Tikus-Tikus di Jendela Kantor

Senja nan indah telah jauh meninggalkan hamparan bumi berganti malam jelang ranum. Bulan dan bintang-bintang seolah semringah berbagi senyum pada semesta dan penghuni bumi. Di bulan jelang purnama nampak La Sakka menyusuri trotoar yang dinaungi rerimbun pohon trembessi. Dengan langkah pelan menunduk, sesekali ia sebar pandangnya ke berbagai penjuru, depan, kiri dan kanan. Di celah daun-daun pohon yang ia lewati cahaya bulan dan lampu-lampu jalan berebut menerpa tubuhnya, dan La Sakka menikmatinya sebagai sebuah keindahan yang bernilai gratis.

“Kok Ayah terlambat pulang?”

“Iya Ma, motorku bermasalah dan kutitip di kantor.”

“Tapi, ini sudah pukul sembilan lewat, Yah..”

“Aku jalan kaki.”

“Ooo kenapa tidak naik pete-pete?”

“Uang yang tersisa di kantongku akan kupakai memperbaiki motor itu besok.”

Dengan tergesa, Daeng Ngai menyambut suaminya dan beranjak dengan cepat ke dapur menyeduhkan kopi hitam kesukaannya.

Ia tak kuasa memberondongnya pertanyaan selanjutnya setelah tahu musabab keterlambatannya kembali ke rumah.

La Sakka, istirahat sejenak di ruang tamu yang sederhana dan tak seberapa luas itu.

Hanya beberapa menit, Daeng Ngai datang membawa nampan berisi segelas kopi hitam dan sepiring pisang goreng yang sudah mulai dingin, karena disiapkan untuk sore hari setiap kali, La Sakka, suaminya  pulang dari kantor.

“Alhamdulillah, seru La Sakka menyambut istrinya.”

“Tapi, pisang gorengnya sudah dingin, Yah..”

“Tidak apa-apa semua harus disukuri.”

Sungguh baik istriku gumamnya pelan nyaris tak terdengar oleh, Daeng Ngai.

Hening sejenak, lalu, La Sakka memecahkan keheningan dengan menanyakan ketiga anaknya yang tak tampak.

“Iwan masih belajar di rumah temannya, sedang Yusri dan Ida baru saja masuk kamar” jelas, Daeng Ngai.

***

La Sakka dan Daeng Ngai, telah menikah sejak sepuluh tahun silam dan dikaruniai tiga orang anak. Dua putra dan satu putri. La Sakka bekerja di kantor Dinas Pendidikan dan Olahraga di kota kelahirannya. Baru saja naik golongan setelah empat tahun lalu mengikuti ujian persamaan paket C setara sekolah menengah atas (SMA) dan mengusulkan penyesuaian golongan sesuai ijazah terakhirnya. Ia dikenal sebagai pegawai yang berdesikasi tinggi dan baik hubungan personalnya kepada semua pegawai di kantornya. Jujur dan motivasi belajarnya pun sangat tinggi. karenanya, La Sakka cukup disenangi oleh hampir semua teman sejawatnya di kantor, dari pucuk pimpinan hingga pegawai di level bawah sepertinya.

Hingga suatu pagi, pimpinan di kantor memanggilnya masuk di ruang kerjanya.

“Assalamu alaikum..”

“Wa’alaikumsalam, balas Pak Dody Iskandar.”

“Silakan masuk, Pak Sakka”

“Baik, terima kasih, Pak”

“Bagaimana keadaan keluarga kamu, Pak Sakka?”

“Alhamdulullah baik, Pak.”

“Alhamdulillah..”

Setelah ngobrol ringan dan nyaris basa-basi antara pimpinan dan anak buahnya, Pak Dody, menyampaikan maksud baiknya.

“Pak La Sakka, rencana saya libatkan di proyek renovasi dan pembangunan infrastruktur sekolah untuk anggaran tahun depan yang tak lama lagi jalan. Saya butuh orang cekatan dan baik serta jujur. Nah dari beberapa orang yang saya amati dan nilai, Pak Sakka cocok untuk job itu.”

“Terima kasih, Pak. Tapi apakah aku layak dilibatkan di proyek itu?”

