Eksistensialisme Muhammad Iqbal dan Kontekstualisasinya di Era Kenormalan Baru

 

Prolog

Tulisan ini hendak memberi tawaran konseptual alternatif guna membangkitkan gairah dan semangat juang manusia untuk bangkit dan melakukan perubahan di era kenormalan baru. Dalam kondisi yang extraordinary akibat Covid-19 ini, sangat membutuhkan peran aktif manusia— dengan kehendak bebas dan semangat pembaharunya—dalam mengubah keadaan dan menciptakan takdir baru untuk kelangsungan hidup di masa depan.

Tawaran alternatif tersebut digagas melalui sumbangan filsafat eksistensialisme Muhammad Iqbal (1877-1938) yang terejawantahkan dalam konsep khudi  atau ego.  Saya merasa jika filsafat ego Muhammad Iqbal adalah sejenis eksistensialisme teistik dan bisa diterjemahkan dalam konteks kenormalan baru. Melalui kontekstualitasi eksistensialisme Iqbal ini, diharap menjadi gagasan alternatif yang bisa menjadi rujukan untuk kembali menyemangati diri masing-masing agar berikhtiar dalam mengubah keadaan.

Sekilas Tentang Eksistensialisme

Karena di kesempatan ini saya membicarakan eksistensialisme Muhammad Iqbal, maka terlebih dahulu saya akan menjabarkan konsep dasar dari eksistensialisme. Penjabaran ini diharapkan dapat menjadi alat konseptual untuk menyelisik keterkaitan eksistensialisme dengan gagasan-gagasan Iqbal, khususnya tentang ego.

Eksistensialisme dibangun atas kata dasar “eksistensi”. Istilah “eksistensi” berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah ini, hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia (apakah itu terdapat dalam seni, filsafat, atau psikologi) seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang mengada.[1]

“Mengada” dalam arti eksistensial adalah sadar akan kenyataan yang dihadapi dan bagaimana langkah untuk menghadapinya. “Mengada” menunjuk pada situasi individual manusia yang dinamis, dan menghadapi situasi yang dihadapi menunjuk pada tindakan subjek yang sadar akan kehendak bebasnya. Maka, pembahasan eksistensialisme tak akan jauh pada soal individualitas dan kebebasan manusia di dunia.

Robert C. Solomon mengatakan, setidaknya ada tiga tema yang disinggung dalam eksistensialisme. Pertama, a strong emphasis on the individual yang artinya penekanan pada individu. Tema pertama ini memiliki didefinisikan secara beragam oleh para eksistensialis. Kedua, The central role of the passions, as opposed to the usual philosophical emphasis on reason and rationality. Maksudnya peran sentral dari hasrat sebagai lawan dari penekanan filosofis pada rasionalitas. Ketiga, The importance of human freedom. existentialist are concerned with personal freedom, both political freedom and freewill. Maksudnya, eksistensialisme memandang penting pembahasan tentang kebebasan manusia. Bahwa eksistensialis peduli dengan kebebasan pribadi, baik kebebasan politik maupun kehendak bebas. [2]

Berdasarkan pembahasan di atas,  bisa disimpulkan jika eksistensialisme memusatkan pembahasannya mengenai situasi mengada dan kemenjadian manusia yang dinamis dan berkehendak bebas, yang timbul akibat respons serius terhadap kondisi eksistensial yang dihadapi. Maka, manusia bukanlah keberadaan yang mekanis seperti halnya robot. Manusia dengan kesadarannya yang tertanam dalam palung subjektivitasnya sanggup bertindak bebas.  Dengan kehendak tersebut, manusia menetapkan keputusan-keputusan eksistensialnya di dunia.

Maka dari itu eksistensialis tersohor,  Jean Paul Sartre menyebut manusia sebagai etre pour soi. Istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang memiliki kesadaran, yakni manusia. Dengan kesadaran teraebut, manusia mampu menyusun  tujuan hidupnya, memaknai diri sendiri sesuai kehendaknya, bahkan memaknai pihak lain.[3] Dengan kesadaran sebagai hakikatnya, manusia  dapat melakukan afirmasi maupun negasi terhadap sesuatu yang berhadapan dengan dirinya. Kesadaran membuat manusia dapat mengatasi, mengatur, memilih dan memaknai sesuatu.

