Dari Cinta Agama Menjadi Agama Cinta (Bagian Kedua)

 

Saya mensiyalir “cinta agama” yang dimaksud oleh Sulhan Yusuf (Kak Sul) dalam Maksim Daeng Litere-nya tersebut adalah sesuatu yang berdimensi kurang positif. Untuk tidak menyebutnya negatif. Sehingga Sulhan Yusuf merekomendasikan bahkan menginterupsi untuk diparipurnakan.

Dalam realitas kehidupan, tidak sedikit fenomena yang bisa disimpulkan bahwa karena “cinta agama” secara berlebihan atau kurang tepat dalam pemahaman dan implementasinya, sehingga bukan melahirkan kehidupan yang damai, tentram dan bahagia serta agama sebagai rahmat, justru sebaliknya yang terjadi. Contoh sederhana: terorisme, radikalisme dan ekstrimisme. Disimpulkan demikian, karena pada umumnya mereka melandaskan perilakunya pada basis ideologis dan teologis agama. Dan tentunya sangat salah jika disimpulkan Islam adalah teroris. Agama pada dasarnya adalah jalan menuju kedamaian dan kebahagiaan.

Cinta Agama adalah sejatinya terpahami sebagai sebuah sikap yang mengedepankan paradigma apresiatif. Melihat dan membawa agama dalam pemahaman yang positif, afirmatif, fleksibel, terbuka dan mengedepankan dialog. Meskipun agama pada wajah lain dipahami cenderung memiliki mekanisme internal untuk menciptakan sistem tertutup bahkan menciptakan “musuh”. Saya menyebutnya paradigma defisit. Jadi salah satunya, cinta agama mengedepankan paradigma apresiatif daripada paradigma defisit. Pemahaman tentang kedua paradigma ini, saya terinspirasi dari buku Apreciatif Inquiry karya Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom (2007).

Dalam paradigma apresiatif, kontekstualisasinya terhadap cinta agama, harus mampu bersikap melepaskan egoisme sebagaimana cinta ideal secara umum mensyaratkan dan mengisyaratkan pelepasan egoisme. Selain daripada itu harus mampu melihat secara jernih, memahami dan menyadari bahwa agama yang dianutnya, dicintainya adalah agama yang telah termanusiakan. Melewati dimensi sejarah dan sosial. Dan sebagaimana cinta kepada sesuatu maka cinta kepada agama akan membuat penganutnya untuk terus berupaya mendalami dan mencari sumber otentik.

Agama, terutama dalam hal ini Islam adalah agama yang membawa misi sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Dan agama pada dasarnya memiliki ajaran utama tentang tauhid. Sebagaimana dikutip oleh Nurul Hidayah dari Amin Rais, tauhid ini diformulasikan dalam bentuk tauhid sosial yang memiliki lima dimensi yaitu: kesatuan ketuhanan (unity of godhead), kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusia (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life).

Tauhid sosial ini meskipun bisa juga sebagai bentuk lain dari agama cinta, tetapi untuk dalam aspek dimensi cinta agama yang saya maksudkan, ini perlu diserap, diinternalisasi sebagai bentuk cinta kita terhadap agama. Apa yang diserap dari agama, jangan hanya yang bersifat normatif semata. Apalagi ⸻ meskipun saya sudah lupa sumbernya ⸻ khususnya Islam, dalam kitabnya – Al-Qur’an, ajaran yang berdimensi sosial jauh lebih banyak daripada yang berdimensi ibadah vertikal. Bahkan dalam situasi darurat, dianjurkan untuk lebih memilih dimensi sosial dan menunda dimensi ibadah vertikal.

Pada intinya cinta agama merefleksikan model pembacaan kita terhadap teks agama. Terkait teks agama dari Asratillah sebagaimana salah satunya dikutip dari Fazlurrahman. Fazlurrahman mengajukan sebuah cara pembacaan terhadap teks agama yang dikenal dengan metode Double Movement. Model ini terdiri dari dua tahap yaitu Tahap Etik Al-Qur’an dan kedua Tahap Sosiologis.

Dari sini, saya memahami bahwa dalam memahami makna ayat–ayat Al-Qur’an idealnya melalui sinaran sosiohistoris yang bukan hanya menggunakan Asbabun Nuzul tetapi termasuk memerlukan bantuan studi-studi lain. Sepeti yang saya pahami dari Amin Abdullah, mengintegrasi dan menginterkoneksikan antara pemikiran Islam klasik, pemikiran Islam kontemporer dengan pemikiran sosial kontemporer. Setelah itu mengeneralisir dan mengkategorikan makna spesifik dari ayat–ayat ke dalam tema–tema etik yang sifatnya umum. Ini dua langkah dari tahap pertama.

Sedangkan dua langkah dari tahap kedua, bisa dipahami yaitu mengurai, membaca, dan menganalisa beberapa kondisi dan problem–problem sosial manusia kontemporer, kemudian membenturkan dengan tema–tema etik umum Al-Qur’an yang didapatkan pada tahap pertama dengan problem sosial keagaman. Intinya mengedepankan usaha dialektis mempertemukan teks dan konteks. Karena pada preseden historisnya, Muhammad datang dengan ajaran moral dengan penekanan pada dua hal yaitu monoteisme dan keadilan sosial.

Selain daripada Asratillah mengutip dari Hamid Abu Zayd yang pada intinya menjelaskan bahwa “Allah menyampaiakn wahyu kepada Rasul Muhammad Saw tidaklah dalam kondisi vakum historis atau vakum sosial. Hal ini, bisa kita konfirmasi minimal bagaimana kita memahami bahwa ayat–ayat Makkiyah itu sangat berbeda karakternya dengan ayat –ayat Madaniah.