“Iya, semua pegawai diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya bisa berprestasi,” timpal Pak Dody menjelaskan singkat.

“Baik Pak. Semoga saya bisa.” Sembari tersenyum semringah dan sedikit jengah.

“Pak Lasakka, nanti bantu-bantu di bagian pengadaan barang.”

La Sakka mengangguk dan berterima kasih dengan suara nyaris tak terdengar.

La Sakka keluar dari ruang kerja pimpinannya dengan hati dan wajah riang. Sehingga kawan-kawan sejawatnya ikut pula menyambutnya riang walupun mereka belum tahu persis kenapa, La Sakka sering dan sebahagia itu. Sepanjang siang itu di kantor nampak wajahnya berseri-seri hingga kembali ke rumah bersua istri dan anak-anaknya dan bahkan terbawa mimpi. La Sakka membayangkan peningkatan penghasilannya yang otomatis membantu pembiayaan sekolah anak-anaknya.

***

Di meja makan sederhananya, La Sakka bercerita pada istri dan anaknya tentang dirinya yang libatkan pada proyek kantornya tahun depan. Semua menyambutnya suka cita penuh bahagia.

“Tapi, hati-hati, pak. Saya lihat di televisi banyak orang yang ditangkap polisi dan KPK (Komisi Penanggulangan Korupsi) karena gagal mengelola proyek yang ditanganinya dengan baik,” tukas Daeng Ngai.

“Iya, InshaAllah. Karena Bosku juga sangat disiplin dan jujur. Beliau sangat ketat dalam seleksi menunjuk person dalam proyek-proyek yang dia tangani selama ini.”

“Tapi kan, baru tahun depan bapak dilibatkan.”

“Iya, kan belum lama juga golonganku naik setelah ijazah sekolah menengah atasku aku usulkan dan disesuaikan.”

“Iya Pak, semogalah semua bisa berjalan lancar dan tak ada hambatan yang berarti.”

Di balik suka cita yang meruahi hatinya ada pula kegundahan yang menyelimuti dan menghantui hati, Daeng Ngai. Ia khawatir suaminya terjerumus pada suap atawa korupsi dan sejenisnya.

“Aku berangkat dulu ya Ma..”

“Assalamu alaikum?”

“Waalaikum salam.”

“Hati-hati di jalan, Yah.”

La Sakka, memacu motor bututnya melewati jalan-jalan yang hampir setiap hari dilewatinya. Di jalan tertentu bersua macet yang belum  bisa diantisipasi dan diurai dengan baik oleh pemerintah kota. Kerap pula ia melintasi jalan-jalan tikus yang jaraknya lebih jauh tapi secara waktu lebih cepat tiba karena jalan-jalan itu tak terlampau padat bahkan kerap pula sepi.

Seperti biasa, La Sakka tiba di kantornya sebelum pukul tujuh dan langsung finger sebagai syarat kehadiran atawa bahasa lain dari absensi kehadiran yang menggunakan teknologi lebih maju. Teknologi optic jari tangan itu langsung terekam dan terbaca oleh bagian keuangan dan kepala dinas, yang tentu berkonsekwensi pada kedisiplinan, sanksi, kenaikan pangkat, dan gaji. Sejak menggunakan absensi finger itu semua ANS (Aparat Negeri Sipil) tak berani terlambat sebab konsekwensinya berat dan tak boleh diwakili. Waktu pulang pun demikian harus finger pada jam minimal yang ditentukan, walaupun waktu pulang lebih awal bisa disiasati dengan menuliskan form surat meninggalkan kantor karena tugas luar yang ditandatangani atasan langsung, dan di situ kerap terjadi persekongkolan menyiasati waktu dan korupsi waktu terjadi di banyak waktu.

“Hai Pak Sakka selamat pagi, bagaimana kabarnya?” sapa seorang dari pojok ruang tamu kantornya.

“Eeeee.. selamat pagi, Pak Idam.”

“Kapan datang?” sapa La Sakka ramah.

“Kemarin malam, pesawat terakhir dari Jakarta.”

“Pak Iwan, lagi ada rapat di kantor gubernur, pak Idam.”

“Iya, saya sudah telepon kemarin. Kami janjian memang siang.”

“Ooo baik Pak. Saya tinggal sebentar ya.”