Berbeda dengan keberadaan selain manusia yang tak memiliki kesadaran. Sartre menyebutnya etre en soi yakni segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, tak mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri, tujuan keberadaan ditentukan oleh eksistensi lain.[4] Ciri lain dari etre en soi adalah esensi dan keberadaannya telah ditentukan. Sehingga ia tak dapat merealisasikan dirinya sendiri.

Ada banyak hal lainnya yang menjadi konsentrasi dari eksistensialisme. Untuk lebih jelasnya, saya akan mengemukakan sejumlah temuan-temuan eksistensialis mengenai eksistensi dan pengalaman manusia dalam buku Zainal Abidin  yang berjudul Analisis Eksistensial. Saya  pilah-pilah beberapa hal penting dalam konteks kajian kita.

Selain tema-tema tentang kebebasan dan kemenjadian manusia, eksistensialisme juga memandang bahwa eksistensi adalah pemberian makna melalui hubungan intensional antara manusia dan dunia.  Kita tahu jika intensionalitas adalah konsep inti dari fenomenologi. Maka pembahasan eksistensialisme sangat ertat kaitannya dengan fenomenologi. Melalui laku intensionalitas, manusia mengarahkan kesadarannya ke luar kemudian memaknai dunia dan menjinakkan dunia yang liar.

Eksistensialisme juga memahami bahwa manusia adalah ada di-dalam-dunia (in-der-welt-sein) sebagai struktur dasar mengadanya manusia dan terlibat secara eksistensial dalam dunia. Dunia dalam eksistensialisme dipahami sebagai dunia yang hidup dan dialami oleh manusia melalui keterlibatan di dunia. Di samping itu, eksistensi juga dipahami sebagai “milik pribadi” yang menegaskan keunikan manusia  dan tak ada satu pun yang identik.

Hal yang paling penting juga dalam eksistensialisme adalah pemahaman tentang eksistensi mendahului esensi yang menjadi salah satu pembahasan utama dalam eksistensialisme Sartre. Ringkasnya adalah bahwa keberadaan manusia (eksistensi) selalu mendahului gagasan dan konsepsi atau definisi  apapun yang ingin dilekatkan pada manusia (esensi). Dengan demikian, esensi tidak pernah ditentukan sebelum manusia bereksistensi.  Hal inilah yang membuat eksistensi itu unik dan satu sama lain tak identik.

Otentisitas eksistensi manusia juga tak bisa diabaikan dalam wacana eksistensialisme. Karena hal tersebut terkait dengan bagaimana manusia menentukan dirinya sendiri secara bebas. Dan masih banyak lagi yang menjadi konsentrasi dari eksistensialisme. Beberapa di antaranya menurut Zainal Abidin adalah kematian, kecemasan, waktu, ruang, tubuh, diri sendiri, dan rasa bersalah, Berdasarkan penjabaran tersebut, eksistensialisme mendudukkan manusia pada posisi paling penting dalam filsafatnya. Karena hampir seluruh tema-tema yang disinggung dalam eksistensialisme terkait dengan manusia sebagai individu.

Eksistensialisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai manusia membuat aliran filsafat ini kerap dikaitkan dengan humanisme.  Dalam humanisme, manusia merupakan pusat atau sentral dari kenyataan. Meski demikian, ada perbedaan eksistensialisme dan filsafat humanistik lainnya seperti pragmatisme, sebagaimana yang dijelaskan Zainal Abidin dalam artikelnya berjudul Eksistensialisme. Katanya, perbedaan keduanya terletak pada posisinya memahami manusia. Eksistensialisme tak hanya membahas manusia pada umunya, namun menempatkan personalitas dan individualitas sebagai sentral. [5]

Lebih lanjut Zainal mengungkapkan, dalam eksistensialisme, kemerdekaan personal mendapatkan privileged-nya yang besar. Sementara dalam pragmatisme, kita masih menerima adanya sistem yang otoriter sekalipun jika sistem itu bermanfaat dalam hidup praktis manusia. Asas manfaat adalah segala-galanya bagi pragmatisme. Namun eksistensialisme tidak memberi tempat bagi sistem dan otoritas yang membelenggu kemerdekaan individu.[6]

Gagasan Iqbal tentang Ego

Pada bagian ini, saya hendak memperlihatkan kecenderungan eksistensialisme dalam filsafat ego yang digagas oleh Muhammad Iqbal. Namun sebelum itu, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu konsep ego sebagai inti dari filsafat Iqbal agar dapat diketahui, pada titik mana persamaan antara filsafat ego dengan eksistensialisme.

