Nilai Sosial dan Psikologis Puasa (Bag. 2)

Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa dibutuhkan pemahaman filosofi habits dan seperti apa mekanisme yang terjadi di dalamnya. Dan untuk selanjutnya diperkuat dengan pemahaman psikologi untuk menggali potensi psikologis yang telah built dalam diri setiap manusia.

Dalam buku Habits karya Felix Y. Siauw (2015) Habits yang disebut juga sebagai kebiasaan adalah segala sesuatu yang kita lakukan secara otomatis, bahkan ita melakukan tanpa berpikir. Habits adalah sesuatu aktivitas yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi bagian daripada seorang manusia.

Yang perlu ditambahkan sebagaimana defenisi dari Felix tentang habits adalah bahwa secara otomatis dan tanpa berpikir bukan berarti bahwa apa yang dilakukan atau aktivitasnya tersebut sangat dangkal, kurang bermakna dan tidak bermanfaat. Melainkan karena sebelumnya telah melewati sebuah proses internalisasi eksterior yang didalamnya melewati proses berpikir dan memahami yang sangat dalam.

Sederhanaya, Habits atau kebiasaan adalah suatu tindakan/aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang. Jika memperhatikan alur sikap dan perilaku salah satunya dari Erbe Sentanu seagaimana dalam bukunya Quantum Ikhlas, setelah Habits akan menuju pada lahirnya karakter dan muara pada nasib.

Erbe Sentanu memetakan dalam dua dimensi alur tersebut yakni dimensi fisika newton dan fisika quantum. Alur yang dimaksud adalah: Perasaan – Pikiran – Kata-kata – Tindakan – Kebiasaan – dan terakhir Nasib. Pikiran dan perasaan berada dalam dimensi fisika quantum sedangkan kata – kata, tindakan, kebiasaan, karakter dan nasib berada dalam dimensi fisika newton.

Berdasarkan alur tersebut, bisa disimpulkan bahwa segala sesuatu: perasaan, pikiran, kata – kata dan tindakan yang diulang – ulang akan menjadi sebuah kebiasaan. Jadi jika hal tersebut bersifat positif maka akan menjadi kebiasaan positif, begitupun sebaliknya. Jika sesuatu telah menjadi kebiasaan baik yang positif maupun negative cepat atau lambat kelak akan menjadi karakter dan selanjutnya akan bermuara pada nasib.

Kedahsyatan dari sebuah kebiasaan yang termanifestasi dalam karakter dan bahkan nasib, contoh realitas konkretnya dan preseden historisnya bisa ditemukan dalam fakta tersebut. Pertama, Saya yakin di antara para pembaca tulisan ini, pernah masuk kebun. Setelah dari kebun kita bisa kembali pulang ke rumah yang ditandai adalah jalanan. Padahal jika kita mau jeli dan bertanya, apakah jalanan tersebut sengaja dibuat oleh orang tertentu?, maka jawabnya, tidak. Lalu kenapa terbentuk jalanan kebun tersebut? Maka jawabanyannya karena sering dilewati. Ini contoh atau realitas konkret dari kedahsyatan sebuah habits.

Kedua, masa-masa awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan mengajarkan kepada santrinya surah al-ma’un dan diulang–ulang selama kurang lebih 3 bulan. Lalu apa yang terjadi dari kedahsyatan pengulangan tersebut, Muhammadiyah mampu melahirkan puluhan ribu sekolah tingkat TK sampai SMA/SMK, ribuan rumah sakit, panti asuhan, dan klinik kesehatan serta sebanyak 176 Perguruan Tinggi. Semua mengakui bahwa hal itu merupakan implementasi dan implikasi dari teologi dan/atau etos al-ma’un.

Habits, sebagaimana dalam buku karya Felix menjelaskan bahwa habits (kebiasaan) memiliki ibu yaitu practice (latihan) dan bapak yaitu pengulangan (repetition). Practice makes right, dan repetition makes perfect.