Pak Idam, adalah kepala bagian keuangan di kementerian pendidikan. Kehadirannya kali ini dalam rangka monitoring dan evaluasi proyek yang sedang berlangsung dan telah hampir selesai, dan juga akan mendiskusikan dengan kepala Dinas proyek-proyek tahun depan. Termasuk proyek yang akan melibatkan La Sakka.

Kadis yang cukup lama memimpin kantor Disdik kota ini dikenal jujur dan menurun ke anak buahnya. Selama kepemimpinannya yang sudah masuk tahun kedelapan, hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan internal audit selalu mendapat peringkat memuaskan atawa yang terbaik di antara seluruh dinas, badan, dan kantor yang ada di kotanya. Ia pun menjadi buah bibir di kalangan ANS dan masyarakat atas kesederhanaan dan kebersahajaannya. Dia tegas menghindari keterlibatan dalam kontestasi politik, baik di kotanya, propinsi dan pemilihan umum secara umum. Pak Dody memilih bekerja secara professional dan memenej rekan kerjanya secara egaliter dan bertanggung jawab dengan mengedepankan pendekatan persuasif. Berkali-kali dapat tekanan dari anggota DPRD (Dewan Perwakilan Daerah) berkenaan dengan proyek-proyek yang di bawah tanggung jawabnya, tapi tak digubrisnya. Ia mengalir saja tak terbendung. Tak terhitung pula isu-isu santer yang akan menon-jobkan atawa memindahkannya di bagian lain. Tapi walikota tak mempunyai pilihan lain sebab kinerjanya sangat bagus sementara hendak menaikkannya ke jenjang yang lebih tinggi juga berisiko akan berhadap-hadapan dengan DPRD yang tak menyukainya.

Hingga suatu waktu, jelang Pemilukada dihelat di kotanya. Walikota yang saat ini juga lumayan baik kinerjanya tak mencalonkan diri lagi sebab sudah dua priode menjabat sebagai walikota. Biasanya perhelatan politik seperti ini membuat orang-orang di jajaran pemerintahan pangling. Ada yang memanfaatkan momentum itu mengira-ngira kandidat atawa paslon yang kansnya besar. Di situlah para pejabat penjilat yang berkinerja buruk dan tak percaya diri melakukan atraksi dukung mendukung secara silent karena pagar-pagar aturan yang membatasinya dengan sangat ketat.

Hingga tiba waktunya pemilihan walikota dihelat. Seperti pada waktu-waktu lalu, Pak Dody sendirilah yang secara terbuka maupun diam-diam yang tidak terlibat dalam proses demokrasi yang dihelat setiap lima tahun sekali untuk memilih walikota dan wakilnya melanjutkan kepemimpinan walikota terdahulu yang secara politis telah habis masa jabatannya. Riuh-rendah perhelatan demokrasi di kotanya terasa juga keras dan sengitnya dari tiga kompetitor yang sah. Termasuk hiruk pikuk para pejabat dukung mendukung Paslon, kecuali, Pak Dody dan stafnya. Di kantornya sejak awal kepemimpinannya, mengajak dan memotivasi anak buahnya untuk bekerja professional melakukan pelayanan pada masyarakat.

***

Usai sudah perhelatan akbar politik di kota La Sakka, setelah menelan banyak korban. Tujuh orang di antaranya meninggal dunia dan beberapa orang dirawat di pelbagai rumah sakit karena perkelahian massif antar pendukung. Dua pekan ke depan pemenang dalam kontestasi Pemilukada ini akan dilantik. Semua perangkat dinas bersiap-siap menerima pemimpin baru termasuk konsekuensi logisnya bagi pejabat kota yang suka melakukan petualangan politik. Sebab, pengaturan posisi para pejabat atawa kepala dinas, kantor, dan badan, adalah hak prerogatif pimpinan daerah atawa walikota. Momen-momen seperti itulah kerap dimanfaatkan oleh para pejabat melakukan gerilya dengan beragam modus operandi.