Ajaran-ajarannya tentang ego banyak dituangkan Iqbal dalam puisi-puisinya. Karena diketahui bahwa Iqbal adalah seorang penyair.  Asrar-i-Khudi yang terbit pada tahun 1915 adalah salah satu karya monumental Iqbal tentang ego. Buku ini berisi teks-teks matsnawi. Hal inilah yang menyulitkan kita dalam memahami konsep ego Iqbal karena gagasannya tersebut dituangkan dalam karya sastra.

Meski demikian, kita bisa menemukan penjabaran sistematik dari konsep ego Iqbal melalui kumpulan-kumpulan ceramahnya yang dituangkan dalam buku berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam.  Hal tersebut menegaskan jika Iqbal bukan hanya sekadar penyair, namun juga filsuf.

Iqbal memulai konsep egonya melalui keresahan terhadap gagasan Timur yang terjebak dalam pseudo-mistik yang cenderung mengabaikan kenyataan ego. Gagasan tentang peleburan Tuhan dan manusia dalam panteisme yang menghantui dunia Islam, dianggap mengabaikan ego sebagai sebuah kenyataan riil.  Hal tersebut membuat kaum muslim cenderung mengabaikan hakikat kedirian mereka bahkan lebih terlena untuk mengejar yang ukhrawi.

Iqbal menghargai gagasan Barat yang  lebih memerhatikan dunia nyata, dunia kongkrit yang dihidupi oleh manusia. Namun, Iqbal tidak sepenuhnya mengimani pemikiran Barat. Ilmu-ilmu alam yang berkembang di Barat cenderung melihat alam semesta, termasuk manusia, dideterminasi oleh hukum-hukum yang bersifat deterministik dan mekanis. Gagasan mekanisme ini kemudian ditolak oleh Iqbal demi menyelamatkan manusia dan alam semesta sebagai peristiwa-peristiwa organis yang hidup.

Posisi Iqbal justru ingin mensintesiskan gagasan Timur dan Barat dengan menitikberatkan filsafat egonya dalam hubungannya dengan dunia nyata, namun tak melupakan nilai-nilai agama, yang juga akan banyak dielaborasi oleh Iqbal dalam gagasannya mengenai ego. Filsafat Iqbal tak hanya lahir dari spekulasi filosofis, namun juga mendapatkan dukungan dari aya-ayat Alquran, khususnya tentang ego dan kemerdekaan manusia.

Pertama-tama Iqbal menegaskan jika ego suatu yang riil dan nyata dalam diri manusia. Iqbal menyebut beberapa karakteristik ego, salah satunya adalah sifatnya yang sendiri dan singular. Kesendirian ego ini membuat antara satu ego dengan ego lainnya bersifat unik dan tak sama. Untuk mendukung pandangan tersebut, Iqbal mengatakan, “Dokter gigi mungkin merasa simpati pada gigi saya yang sakit, tapi tidak dapat mengalami rasa nyeri gigi saya yang sakit.  Kenikmatan, penderitaan, dan keinginan saya adalah khusus milik saya, yang membentuk sebagian ego saya sendiri. Perasaan, kebencian dan cinta saya, pertimbangan dan keputusan saya, adalah khusus milik saya”.[7]

Karakteristik selanjutnya dari ego  adalah suatu kesatuan yang disebutnya sebagai keadaan-keadaan mental. Keadaan mental itu adalah suatu keseluruhan yang rumit dan jalin berjalin yang kerap dinamakan sebagai pikiran.[8] Mental dan pikiran inilah yang membuat tindakan menjadi mungkin.  Maka dari itu, sebagaimana yang dikatakan Donny Gahral Adian, ego dalam perspektif Iqbal adalah  pusat kesadaran dan kehidupan kognitif aktif manusia yang menjadi penggerak perbuatan dan usaha manusia.[9]

Tindakan-tindakan ego ini terjadi secara spontan dan terefleksikan dalam tubuh. Untuk itulah Iqbal mengatakan tubuh adalah akumulasi tindakan atau kebiasaan dari jiwa, dan antara keduanya adalah dua hal yang tak terpisahkan.[10] Tindakan sebagai karakteristik ego ini menyiratkan pandangan Iqbal tentang kehendak bebas manusia. Bahwa melalui egonya yang berkesadaran itu, manusia memiliki kemerdekaan dalam bertindak, dan bebas dalam mengambil keputusan. Sehingga manusia adalah tuan untuk nasibnya sendiri. Sejumlah ayat Alquran dikutip Iqbal untuk mendukung pandangannya tentang kemerdekaan manusia antara lain, 13:11, 18:29, 17:7.

