Sebelum malam datang. Di sore hari awan hitam menutupi langit. Sepertinya sebentar lagi hujan. Biasanya begitu bila mendung datang. Aku sudah di rumah yang kita sepakati sebagai sekretariat. Di tempat itulah aku banyak berinteraksi denganmu. Di sanalah mata kita sering kali bertemu. Tutur saling balas dalam dialog. Banyak hal kita bicarakan. Yang jelas kita sedang belajar untuk berpikir. Tidak dalam arti biasa.
Seiring perjalanan waktu. Malam itu tiba. Malam yang tak kusangka. Bunga yang mekar di hatiku harus keluar dalam bentuk kata-kata. Kata-kata yang belakangan melahirkan air mata. Menelurkan luka yang disenangi. Menyisakan duka yang perih namun sungguh nikmat. Mungkin Rumi benar obat derita ada dalam derita. Itu aku rasakan. Entah dengan dirimu.
“Kakak perlu verifikasi apa yang kakak rasakan. Mungkin itu hanya mood saja.”
Begitulah kamu menyikapi kata-kata yang keluar dari mulutku.
“Iya,” jawabku singkat.
Aku menyetujui saranmu. Aku tak berani menyanggah bahwa rasa ini bukanlah sesaat. Sebab aku belum benar-benar merenunginya. Tapi dalam hati aku bergumam. Baru kali ini aku merasakan ini. Aku tak pernah sebelumnya seperti ini. Segala waktu terisi dengan abjad namamu.
“Kak, sama yang lain kita tak pernah merasakan seperti ini?” tanyamu memutus lamunanku.
“Iya, baru kali ini,” singkat saja aku menjawab.
“Kak coba refleksi ulang. Coba uji ulang,” saranmu masih sama. Aku mengiyakan saja.
“Iya, aku akan mengujinya. Tapi jika ini benar apa yang saya lakukan?”
Kamu tidak menjawab tanya yang kuajukan. Kamu hanya diam sambil menatap langit yang menghitam. Rintik hujan turun. Kata-kata tak lagi ada. Kita diam menyendiri dalam pikiran masing-masing. Setelah itu, kantuk menyerang. Kita memilih tempat lalu lelap. Bersama yang lain. Bersama kawan-kawan.
***
Malam itu aku sungguh menyesal. Tak ada malam yang paling aku sesali selain malam itu. Malam yang di mana esoknya Nabi Agung lahir di muka bumi. Lahir menjadi rahmat semesta alam. Seharusnya malam itu, aku diam saja memandangimu setelah engkau terbangun dari tidurmu. Aku yang sedari awal tak pernah memejamkan mata, cukup dengan sendiri dalam pikiranku. Aku harusnya tak menyampaikan bunga yang mekar di hatiku. Seharusnya aku biarkan saja durinya melukaiku tanpa batas. Biarkan lukanya yang tak berdarah menjadi derita hidupku.
Malam itu, malam yang paradoks dengan awan yang menutupi bintang di langit. Seharusnya aku memilih seperti pilihan kaum tarekat syatahat. Memendam rasa cinta pada perempuan lalu cintanya dialihkan kepada Tuhan. Tapi aku tak memilihnya. Itulah yang membuatku sesal. Sepatutnya derita ini hanya milikku tidak menjadi miliknya. Dia tidak ikut serta merasakannya.
Tapi malam itu, semua menjadi awal bahagia sekaligus derita. Kita bahagia jika tak memikirkan yang lain. Tak peduli pada orang sekitar. Mungkin benar kata Sartre bahwa orang lain adalah neraka bagimu. Bagi kita. Saat itu, kita menjalani dengan baik-baik bila pikiran tak dihantui oleh kerumunan luar.
Buktinya kita berani melangkah pada kesunyian yang suci. Menyatukan diri dalam ikrar yang tak biasa. Di masjid tua saksi sejarah masuknya Islam kota kita, kita duduk berhadapan tanpa siapa pun yang lain. Engkau membaca ikrar suci. Aku mengaminkan sebagai bukti sah. Kita bersalaman. Engkau mencium tanganku. Aku mengecup keningmu.
Dua hari berselang, masih tak memikirkan yang lain. Kita hanya peduli pada cinta yang sedang mekar. Yang datang tanpa awal sejarah. Tiba-tiba saja hinggap pada relung semesta kita. Di sebuah kamar yang aku sewa. Di hotel yang huruf pertamanya sama dengan awal namaku. Engkau datang dengan tas yang biasa engkau bawa. Warna hitam. Isinya adalah buku-buku yang sedang engkau baca.
