Corona dan Ferguso

Sebagai salah seorang yang pernah menyesap beberapa tetes pengetahuan kesehatan, dirasa perlu untuk membagikan beberapa informasi terkait Corona. Tujuannya untuk meredam berita bohong, kepanikan, dan upaya-upaya tidak bertanggungjawab dari Ferguso beserta kawanannya yang gandrung memutarbalikkan informasi demi tujuan sesat mereka.

Jadi begini.

Pertama, penyakit menular ini dikenal dengan nama Corona. Nama medis dari Corona adalah COVID-19. Virusnya bernama SARS CoV-2. Terkait kapan pertama kali virus ini menyerang manusia ternyata adalah tahun 1960-an. Untuk jenis penyebab wabah kali ini adalah virus Corona ke-7.

Karena Corona masih “keluarga dekat” dengan penyakit menular jenis flu, maka penyebaran dari manusia ke manusia sangat besar peluangnya. Hal lain yang perlu diketahui, COVID-19 ini berasal dari hewan. Seperti juga MERS dan SARS. Awalnya virus-virus tersebut hanya menginfeksi binatang (saja).

Kedua, terkait penyebaran Corona antara manusia, lewat partikel air liur. Pendorongnya tentu saja ketika bersin atau batuk. Makanya, dalam rangka memperkecil peluang penyebaran, sebaiknya penerapan etika batuk dan bersin lebih diutamakan.

Ketiga, masa inkubasi dari virus ini adalah 2-14 hari. Dalam arti, waktu tersebut adalah dari keterpaparan atau tertular hingga menunjukkan gejala awal. Jika muncul pertanyaan apakah semua orang berpeluang tertular? Jawabannya; iya. Tapi, apakah semua orang menjadi rentan? Jawabannya; belum tentu. Jika kita pilah berdasarkan kelompok umur, ada dua yang masuk kategori (paling) rentan. Pertama, kelompok umur lanjut usia (70 tahun keatas) dan kedua balita. Selebihnya, kelompok  paling rentan lainnya adalah pemilik riwayat penyakit seperti ISPA, Jantung, dan Diabetes.

Keempat, peluang untuk sembuh dari Corona tetap ada. Berdasarkan pantauan dari para ahli kesehatan masyarakat, secara global per awal Maret ini, 50% dari total penderita sudah dinyatakan sembuh. Bahkan badan kesehatan dunia merilis bahwa 80% dari pasien yang dinyatakan sembuh itu tidak memerlukan penanganan khusus. Artinya, yang kita perlukan peningkatan kewaspadaan bukan menciptakan kepanikan. Terutama buat mereka yang menyisipkan pesan negatif pada rangkaian informasi positif terkait Corona. Jadi, untuk penyebar kebencian sadarlah. Batman sudah muncul di sinetron kita.

Kelima, meskipun hinga saat ini belum ada vaksin Corona atau bentuk pengobatan spesifik, pasien positif bisa sembuh jika ditangani berdasarkan kondisi klinis dan kumpulan gejala akibat COVID-19. Sehingga kepanikan bukan jalan keluar. Sebaiknya lebih waspada saja.

Keenam, bentuk penanganan bergantung pada kondisi negara masing-masing. Sejak otoritas kesehatan dunia mengeluarkan peringatan Corona sebagai Pandemi Global, setidaknya sudah seratusan negara terjangkit virus penyebab kematian ini. Untuk itu, WHO mengirimkan anjuran untuk memberlakukan status darurat nasional.

Paska surat pertanggal 10 Maret 2020, masyarakat Indonesia terbelah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang mendukung untuk diberlakukan sistem tutup Indonesia (Lockdown). Kelompok ini diisi sebagian besar oleh para praktisi dan tenaga kesehatan. Berbagai analisa mereka sudah ajukan. Mengingat, merekalah pengisi garda terdepan dalam penanganan masalah kesehatan. Mereka akan siap sepenuh hati meski taruhannya jiwa dan raga. Ringkasnya, genderang Jihad Fisabilillah sudah ditabuh sejak wabah ini menyeruak.

Tidak hanya itu, kelompok pertama ini tetap patuh pada komando tertinggi negara ini. Jangan heran jika beberapa kegelisahan kelompok ini sudah tersebar sejak beberapa hari silam. Carut-marut koordinasi bangsa ini memang terlihat dalam bentuk penanganan masalah Corona. Hal ini membuat beberapa tenaga dan praktisi kesehatan jadi gemas. Bukan apa-apa, bagi mereka terlalu banyak angka satu jiwa yang melayang hanya karena kacaunya berbagai pihak.