Melalui kemerdekaan ini, ego membentuk dirinya dan didisiplinkan melalui pengalamannya sendiri. Dengan kata lain, manusia tak hanya sanggup mengubah dunianya melalui sederetan tindakan-tindakan, namun juga memiliki kemerdekaan dalam mengubah dirinya sendiri.  Perlu diketahui pula bahwa Iqbal memandang setiap keberadaan di dunia memiliki individualitas masing-masing. Meski itu wujud paling rendah sekalipun pasti memiliki ego.

Namun ego masing-masing keberadaan bertingkat-tingkat. Iqbal dengan bahasa yang puitis, mengibaratkan semesta wujud  sebagai lapangan-bunyi, di mana terdengar nada yang bertapak-tapak meninggi. Nada keegoan ini mencapai tingkat sempurnanya dalam diri manusia.[11]

Itulah mengapa manusia memiliki sifat kehendak kreatif yang juga dimiliki oleh Tuhan selaku Ego Terakhir, atau Ego Mutlak. Manusia diberi kedudukan yang tinggi dalam lapis-lapis realitas  sehingga dengan kesadarannya, sanggup mengikuti kreativitas Tuhan dan dengan kreativitas itu manusia mengubah dunia menjadi lebih baik. Di sini, Ego bersifat memimpin, karena Tuhan sendiri sebagai Ego Kreatif bersifat memimpin.

Berdasarkan pandangan di atas, kelihatan dengan jelas bahwa manusia dalam pandangan Iqbal bukanlah ciptaan pasif yang setiap geraknya dideterminasi sepenuhnya oleh kehendak Tuhan.  Meski Iqbal memahami jika Tuhan adalah sang seniman bagi terciptanya alam semesta, namun manusia hadir di tengah-tengah alam semseta ini sebagai partner Tuhan dan berpartisipasi dalam proses penciptaan.

Mengutip pernyataan Donny Gahral Adian, Tuhan adalah dasar spiritual mutlak dari segala kehidupan  yang bersifat abadi, dan mengungkapkan dirinya dalam keragaman dan perubahan. Manusia sebagai ko-kreator pilihan Tuhan berbagi creative genius Tuhan untuk direalisasikan di dalam dunia atau sederhananya: manusia diberkati Tuhan kebebasan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam proses kreatif pencipta-Nya.[12]

Partisipasi aktif manusia dalam mencipta digambarkan Iqbal dalam salah satu puisinya di buku Pesan dari Timur (Payam-I Mashriq):

Kau mencipta malam, aku mencipta lampu yang meneranginya

Kau buat lempung, kubikin darinya cawan minuman

Kau bikin hutan liar, gunung dan padang rumputan

Kucipta kebun, taman, jalan-jalan dan padang gembala

Kurubah racun berbisa jadi minuman segar

Akulah yang mencipta cermin cerlang pasir[13]

Berdasarkan pandangan di atas, alam semesta adalah hasil dari kehendak kreatif Tuhan selaku Ego Mutlak yang memulai proses penciptaan. Sedangkan  manusia sebagai ego terbatas, sebagai hasil kreasi Tuhan, hidup di dunia dengan berpartisipasi dalam proses penciptaan di alam semesta. Maka boleh dikata, ego menjadi inti dari alam semesta. Bagi Iqbal, keberadaan adalah efek dari ego. Hal tersebut ditegaskan Iqbal dalam Asrar I-Khudi:

The form of existence is an effect of the Self

Whatsoever thou seest is a secret of the Self

 When the Self awoke to consciousness

It revealed the universe of Thought

A hundred worlds are hidden in its essence[14]

Melalui kehendak kreatif, ego bergerak dalam arus perubahan terus menerus. Jika kehidupan terus bergerak secara kreatif, maka ego pastinya memiliki tujuan dalam setiap geraknya. Namun, hidup yang terarah ke tujuan dalam pandangan Iqbal tak sebagaimana pandangan dalam filsafat teleologis. Pada posisi ini, Iqbal memiliki pandangan yang sama dengan Bergson yang menolak konsep teleologis sebagai sebuah rencana menuju pada suatu tujuan yang sudah ditetapkan. Hal ini tentunya tak jauh beda dengan determinisme takdir dalam agama dan gagasan mekanisme dalam pandangan ilmu alam.