Setiba dalam kamar, engkau membuka jilbab yang sebelumnya, engkau menegaskan bahwa aku sah melihat rambutmu. Aku sah melihatnya. Itu untuk ukuran kita berdua, yang kita sadar memilihnya. Dalam kamar, televisi menyala. Kamar terasa dingin. Pendingin ruangan sedari tadi hidup. Engkau duduk di sampingku di atas tempat tidur sambil bercakap. Aku memelukmu. Engkau merangkulku. Kita menikmati setitik surga dalam kefanaan. Tak ada aku dan engkau. Yang ada hanya kita dalam dekapan yang mesra. Ini pertama kalinya engkau lakukan, seperti itu gumammu padaku. Baru kali ini terangmu. Aku tahu pikirku dalam diam.
“Apakah engkau menyesal dengan ini semua,” tanyaku dengan tatapan sendu. Di balik tanya itu, aku tahu dan sadar ada realitas yang sulit dilompati jika kita menyadari ada orang-orang di sekitar kita.
“Aku tidak menyesal sama sekali. Sebab aku melakukan dengan orang yang aku cintai,” jawabmu sambil tersenyum padaku.
Kau melanjutkan bahwa aku telah mengajarimu dalam segala hal. Dalam hati aku berkata benarkah demikian?
Pasca di kamar hotel itu, kita selalu mengulanginya hingga tak terhitung merasakan tepi surga. Di tempat lain juga beberapa kali. Lalu kembali ke hotel itu lagi, kita bercengkerama tanpa aku dan engkau. Hingga suatu waktu engkau berkata tak bisa melupakan hotel itu.
***
Engkau perempuan yang meluluhkan tembok tebal keakuanku. Nalarmu yang cemerlang berbanding dengan jidatmu yang lebar, wajahmu yang bulat, hidungmu yang tak mancung juga tak pesek, matamu yang bulat tidak sipit, gigimu yang tertata rapi di balik tawamu, bibirmu yang sedikit tebal dan tentunya tubuhmu yang mungil semua berpadu. Tapi bukan semua itu alasan aku jatuh cinta. Entah apa alasannya hingga sekarang belum aku temukan. Atau memang mungkin cinta benar-benar tak membutuhkan alasan?
Jauh sebelum malam itu, kita berjumpa dalam medan yang tak biasa. Buku dan diskusi yang mengakrabkan kita. Hingga waktu terus bergerak melaju tak terduga menghasilkan seribu cerita. Dan datanglah sesuatu yang tak disangka. Tak diduga. Tak dinginkan juga tak ditolak. Cinta sungguh misterius. Aku jatuh cinta. Engkau mencintaiku sepenuh hati begitu akumu.
Engkau pernah berkata kepadaku di saat awal-awal kita saling mengetahui bahwa ada cinta yang mekar di ruas hati kita. Beberapa kali engkau ingin mengakhiri hidup. Cinta yang datang tak bisa engkau tampung. Bukan karena cintanya. Tapi pada waktu datangnya yang tidak tepat. Ia datang kala ada kenyataan bahwa aku telah dimiliki. Sebenarnya aku merasakan hal sama. Ada sesak di dada jika harus menerima bahwa aku telah dimiliki sedang di sisi lain aku ingin kita bersama. Derai air mata tak lengkap mengurai situasi hati yang kalut. Ia hanya melegakan tak mengobati.
Apa yang engkau ceritakan kepadaku perihal inginmu mengakhiri hidup ternyata engkau cerita pada teman akrabmu. Walau engkau tak bertutur kepadanya secara detail. Ini aku tahu kala temanmu itu menguraikan kepadaku. Menurut temanmu, di dalam kamar kosmu engkau mengurung diri. Hampir tiap hari meneteskan air mata. Menangis sekencang-kencang. Seperti orang gila. Sebenarnya aku tahu semua yang engkau alami. Sebab aku mengalami hal sama. Kita bahagia di sisi lain. Derita di belahan lain.
***
Tak ada yang bisa menahan laju waktu. Dua bulan setelah malam itu. Kita masih melewati hari penuh haru. Air mata tak pernah sepi menemani perjalanan yang berliku. Ada tembok tebal yang tak mau kita terobos. Ada karang yang tak mau kita pecahkan dengan gelombang cinta. Kita masih memilih sepi. Memilih tak terdengar oleh yang lain. Kita menyimpannya dengan baik dalam rahasia. Tak satu pun yang tahu apa yang kita alami. Apa yang kita rasakan.