Puasa Ramadan dilaksanakan selama 29/30 hari, berarti puasa yang dilakukan memenuhi kategori sebagai sesuatu yang dilakukan secara berulang–ulang. Dan hal ini tentunya memenuhi unsur untuk terwujudnya kedahsyatan habits bagi yang melakukannya. Dan selanjutnya sebagaimana alur yang dibuat oleh Erbe Sentanu akan menjadi karakter bahkan kelak akan menjadi nasib bagi yang melaksanakannya.

Apalagi secara teologis, saya menemukan bahwa alur habits – karakter sebagaimana digambarkan di atas terkonfirmasi secara langsung tentang kebenarannya dalam QS. Al-Baqarah/2: 183, “…Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Secara tegas ayat ini menunjukkan ultimate goal dari puasa adalah bertakwa.

Tujuan konkret dari puasa sebagaimana ayat tersebut di atas adalah takwa. Bagi saya, ini mempertegas makna filosofis dari habits bahwa yang diulang–ulang itu memiliki kedahsyatan dan bahkan takwa bisa dikategorisasikan sebagai sebuah karakter. Dan ini relevan dengan alur bahwa setelah terwujud habits maka selanjutnya akan dicapai karakter.

Uraian tersebut di atas bisa disimpulkan, bahwa apa yang dilakukan selama kita menjalani puasa ramadan, mulai dari menahan makan, minum, nafsu dan beberapa perbuatan yang membatalkan puasa lainnya, idealnya membentuk sebuah nilai sosial dan psikologis yang positif dan bermanfaat.

Termasuk amal–amal kebaikan yang mengiringi ibadah puasa kita selama bulan Ramadan karena dilakukan secara berulang–lang idealnya termanifestasi menjadi sebuah karakter positif. Dan karakter positif ini mengandung dua dimensi dan nilai yaitu: nilai sosial dan psikologis.

Dan untuk memperkuat pemahaman habits tersebut di atas selain secara filosofis sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, maka secara psikologispun bisa kita uraikan lebih dalam. Untuk memperkuat hipotesis bahwa idealnya puasa dan segala amalan (kebaikan) yang dilakukan selama bulan Ramadan berimplikasi positif dan membentuk sebuah karakter dan atau membentuk sebuah habitus sebagaimana perspektif Pierre Bourdieu.

Manusia berdimensi fisiologis dan psikologis. Kedahsyatan habits beroperasi dalam ruang psikis dan selanjutnya termanifestasi dalam realitas empirik. Salah satu dimensi psikologis yang relevan dengan kedahsyatan habits jika kita mengharapkan nilai sosial dan psikologis dapat termanifestasi dalam kehidupan sosial adalah Alam Bawah Sadar, Perasaan dan Pikiran Positif.

Puasa yang esensinya adalah menahan dan/atau pengendalian diri serta amal kebaikan dilakukan selama 29/30 hari dalam bulan ramadan. Begitupun kebaikan lainnya seperti: bersedekah, membaca Al-Qur’an akan menjadi nilai positif yang tersimpan di dalam alam bawah sadar. Karena alam bawah sadar salah satu syarat operasional agar sesuatu tersimpan di dalamnya adalah pengulangan.

Begitu pun selama ramadan tentunya akan terpancar perasaan dan pikiran pikiran positif dan akan akan saling tarik menarik dengan perasaan dan pikiran positif dari orang lain. Selain daripada itu rasa lapar dan haus dirasakan selama puasa akan terakumulasi dalam energi positif dalam diri kita untuk menumbuhkan empati.

Jadi idealnya jika kita berpuasa, maka lahir nilai sosial berupa sikap empati, kohesivitas sosial dan pengendalian untuk tidak melaksanakan perbuatan negatif: korupsi, menipu, kikir, dan perbuatan negatif berdimensi sosial lainnya. Selain daripada itu akan lahir nilai psikologis puasa, berupa lahirnya sosok yang berkarakter, menjauh perbuatan merugikan diri sendiri.

 

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221