Saya mendukung untuk dilakukan penutupan Indonesia untuk sementara waktu dengan syarat dan kondisi yang berlaku. Antara lain; selain menutup lalu lintas masuk-keluar negeri, seharusnya diikuti dengan pemberlakukan karantina. Terutama bagi daerah yang paling tinggi angka pasien positif Corona. Tidak ketinggalan, alat-alat medis untuk mempercepat proses penanganan perlu dimaksimalkan. Anjuran membiasakan prilaku Cuci Tangan Pakai Sabun dan  menghindari kerumunan perlu lebih massif.

Kelompok kedua, adalah yang menolak lockdown. Alasan mereka, Indonesia belum siap. Mereka berdalih, akan berdampak pada sosial dan ekonomi. Terciptanya kepanikan massal dan ancaman krisis ekonomi mereka kedepankan.

Saya tidak menolak analisis tersebut. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang hingga saat ini disparitas pembangunan masih jadi problematik. Belum lagi sebaran kualitas komunikasi antar daerah, terutama Timur Indonesia bisa dikatakan belum selesai. Ini kita belum berbicara soal persediaan logistik untuk menopang kondisi tersebut.

Nah disinilah bagi saya yang perlu dicari titik temu. Jauh hari sebelum Indonesia “mengakui” ada pasien positif Corona, berbagai negara sudah memperlihatkan upaya penanganan. Ada yang berhasil dan ada yang belum berhasil. Menariknya, negara awal tempat virus ini teridentifikasi, termasuk negara yang berhasil mengatasinya. Dari cara beberapa negara tadi kita bisa menarik kesimpulan, bahwa segala upaya tersebut sangat bergantung pada cara memandang pihak-pihak berkompeten dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat ini.

Untuk negara yang berhasil mengatasi, sebaiknya kita periksa lebih jauh tingkat pemahaman dan implementasi terkait kesehatan masyarakat disana. Termasuk juga prosedur standar yang berlaku dalam menekan angka kesakitan warganya. Begitupun sebaliknya, untuk negara-negara yang belum berhasil keluar dari masalah Corona ini, sebaiknya diperiksa juga.

Ujung dari polemik dua kelompok ini menurut saya seperti berada dalam pilihan mana yang paling sedikit dampak buruknya. Sekali lagi kata kunci kondisi ini adalah komitmen dan komunikasi dari para pengelola negara. Artinya, pilihan sebenarnya bukan pada lockdown apa tidak lockdown, tapi pada berapa banyak lagi nyawa harus dikorbankan. Itu.

Nah, yang paling menarik dari terbelahnya bangsa kita ada pada kelompok ketiga. Kelompok ini diisi oleh barisan sakit hati karena ideologi “teh Sosro” mereka gagal kemarin. Ciri paling dominan dari kelompok ini ialah doyan memelintir informasi. Tidak hanya itu, segala upaya baik yang dilakukan dalam rangka mengeluarkan Indonesia dari masalah Corona, mereka buat sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk negatif. Lagi-lagi apapun makanannya, ideologi mereka adalah solusi jadi kata kunci.

Kelompok ketiga ini yang menurut saya paling berbahaya dibanding Corona itu sendiri. Kenapa tidak? Saat tenaga dan praktisi kesehatan di negara sedang jihad fisabilillah membebaskan masyarakat dari bahaya penyakit menular berbahaya, mereka justru sibuk dengan memperkenalkan diksi-diksi negatif. Sebagai contoh, kata “tentara tuhan”. Kata ini mereka gulirkan pertama kali saat Pemerintah China berjibaku melawan Corona beberapa waktu silam. Begitulah Ferguso dan kawanannya.

Yang terakhir terkait Corona adalah sangat mudah bentuk antisipasinya. Cukup dengan memperhatikan higiene individu, memperaktikkan etika batuk (menutup), dan menghindari kerumunan. Terkait higiene individu adalah praktik cuci tangan pakai sabun saat tangan terlihat kotor, setelah buang air besar/kecil, setelah batuk/bersin, setelah kontak dengan orang yang terlihat sakit, sebelum/saat/setelah menyajikan makanan, sebelum makan, setelah dari kamar mandi/WC umum, dan setelah bersentuhan dengan hewan (dalam kondsi apapun).

Kalaupun harus kita berada didalam kerumunan, sangat dianjurkan untuk mengganti baju dan mandi ketika selesai dan mengganti dengan pakaian bersih. Tidak lupa mencuci tangan dengan sabun, atau minimal menggunakan pemurni tangan (hand sanitizer) setelahnya.

Akumulasi dari semua terkait Corona adalah jangan panik tapi meningkatkan kewaspadaan. Selain itu menjaga kontak dengan orang lain. Terutama untuk tidak kontak mantan. Eh?


Sumber gambar: Jawapos.com

  • Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis.  Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran. Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya…

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221