikut menyikat Ahok. Mungkin ide pembubaran FPI oleh Ahok dianggap melecehkan Islam. Ahok yang beragama Kristen itulah sumber masalahnya bagi mereka. Jakarta tidak boleh dipimpin oleh orang “kafir”. Ahok Kristen, Ahok kafir. Ayat Alquran ditafsir untuk mendukung bahwa orang Islam tidak boleh dipimpin oleh bukan Islam. Walau ulama lain sekaliber Quraish Shihab punya tafsir lain. Ahok tak apa-apa memimpin Jakarta. Islam tak pernah melarang. Salah satu argumentasinya Indonesia bukan negara Islam. Sehingga Tafsir orang Kristen tidak boleh memimpin orang Islam dalam keindonesiaan lebih bersifat politis dibanding teologis. Puncak kebencian Ahok diproduksi massal setelah kasus surah Almaidah ayat 51. Ahok jadi bulan-bulanan sebagian umat Islam. Para politikus ikut bermain. Media mencipta framing. Aksi massa berjilid-jilid terjadi. Kubu Prabowo penumpang hebat dalam aksi massa itu.

Kasus Almaidah bertepatan dengan pencalonan Ahok bersama Djarot maju Pilgub DKI. Elektabilitas Ahok lagi tinggi-tingginya. Gelombang massa menolak Ahok semakin membesar. Pesertanya tidak hanya dari Jakarta. Hampir seluruh Indonesia mengutus orang “memerangi” Ahok. Lain sisi, Jokowi melakukan pembongkaran kabinet. Anies dipecat jadi Menteri Pendidikan. Rumor berkembang Anies tidak terlalu kuat di-back up oleh partai politik. Saya salah satu pengagum Anies kecewa atas pemecatan dirinya. Pikir saya kala itu, Anies baiknya memang kembali ke kampus. Berbagi gagasan dengan mahasiswa. Politik tak bisa menerima orang independen seperti Anies. Begitu pikir saya. Namun perjalanan bercerita lain. Godaan politik datang. Anies ditawari jadi calon gubernur oleh Partai Gerindra. Partai Prabowo untuk melawan Ahok di Jakarta. Anies menerimanya tawaran itu, di saat bersamaan serangan ras, suku dan agama terhadap Ahok lagi membludaknya.

Anies seolah tak peduli. Ia malah menikmati dukungan dari orang-orang yang menyerang Ahok dengan alasan agama, suku dan rasnya. Ia menari di atasnya. Tenun kebangsaan jadi lupa. Beberapa kali ia ketemu dengan kelompok yang dulu menuduhnya liberal, sekuler bahkan Syiah. Debat kandidat tiba. Adu program berlangsung. Anies menawarkan program yang populis untuk rakyat kecil yang mana Ahok tak lakukan. Barangkali dalam kacamata Ahok untuk Jakarta itu mustahil. Tak ada penggusuran, rakyat kecil harus punya rumah, maka DP O rupiah adalah solusinya. Itu sejumlah kecil janji Anies. Dan masih banyak yang lain.

Dalam kacamata saya, Anies telah berubah. Kini ini murni jadi politikus. Ia sudah tak lagi bisa dibaca sebagai subjek Intelektual semata seperti yang lalu-lalu. Ia telah menjadi subjek politik—politikus. Yang terbaru janji DP 0 rupiah ternyata tak bisa menyentuh semua masyarakat. Tetap ada syarat pendapatan warga. Tiga juta lebih batas minimal yang bisa disentuh. Terbaru Warga Sunter harus menerima kenyataan sebagai warga tergusur. Janji tinggallah janji. Semua telah berubah. Angin bertiup tak menentu. Anies menikmati arah mana angin bertiup di situlah ia. Ciri khas politikus.

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221