Nilai Sosial dan Psikologis Puasa (Bag.1)

24 April 2020 jatuh sebagai hari pertama Ramadhan 1441 H. Pada bulan Ramadhan ini ummat Islam diwajibkan untuk melaksanakan puasa selama satu bulan penuh. Secara teologis perintah berpuasa kita bisa membaca dalam QS. Al-Baqarah/2: 183. Wahai orang – orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Sebagaimana saya kutip dari tulisan yang terbit di Kalimahsawa, puasa menurut para ulama berarti al-imsak. Al-imsak berarti menahan, menahan diri dari makan dan minum dan berhubungan suami istri (dan saya tambahkan menahan segala sesuatu yang membatalkan puasa) sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.

Tulisan ini tidak bermaksud menyentuh secara utuh dimensi teologis dan aspek fiqh dari perintah dan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan yang di dalamnya memuat tentang rukun dan syarat puasa, karena saya yakin pembaca sudah memahami hal tersebut.

Tulisan ini fokus ingin meneropong, memetik, menginternalisasi dan untuk selanjutnya diharapkan mengeksternalisasi nilai sosial dan psikologis puasa Ramadhan. Nilai sosial yang saya maksudkan adalah bagaimana puasa Ramadhan mampu menjadi solusi dan atau bermanfaat dalam mengatasi problematika sosial.

Sedangkan nilai psikologis yang saya maksudkan adalah bagaimana puasa Ramadhan berimplikasi psikologis baik secara personal dan kolektif untuk minimal menjadi self controlling Dan selanjutnya kematangan dimensi psikologis akan berberkontribusi positif untuk memperkuat dimensi atau nilai sosial daripada puasa Ramadhan.

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan sehingga saya lebih tertarik untuk meneropong dimensi tersebut. Antara lain: Pertama, saya merasa bahwa pengetahuan dan pemahaman yang saya miliki hanya lebih relevan pada dimensi (sosial dan psikologis) tersebut.

Kedua, sebagaimana dalam buku Islam Fungsional karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA (2014) saya menemukan bahwa, agama selain memiliki kekuatan utama sebagai centripugal (pemecah) terdapat pula kekuatan utama berupa kekuatan daya centripetal (penyatu). Dimensi centripetal inilah salah satu pemantik untuk memilih tema dan menjadi judul pada tulisan ini.

Ketiga, yang menjadi alasan karena pada umumnya agama, ajaran agama termasuk puasa, memiliki dua dimensi yakni esoterik (aspek vertikal dan transenden) dan eksoterik (horizontal dan profan atau bersentuhan dengan dimensi realitas empirik).

Keempat, sebagaimana penjelasan yang lebih mudah saya pahami dari Asratillah (2014) fungsi agama adalah membantu manusia menemukan makna tak terbatas, tentunya termasuk makna di balik puasa Ramadhan;  menjelaskan posisi manusia di tengah kosmos dan untuk hal ini manusia adalah makhluk berdimensi psikologis dan sosial; dan selain daripada itu agama berfungsi memicu tekad manusia untuk campur tangan dalam sejarah.

Fungsi agama yang terakhir ini, menjadi landasan agar ummat Islam khususnya bagaimana memaknai puasa Ramadhan agar secara fungsional memiliki peran dalam sejarah kehidupan. Termasuk dalam menumbuhkan kohesivitas sosial dan Gen E (Gen Empati).

Kelima, setelah menginternalisasi spirit etos al-ma’un yang menjadi spirit perjuangan Muhammadiyah sejak awal berdirinya, saya menemukan pemaknaan yang sangat progresif. Etos dan teologi al-ma’un dipahami bahwa ukuran kesalehan individual barometernya adalah kesalehan sosial, sejauhmana kemanfaatannya dalam kehidupan sosial.

Nilai sosial dan psikologis puasa Ramadhan bisa dipahami dengan cara memerhatikan dan mengelaborasi antara prilaku dan perasaan orang berpuasa, pemahaman filosofi habits, perspektif dan pemaknaan progresif puasa, dan beberapa literatur kontemporer tentang ilmu psikologi. Serta laku habitus Pierre Bourdieu yang saya pahami dengan baik dari tulisan sederhana saudara Abdul Gani, aktivis IMM Sul-Sel.

Berpuasa terutama puasa bulan Ramadhan, tentunya kita melakukan sikap dan perilaku menahan diri dari apa yang dilarang karena itu membatalkan. Selain daripada itu bagi yang berpuasa terutama bagi pemula akan merasakan lapar dan haus. Kemudian berpuasa diikuti bentuk kewajiban lainnya yakni mengeluarkan zakat fitrah. Untuk poin ini terkait zakat fitrah hanya sekadar memperkuat tendensi positif tentang dimensi sosialnya.

Untuk memahami dan merasakan nilai sosial dan psikologis puasa Ramadhan yang harus kita lakukan adalah apa yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai habitus. Jadi yang harus dilakukan adalah bagiaman kita melakukan proses Internalisasi Eksterior terlebih dahulu. Menurut saya Internalisasi Eksterior dan relevansinya dengan puasa ramadhan adalah bagaimana menyerap realitas dan hal eksternal dari puasa tersebut.

Hal eksternal dari puasa yang perlu diserap untuk dipahami dan dirasakan adalah sikap dan perilaku menahan: lapar, dahaga dan nafsu. Selain daripada itu perilaku positif yang seakan menjadi tradisi selama ramadhan yakni kebiasaan bersedekah, shalat malam, mengaji selain yang wajib yaitu zakat fitrah perlu diinternalisasi.

Mengapa Internalisasi eksterior penting? Agar segala sesuatu yang terkait dengan puasa tidak hanya dipahami dan dilakukan sekedar menggugurkan kewajiban apalagi hanya dipahami sebagai tradisi bulan Ramadhan belaka. Dan diharapkan hanya sampai pada dimensi kesalehan individual, namun mampu melampaui hal tersebut.

Setelah proses internalisasi eksterior tersebut maka berdasarkan perspekftif filosofi habits dan termasuk pemahaman dimensi psikologi yang saya pahami, maka proses eksternalisasi interior sebagai bagian daripada proses habitus Pierre Bourdieu bukan hanya terwujud dalam bentuk tindakan tetapi akan nampak terasa nilai sosial dan psikologis dari puasa Ramadhan.

Namun sebelumnya perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan ekternalisasi interior adalah bagaimana sikap, perasaan, nilai yang dipahami, pemaknaan yang dimiliki dan kemanfaatan dari proses internalisasi eksterior yang dilakukan sebelumnya dari puasa bisa teraplikasi dalam realitas empirik. Dan bahkan bukan cuma hanya secara eksistensial mewujud dan berdimensi ontologis (mengada) semata tetapi berdimensi aksiologis (terasa nilai dan manfaatnya).

Menoropong dan untuk memahami lebih dalam agar nilai sosial dan psikologis puasa Ramadhan bisa diaplikasikan dan dirasakan manfaatnya maka setelah melakukan proses internalisasi eksterior bagaimana kita memahami filosofi habits dan mekanisme yang terjadi dalam sebuah habits. Selain daripada perspektif psikologi dibutuhkan untuk memperkuat dimensi psikologis dan bahkan selanjutnya akan berkontribusi positif kepada dimensi/nilai sosial.

 


Sumber gambar:https://kitaumroh.com/

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221