Artikel ini sebetulnya adalah pengantar singkat, atau semacam pendahuluan untuk membuka diskusi yang kawan-kawan HMI Komisariat UNM laksanakan. Mereka ingin membuka suatu diskursus tentang “Dunia Pasca Covid-19; dari Wajah Sosial-Kultural Sampai Peribadatan Umat Manusia”. Dan jadilah artikel singkat ini. Yang namanya pengantar, isinya tentu remeh temeh saja, sekadar ajakan berdiskusi.
***
Dunia gempar. Di mana-mana terjadi kepanikan, tidak hanya di satu kota, atau di satu negara, tetapi di belahan bumi manapun. Umat manusia secara massal dilanda kecemasan. Lebih dari 200 negara dibuat kelimpungan bahkan tidak berdaya. Tidak peduli ia negara miskin atau kaya, sosialis atau kapitalis, sekuler atau teokratis, demokratis atau otoritarian, maju atau terbelakang, semuanya merasakan amukannya. Sekalipun beberapa di antaranya berhasil menahan gempurannya. Tetapi, apapun itu, harus diakui inilah kali pertama manusia di abad ini menghadapi hantaman yang begitu besar.
Tidak hanya mengganggu sistem kesehatan para sapiens, tapi juga melumpuhkan banyak sektor. Modernitas yang dilambangkan dengan kecepatan, tiba-tiba melambat (untuk tidak mengatakan terhenti sama sekali). Manusia-manusia modern tidak hanya gagap, tapi juga kalap. Ternyata, manusia belum menjadi Tuhan, seperti yang diramalkan oleh Harari dalam risalah Homo Deus-nya. Teknologi dan segala macam kecerdasan buatan bikinan manusia masih kalah dari mikroorganisme patogen, sebuah mahluk mini, yang mata telanjang tak mampu menjangkaunya. Manusia menyebutnya virus.
Gempuran mahluk mini ini cukup mengagetkan. Sekalipun wabah, epidemi, dan pandemik bukan kisah baru dalam sejarah manusia. Tetap saja para sapiens kaget dan kalangkabut. Dalam sejarah umat manusia, hampir setiap abad sebetulnya perang antara sapiens melawan virus sudah sering terjadi. Di abad 21 saja setidak-tidaknya umat manusia sudah berhadapan dengan 7 jenis virus mematikan. Pertama, virus H5N1 atau yang kita kenal sebagai wabah flu nburung, tahun 1997 (penularannya memuncak pada era 2000an).
Kedua, sindrom pernafasan akut berat, sejenis corona, tetapi lebih populer dengan sebutan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003. Ketiga, flu babi pada tahun 2009, virus dengan jumlah korban terbesar kedua di bawah covid-19. Keempat, Middle East Respirator Syndorome (MERS) di tahun 2012. Lalu yang kelima, Flu Burung generasi kedua, dengan kode H7N9, pada tahun 2013. Kemudian yang keenam, virus ebola pada 2014. Dan yang terbaru SARS-CoV-2, atau yang lebih popular kita sebut Covid-19.
Deretan peristiwa itu menunjukkan bahwa sebetulnya sapiens sudah memiliki cukup banyak jam terbang bertempur melawan wabah bahkan pandemik. Itu belum termasuk virus yang menyerang sebelum abad 21. Sebelum itu jauh lebih banyak lagi, black death di abad 14 misalnya, virus yang membunuh lebih dari 75 juta jiwa. Meskipun sapiens selalu keluar sebagai kampiun pemenang dari peperangan. Tetapi, yang namanya perang pasti selalu meninggalkan duka yang sangat mendalam. Tidak ada peperangan yang tidak meninggalkan korban.
Karenanya, kalau boleh jujur, tidakkah sebaiknya pengalaman yang panjang itu kita jadikan pelajaran, untuk lebih antisipatif dalam mencegah datangnya virus-virus baru, atau setidaknya meminimalisir jumlah korban. Di saat darurat seperti sekarang ini, barulah kita sadar bahwa sains, pembangunan berpresfektif ekologi dan literasi mitigasi kita sedang defisit.
Per 14 April saja Covid-19 sudah tersebar di 210 negara. Jumlah orang yang terinfeksi sudah mencapai 1.936.700 orang. Yang wafat sudah mencapai 120.568 jiwa. Sedangkan total pasien Covid-19 yang berhasil sembuh di dunia, berjumlah 459.015 orang. Saat ini, masih ada 1.357.117 pasien positif Corona yang berada dalam perawatan, namun sekitar 50.965 jiwa di antaranya sedang kritis atau mengalami gejala serius. Di Indonesia sendiri per tanggal 16 april jumlah yang terinfeksi sudah mencapai 5.516 orang, dengan 548 diantaranya dinyatakan sembuh, sementara 496 jiwa dinyatakan wafat. Dan belum ada tanda-tanda penurunan, trendnya terus meningkat.