Setelah proses internalisasi aspek cinta agama, atau dalam istilah Sulhan Yusuf (Kak Sul) “paripurnakanlah cinta agama” maka langkah selanjutnya adalah bagaimana merefleksikan, menghadirkan, mengimplementasikan agama cinta dalam realitas kehidupan. Agama cinta yang hadir di tengah kehidupan sosial merupakan hasil pembacaan dari teks agama tersebut.

Dari beberapa buku yang saya baca sebagai referensi untuk penulisan esai sederhana ini, agama cinta bisa terwujud dan sebagai refleksi dari ajaran tasawuf/sufisme. Kecendrungan terhadap sufisme merupakan langkah solutif atas kemajuan teknologi modern yang terkesan mengikis nilai-nilai spiritual sebagai basis fundamental dalam kehidupan manusia.

Dalam realitasnya, ada fonemena sufisme atau para sufi yang pendekatannya kepada Allah (ma’rifatullah) terkesan pincang dalam pemahaman dan implmentasinya. Pemahaman sederhananya fokus kepada persoalan akhirat dan lupa bahkan membutakan diri pada urusan dunia. Agama cinta dalam perspektif sufisme yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah sebagaimana yang dipahami oleh Muhammadiyah dengan istilah Neo Sufisme Muhammadiyah.

Neo Sufisme Muhammadiyah merupakan state of mind, yang menandai adaya gerak reflektif keagamaan, dari kepekaan teologis menuju kepekaan sosial. Saya memahami ini relevan dan sekaligus bentuk pemahaman kongkret dalam realitas kehidupan bahwa pemahaman Muhammadiyah terhadap surah Al-Ma’un tidak berhenti pada aspek teologisnya saja sebagai firman dari Allah, tetapi mengimplementasikan dalam bentuk amal bahkan dalam bentuk pelembagaan amal. Hal lain dari Muhammadiyah yang bagi saya merupakan bentuk neo sufisme adalah konsep Islam Berkemajuan dan Kosmopolitanisme ala Muhammadiyah.

Yang lebih kongkret terkait neo sufisme bahkan diterapkan dalam dunia bisnis dan korporasi, ⸻ sebagai spirit dasarnya noe sufisme dianalogikan setelah sampai di langit jangan lupakan bumi, tetapi harus kembali ke bumi mengimplementasikan yang apa yang diperoleh di langit ⸻ bisa dibaca dalam karya spektakuler Ary Ginanja Agustian yaitu buku ESQ Power sebuah Inner Journey melalui Ihsan.

Agama Cinta yang merupakan refleksi dari sebuah sufisme pada dasarnya mengedepankan spiritualitas ihsan. Pada preseden historisnya yang bisa dipahami dalam sebuah hadis yang dikenal dengan Hadis Jibril. Ada satu dari tiga pilar agama yang cenderung dilupakan yaitu Ihsan ⸻ dua pilar lainya rukun iman dan rukun Islam. Ihsan adalah menyembah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihat engkau. Ini relevan dengan pemahaman saya dengan QS. Az – Zariyat/51: 56 bahwa apa pun aktivitas kita, idealnya berada dalam dimensi “rida Allah”.

Ihsan sebagai sebuah drive (dorongan) untuk senantiasa mengedepankan kualitas terbaik. Dari Ary Ginanjar saya memahami bahwa orang –orang yang mengedepankan spiritualitas (ihsan) cenderung mengedepankan sikap sederhana, tidak berorientasi pada pemuasan material bahkan senang berbagi. Dan Ary Ginanjar menemukan itu dalam diri para CEO perusahaan terkemuka di dunia.            

Harvard pernah melakukan diskusi yang dihadiri oleh para CEO Perusahaan terkemuka dunia untuk merumuskan nilai–nilai spiritual yang mampu membantu mereka menjadi ”Powerful leaders”. Hasil diskusi mereka sampai pada kesimpulan tentang nilai–nilai spiritualisme dan termasuk hasil survey yang dilakukannya ternyata jawabannya jujur menempati urutan pertama. selain jujur, sikap senang memberi, adil menjadi nilai spiritualitas yang dikedepankan oleh para CEO tersebut. Ary Ginanjar Agustian bahkan sampai pada kesimpulan bahwa para sufi bukan hanya ditemuka di masjid-masjid, gereja atau tempat peribadatan lainnya. Tetapi para sufi bisa ditemuka pada perusahaan terkemuka dunia.

Agama cinta adalah agama yang yang mengutamakan koheseivitas sosial bahkan kolaborasi kemanusiaan universal. Agama cinta menjadi solusi utama dalam setiap problematika kehidupan. Agama cinta mengedepankan integritas, mengedepankan dialog intra-agama dan inter-agama. Agama cinta memadukan hati suci dan pikiran jernih. Agama cinta mengintegrasi-interkoneksikan ajaran agama dengan interdisipliner tanpa kecuali ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Sekali lagi keluasan dan kedalaman tema “cinta”, “agama”, “cinta agama” dan “agama cinta”, sungguh tanpa diuraikan dalam tulisan yang sangat terbatas ini, apalagi keilmuan yang saya miliki belum mampu menyelami lebih kedalaman samuderanya. Namun semoga percikan perspektif ini, bisa sedikit memberikan pencerahan atau minimal menyampaikan referensi-referensi yang saya kutip untuk didalami lebih jauh.

 

 

 

 

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221