Formasi baru pejabat kota pun mulai menggelinding, padahal walikota baru yang terpilih belum dilantik. La Sakka dan kawan-kawannya di kantor, pun telah mengendus desas desus itu. Sebagian besar ANS di kantor La Sakka sudah mulai khawatir bila bos-nya yang baik itu akan dimutasikan ke jabatan lain. Hanya sedikit saja orang-orang yang tidak terlalu senang dengan sepak terjang pimpinannya yang disiplin dan menghendaki tim kerjanya bekerja melayani masyarakat secara professional.

Pada saat rapat pembentukan tim proyek tahun depan, Pak dody nampak tetap santai seperti biasanya. Tak nampak sedikit pun ada perubahan pada senyumnya dan gerak gesture tubuhnya. Walaupun rupanya gelinding isu-isu tentang mutasi besar-besaran yang akan dilakukan oleh walikota dan wakilnya yang baru saja diumumkan keabsahan keterpilihannya sebagai walikota dan wakilnya oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kota.

“hari ini saya perjelas dan pertegas komposisi pelaksana proyek, dan saya berharap SK-nya (Surat Keputusannya) sudah terdistrubusi paling lambat dua hari kemudian, kilah, Pak Dody kemudian.”

“Apakah misalnya bila terjadi mutasi atau rotasi pejabat daerah setelah walikota baru telah di sahkan dan dilantik, tidak berpengaruh lagi pada sturuktur pelaksanan proyek ini, Pak.?” Tanya La Sakka singkat.

“Ooo.. kecil kemungkinanya, Pak Sakka. Jadi, pak Sakka santai saja,” imbuh Pak Dody, dengan suara datar cenderung dingin.

***

Kabar burung yang pernah berhembus kencang akhirnya betul terjadi setelah sebulan pelantikan walikota dan wakilnya usai dihelat. Pak Dody, dimutasi sebagai Sekwan yang sama sekali tidak berhubungan lagi dengan kantor dinas yang pernah dipimpinnya.

“Itu yang saya khawatirkan, Pak sejak awal,” tukas, Pak La Sakka kala sua dengan, Pak Dody.

“Pak Lasakka, tidak perlu khawatir. Bukankah penaggung jawab proyek tidak melekat pada pribadi seseorang tapi pada jabatan. Jadi, siapa saja yang menggantikan saya sebagai Kadis di kantor ini dia akan otomatis menjabat penanggung jawab proyek,” demikian, Pak Dody berusaha menenangkan dan meyakinkan, Pak La Sakka dan kawan-kawannya.

Pak La Sakka, hanya merunduk diam mendengarkan penjelasan, pak Dody di depan beberapa teman sejawatnya  di tim proyek yang telah ditandatangani SK-nya.

Sesampai di rumah, La Sakka menyampaikan kabar yang kurang menyenangkannya ini pada istrinya.

“Mau apalagi, itu adalah keputusan biasa bila terjadi pergantian di kantor mana saja. Jadi, Ayah jalan saja seperti  biasa. Tradisi bekerja professional yang telah ditanamkan, Pak Dody tetap diimplementasikan dengan baik,” jelas Daeng Ngai.

***

Proyek yang dikerjakan, La Sakka dan timnya berjalan lancar. Pak Roy, yang bernama lengkap, Roy Permana sangat senang menyaksikan anak buahnya yang belum terlalu lama dipimpinnya bisa bekerja secara professional dengan sangat baik. walaupun ia cukup menyadari bila dirinya kurang bisa berkomunikasi secara baik dengan tim proyek yang sudah terlanjur bekerja itu.

“Pak Sakka, saya sudah bicara dengan para rekanan, ada beberapa jenis bahan bangunan arahkan ke villa yang sedang di bangun Pak Walikota di kebunnya”

“Tapi Pak, apakah nanti tidak mengurangi bestek yang ada dalam rencana bangunan-bangunan proyek kita?”

“Tidaklah.. itu hanya hadiah dari para rekanan”

“Eh.. saya juga sudah bilang ke para rekanan itu, untuk membantumu. Untuk menyelesaikan rumahmu yang belum selesai itu.”

“Waaahh.. untuk saya tidak perlu, Pak.” La Sakka berusaha mengelak.

“Kenapa, ini kan bukan bahan-bahan dari proyek kita yang diambil.”

“Hitung-hitung ini hanya ucapan terima kasih dari para rekanan.”