Pandemik ini menulari siapa saja, ia menghantam apapun. Hampir tidak ada kelas sosial yang bebas dari amukannya. Kelas borjuasi, maupun proletar sama saja, semua terkena dampaknya. Banyak pabrik terancam gulung tikar, industri manufaktur (padat karya) rontok satu persatu, bagaimana tidak, rantai produksi, distribusi dan konsumsi mereka terputus, akibatnya sirkulasi modal terhenti. Bukan hanya industri manufaktur, industri hiburan nondaring pun mengalami depresi yang sama, pintu-pintu sirkulasi kapital mereka terhenti; bioskop, café, restoran, mall, pariwisata, seni pertunjukan, industri musik, olahraga, dan termasuk industri agama.
Situasi ini tentu saja akan membawa efek domino, kelas pekerja akan ikut merasakan dampaknya, PHK massal bisa saja menjadi pilihan para pemodal. Sementara kelas proletar atau masyarakat lapis bawah lainnya juga akan mengalami hal yang serupa. Terutama yang bergantung pada pendapatan harian. Mereka ini, di situasi normal saja sudah sangat kesulitan. Apalagi di masa krisis pandemik seperti sekarang ini. Mereka tidak memiliki pilihan alternatif, satu-satunya adalah tetap bekerja di luar rumah, sebab #stayathome sama saja memilih mati kelaparan. Sekalipun berisiko terpapar virus atau direpresif oleh aparat karena melanggar protokol pencegahan.
Lalu, bagaimana wajah dunia pasca-Covid-19, terutama dalam hal sosial-keagamaan ? jujur saya tidak tahu pasti, dan barangkali kita semua masih dihantui ketidaktahuan dan ketidakpastian. Jangankan meramal dunia pasca-Corona, mengetahui kapan Corona ini akan berakhirpun kita belum mampu. Apalagi meramal wajah dunia pasca korona. Para saintis pun belum sampai pada titik konklusi, apakah Corona ini sudah mencapai puncaknya ataukah sementara bergerak ke bawah. Atau jangan-jangan malah baru bergerak ke atas. Sampai saat ini satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri. Kita hanya bisa menduga-duga.
Para saintis masih berjibaku menemukan resep dan segala macam hal untuk keluar dari krisis pandemik ini. Tetapi, sebagai ramalan, bolehlah kita mengajukan beberapa asumsi-asumsi kecil. Entah terjadi atau tidak. Barangkali pasca covid-19 manusia makin relijius dan solider. Atau boleh jadi malah makin individualis dan sekuler. Dugaan-dugaan sementara semacam itulah yang paling mungkin kita ajukan. Apapun itu, yang pasti ada banyak perubahan yang akan terjadi pasca pandemik ini berakhir. Terutama tata laku kehidupan umat manusia, mulai dari interaksi sesama manusia, interaksi dengan teknologi, dengan hewan, dengan alam bahkan dengan Tuhan sekalipun.
Pasca-Covid-19 barangkali manusia akan semakin relijius, bayangkan sekian lama manusia tidak berjarak dari rumah ibadahnya, mungkin saja kerinduannya pada rumah ibadah dan ritus- ritus peribadatan berjamah itu mendorongnya untuk makin relijius. Atau barangkali sebaliknya, manusia malah makin sekuler bahkan beramai-ramai meninggalkan agama (agama supranatural), kemudian berpindah pada agama dataisme, atau semacam system keyakinan yang dilandaskan pada data saintifik. Dalam kajian politik ia disebut datakrasi, sebuah sistem politik yang menempatkan kebenaran ilmiah sebagai kedaulatan tertinggi. Atau bisa saja manusia pasca Covid-19 mensitesiskan keduanya.
Di ranah sosial, kolektivisme menemukan momentumnya kembali. Terutama dengan capaian negara-negara sosialis, seperti Kuba. Sistem ini kembali dilirik, dan bukan tidak mungkin manusia pasca-Covid-19 menjadikannya alternatif pilihan untuk tata kelola negara bahkan dunia. Sementara di belahan bumi yang lain banyak negara yang berhaluan liberal-kapitalis kalangkabut berhadapan dengan Covid-19. Negara seraksasa AS, Inggris, Spanyol, Prancis sekalipun dibikin panik bahkan kelabakan. Tesis Martin Suryajaya tentang ekonomi Pasca-Covid-19 ada benarnya. Sekalipun terkesan sangat utopis, dan menggampangkan persoalan, seolah-olah sosialisme datang begitu saja, tanpa ada usaha perjuangan kelas di dalamnya.
Sampai disini, saya harus sampaikan bahwa apa yang saya ulas barangkali lebih tepat disebut ramalan saja. Saya tidak memiliki pretensi untuk mengklaim bahwa analisis yang saya ajukan niscaya terjadi. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kita tentu berharap masa- masa sulit ini segera berlalu. Kita juga harus yakin bahwa cepat atau lambat kita bisa melewati pandemik ini. Bagaimanapun manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik, belum lagi kekuatan soliditas sosial yang dimilikinya. Modalitas itu sudah teruji dalam sejarah. Yang terpenting dalam situasi sulit seperti sekarang ini tentu saja adalah saling menguatkan. Ayo ambil bagian dalam menyelamatkan kehidupan, sekecil apapun itu.
Gambar: https://elevenews.com/2020/03/07/global-coronavirus-outbreak-results-in-postponement-of-several-crypto-blockchain-conferences/