“Kak, apa berani meninggalkan yang memiliki kakak sekarang?” tanyamu sepertinya ingin mengetahui seserius apa diriku.
“Aku berani. Ayo kita pergi sekarang meninggalkan kota ini,” jawabku sambil mengajak untuk lari jauh. Yang tak terjangkau oleh orang-orang yang memiliki kita.
“Apa kakak tidak pernah memikirkan sakit yang dirasakan yang memiliki kakak sekarang?” sebuah tanya yang kau ajukan untuk mengajakku memikirkan yang sebenarnya ia tahu jawabannya.
“Tentu aku memikirkannya. Tapi aku ingin bahagia.”
“Kita sangat egois kak, jika hanya memikirkan diri kita. Mungkin aku sangat bahagia seandainya kakak belum dimiliki,” ia menimpali jawaban yang aku berikan.
Menurutmu, engkau sangat mencintaiku. Di antara petualangan cintamu—lebih tepatnya petualangan sukamu—hanya kepadaku engkau merasakan sepenuhnya penuh. Pada laki-laki yang lain sebelumnya, engkau tak memiliki rasa seperti sekarang ini. Rasa seperti pada diriku. Aku mempercayai itu dengan lugu. Dengan sikap dan lakumu yang menyerahkan dirimu segalanya padaku.
***
Kita terus bergerak ke depan. Aku melihat dirinya mengalami dilema. Aku juga demikian. Dilema yang tiada tara. Luka mengintainya. Apa pun yang dipilih semuanya luka. Seperti kehadiran cinta di antara kita hanya perantara untuk mengajarkan derita yang sebenarnya. Mengajarkan cara mengambil pilihan tidak juga benar tapi mungkin tepat. Sebab bagiku dalam cinta tak ada oposisi biner. Tak mengenal salah-benar. Ia prakonsepsi. Sulit nalar menerimanya.
Hari-hari semakin kelam. Semakin ke sini sepertinya semakin mengimpit. Rahasia tak selamanya bisa disimpan. Suatu waktu yang mungkin cepat, apa yang kami rasa akan menjadi opini publik. Menjadi diketahui oleh banyak orang.
“Kak, berani kita tinggalkan yang kita miliki sekarang?” tanya itu kembali menyeruak mengisi hari yang tersudut.
“Iya, ayo kita pergi sekarang,” aku meyakinkan. Mungkin apa yang kita lakukan hanya akan dikutuk oleh mereka beberapa bulan, paling lama beberapa tahun. Setelahnya mereka akan melupakan.
“Kak, aku tak bisa membayangkan wajah-wajah mereka yang kita tinggal. Wajah-wajah yang memiliki kakak. Aku telah menyakiti mereka.”
“Ayo kita pergi sekarang. Tidak usah pikirkan mereka,” ajakku lagi padanya.
“Aku tidak bisa kak. Aku tidak bisa pergi. Aku tak sanggup menyakiti mereka. Biarlah aku yang sakit,” caranya menolak ajakanku.
“Kita terlalu egois bila hanya memikirkan diri kita berdua,” lanjutnya untuk menegaskan bahwa ia tak mau pergi.
Aku mungkin egois tetap ingin mengajakmu pergi. Tapi tidakkah cinta memang membuat kita egois bahwa kekasih hanya ingin bersama dengan kekasihnya. Perpisahan adalah nestapa tanpa batas. Sedih yang panjang. Bunyi yang senyap. Hening yang mencekam. Kematian masih bernyawa.
***
“Lalu seperti apa yang harus kita lakukan?”
Tanyaku padanya saat hening bulan puasa di kamarnya. Kamar kosnya yang tak luas cukup untuk tidur melepas penat. Namun mewah untuk ukuran mahasiswa. Apalagi untuk mahasiswa yang sekarat dengan hitungan semeter.
Teman-temannya sudah banyak yang memakai toga. Sedang ia masih sibuk dengan warna-warni pemikiran walau ia tetap berupaya menyelesaikan nilai yang tersendat.
Aku laki-laki yang telah memakai toga. Menyukai petualangan alam. Bekerja secara bebas untuk menyambung hidup. Besar dari keluarga yang biasa secara ekonomi. Cukup untuk makan. Aku sangat menyukai buku. Hobiku membaca pikiran-pikiran hebat.