La Sakka, tak bisa lagi berbuat apa-apa karena penjelasan Pak Roy berintonasi perintah dan kedengaran sedikit menekan. Daeng Ngai istrinya pun sama dengannya, tak bisa berbuat apa-apa setelah dijelaskan secara panjang lebar oleh suaminya. Awalnya mereka berdua, La Sakka dan Daeng Ngai diliputi galau dan gelisah. Tapi, setelah bahan-bahan bangunan itu tiba di rumahnya senyum semringah pun menenggelamkan kegalauan dan kegelisahannya. Bahkan lebih jauh, Pak Roy memberi keistimewaan tambahan pada La Sakka. Selain bahan bangunan juga support tenaga kerja berupa tukang dan kuli untuk menyelesaikan rumahnya yang telah lama terbengkalai tidak selesai karena kurang biaya juga didapatkannya dari Pak Roy.

Rupanya, Pak Roy sudah mulai meracuni, La Sakka dan kawan-kawannya dengan cara-cara yang halus, dengan umpan-umpan kecil yang tak menyolok bak mencabut benang dari timbunan tepung secara perlahan. Entah ia sengaja atau tidak untuk mencapai target-target jangka panjangnya, menjilat ke atas dan merayu ke bawah. Menyetor upeti ke boss barunya dan meracuni idealisme dan kerja-kerja professional anak buahnya yang belum terlalu lama diamanahkan padanya.

Proyek-proyek pada tahun pertama berjalan mulus. Evaluasi dari kantor pusat dan audit dari BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan) dinyatakan lolos tanpa catatan. Tentu semua perangkat proyek dalam suasana suka cita. Mulai dari pimpinan hingga staff paling bawah. La Sakka dan Dang Ngai pun larut dalam suka cita itu. Apa yang diawal mereka khawatirkan tidaklah terjadi. Rumah yang dulunya tidak selesai-selesai karena terkendala oleh biaya, kini telah ditempatinya dengan aman dan nyaman. Bahkan uang jajan dan tunjungan sekolah anak-anaknya telah teratasi dan bahkan sedikit sedikit telah memiliki tabungan. Tak ada keluhan soal pembiayaan seperti dahulu yang selalu mengkhawatirkannya.

***

Hingga tahun ke tiga, Pak Roy memimpin Dinas yang di dalamnya, La Sakka dan kawan-kawan menjalankan proyek-proyek fisik dan non fisik cukup lancar dengan evaluasi dan audit tanpa temuan yang signifikan dan dinyatakan pelanggaran. Tentu, semua anggota tim yang terlibat di dalamnya semakin bersemangat bekerja. Hasil evaluasi dan audit diberitakan di berbagai media, baik cetak maupun online. Tim proyek ini juga tahu bila media yang memberitakan secara kontinyu keberhasilan proyek-proyek yang dikelola, La Sakka dan timnya, termasuk hasil evaluasi dan audit adalah para wartawan yang kerap silih berganti menemui, Pak Roy di ruangannya.

“Ayah, kok kelihatan lesu dan kurang semangat ?”

La Sakka, tidak menjawab pertanyaan istrinya di meja makan tempat biasanya bercengkrama dan berbagi cerita kejadian di keseharian masing-masing.

La Sakka, menyesap kopi hitam yang masih ngepul. Matanya tak secerlang biasanya. Di retinanya nampak gundah dan galau.

“Anu Ma.. Pak Roy terjerat OTT (Operasi Tangkap Tangan) di sebuah loby hotel, oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kemarin malam. Tadi siang, tim KPK sudah menggeledah ruangannya dan membawa berkas-berkas sebagai pendukung bukti-bukti”

Mendengar penjelasan singkat suaminya, wajah Daeng Ngai spontan pucat menggerus darah dari wajahnya. Ia pun dirundung galau seperti suaminya.

“Semoga tak menyeret-nyeret nama ayah nantinya”

“Ia Ma, semoga. Doakan ya”

Permintaan, La Sakka hanya dijawab anggukan kepala dengan sorot mata kosong, Daeng Ngai.

***

La Sakka dan tim proyek lainnya, akan menjadi saksi pada persidangan Tipikor atas kasus korupsi Kadis Pendidikan dan Olah Raga, Roy Permana. Demikian penggalan berita di beberapa media cetak dan online hari ini.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221