“Aku ingin kita pisah saja kak. Aku pikir kita tak bisa sama,” jawabnya seperti hantaman gelombang berlapis. Membuatku oleng. Seolah semua dinding kamar kosnya runtuh menimpaku.
“Kamu tidak mencintaiku lagi,” aku mengajukan tanya sembari menatapnya. Bulir-bulir bening yang kecil menetes di pipiku. Aku mengusapnya.
Ia menatap layar HPnya. Seperti tak mau melihatku.
“Bukan itu kak, aku tidak bisa sama denganmu. Aku tak bisa menyakiti. Biarkan aku belajar mencintai lain. Ajari aku,” pintanya padaku.
“Aku ingin ini yang terakhir. Ikatan kita cukup sampai hari ini,” lagi pintanya.
Aku semakin terpojok. Dadaku berdegup kencang. Aku menahan sesuatu. Bulir-bulir kecil semakin deras mengalir di pipiku. Aku bersujud di depannya meminta agar membatalkan keinginannya itu. Aku bahkan merayunya lagi. Meyakinkannya untuk pergi bersama. Namun ia tetap menolak. Aku berontak menolak. Merengek seperti anak kecil. Tak lama itu, ia juga meneteskan bulir-bulir. Aku memeluknya. Ia berbaring kaku.
“Kak, ada laki-laki yang mendekat padaku. Kak, ikhlaskan aku untuk bersamanya,” kata-kata itu seperti ledakan besar yang efeknya membuatku linglung. Bagaimana mungkin aku mengabulkan apa yang dimintanya. Aku tetap merengek agar ia tidak meminta itu. Tapi ia bersikukuh memohon dengan pipi yang basah. Aku tahu ia meminta bukan karena ia mencintai laki-laki itu. Mungkin hanya suka saja. Karena satu waktu ia pernah berkata kepadaku beda cinta dan suka. Karena ia hanya ingin melepaskan diri dariku. Lakai-laki itu, sepertinya hanya menjadi pelariannya karena tak bisa bersama denganku. Itu menurutku. Aku tidak tahu pasti.
Selepas buka puasa, aku memeluknya. Aku menciumnya. Kami saling berpelukan. Tak lama itu, aku berbalik mengendap keluar kamarnya. Meninggalkannya dengan pipi yang basah. Aku berjalan dengan kepala lesu. Semunya telah berakhir. Ikatan telah berujung.
***
Aku seperti bermimpi pernah mengikat suci dengannya. Ia seperti senja yang dinikmati namun cepat berlalu. Tapi ia selalu menyisakan kenangan dan harapan bahwa esok ada kemungkinan ia datang lagi. Biarlah takdir melangkah menemukan bagaimana kita ke depan. Sebuah tanda tanya di mana jawaban tak bisa diprediksi. Semua serba misteri seperti misterinya cinta yang datang pada kami secara tiba-tiba tanpa isyarat. Tubuh terpisah oleh jarak. Oleh pandang yang berbeda. Tapi entah dengan hati kita. Di sini cinta itu masih tumbuh walau kemarau panjang menghantamnya. Walau dirimu sudah pamit. Tak ada yang berubah. Memang seperti itulah cinta tak pernah berubah yang berubah kita yang tak lagi sama.
Tak ada yang memudar. Seperti dalam cerita Eka Kurniawan Cinta Tak Ada Mati. Aku masih di sini dengan cinta yang sama. Cinta sejak awal tumbuh. Kau besarkan. Kau beri ornamen. Tak ada berubah. Cintaku menunggu. Walau entah sampai kapan. Tak ada waktu yang pasti. Ia tetap setia menunggu. Ini kedengarannya absurd. Menunggu sesuatu yang tak pasti. Tapi demikian memang cinta. Ia akan melakukan di luar batas nalar. Ia akan bekerja dengan caranya sendiri. Tanpa kita bisa menolaknya. Kita hanya bisa menerimanya sebagai takdir.
Apa yang kulakukan?
Cinta mengatakan. Menunggu. Itu saja. Walau kini pelaminan telah kau tunaikan tidak dengan laki-laki yang kau pinta seperti di hari yang muram kala itu. Dipelukan terperosot waktu itu. Diciuman kering karena ikatan akan berakhir. Dalam cumbu yang luka. Kata tak ada lagi. Aku sunyi. Entah dengan dirimu.
Kita hanya memendam sajak. Puisi yang sepi.
Ilustrasi: https://www.theglobeandmail.com/amp/globe-investor/a-warning-for-couples-who-have-split-but-not-divorced/article36226294/