Namun, sayangnya, Bergson menolak konsep teleologis karena memandang bahwa gerak kehidupan yang kreatif  pada hakikatnya memang tak memiliki tujuan yang dekat maupun jauh. Dorongan tersebut tak menuju pada suatu hasil namun bersifat arbitrer, chaos dan tak teramalkan.[15] Di posisi ini, Iqbal dan Bergson berpisah. Karena Iqbal tetap meyakini ego  adalah kehendak kreatif yang memiliki tujuan. Namun tujuan yang dimaksud di sini, bukanlah tujuan yang sudah ditetapkan dan ke sanalah ego bergerak.

Gerak kehidupan bagi Iqbal adalah pelaksanaan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka.  Proses waktu mempunyai tujuan, namun tujuan ini bisa dipilih secara selektif. [16] Dengan demikian, sifat kehidupan  sebagai kemungkinan-kemungkinan memberi kesempatan pada ego untuk memilih setiap kemungkinan yang hendak ia jalani.

Bahkan seluruh isi alam semesta pun berjalan dengan prinsip demikian.  Alam semesta akhirnya dapat dipandang sebagai organisme hidup yang dinamis, yang tidak tunduk pada hukum-hukum yang mekanistik sesuai anggapan ilmu-ilmu alam. Namun alam semesta adalah sebuah gerak kreatif sebagai implikasi dari tindakan-tindakan ego.

Itulah mengapa Iqbal memandang alam semesta sebagai  wujud yang terus bertumbuh dan “menjadi” , bukan suatu hasil yang telah selesai. Begini kata Iqbal, “alam, seperti kita lihat bukanlah seonggok kematerialan murni yang mengisi sebuah rongga. Tetapi ia merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa, suatu cara tata laku yang sistematik,  sama organiknya dengan ego yang hakiki. Alam bagi ego ilahiat sama dengan watak ego manusia”.[17]

Dalam arus kehidupan yang terus mengalir ini, antara gerak alam semesta dan ego saling mengisi. Aliran kausalitas dari alam mengalir ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah Ego Mutlak membiarkan munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan ini atas kemauan bebasnya sendiri.[18]

Ketegangan interaktif manusia-alam tersebut mencerminkan senbuah keadaan manusia yang menjalani hidup dengan mengatasi lingkungannya. Iqbal mengatakan, nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan mempergunakan tenaga-tenaga alam untuk mencapai tujuannya. Tuhan akan akan bertindak sebagai kawan kerja manusia dalam membantu pencapaian tujuan itu tergantung inisiasi manusia sendiri. “Tidaklah Tuhan akan mengubah nasib suatu bangsa, kalau bukan bangsa itu yang mengubah nasibnya sendiri” (13:11)[19]

Kemajuan ego manusia pun sangat ditentukan oleh seberapa keras ia melakukan interaksi dengan lingkungannya. Di sinilah perjuangan menjadi sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia. Gagasan tentang kebebasan dan tindakan-tindakan kreatif  ego menyiratkan sebuah pandangan Iqbal tentang manusia sebagai subjek yang sanggup berjuang, berinisiasi dan berkemauan. Hidup manusia akhirnya ditentukan oleh seberapa besar perjuangannya melalui kebebasan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Melalui puisinya, Iqbal menceritakan bagaimana ego menentukan nasibnya sendiri melalui daya juangnya:

Dengan kerja keras membanting tulang

Kau capai prestasi yang jarang

Walaupun di sana terselip dosa,

Ia kan memberikan ganjarannya sendiri[20]

Iqbal menjunjung tinggi kekuatan dan perjuangan. Melalui kebebasannya, manusia seharusnya hidup dengan penuh optimisme. Maka siapa pun yang tak memaksimalkan kebebasannya untuk berjuang maka ia akan terpuruk. Begini kata Iqbal:

Berhenti, tak ada tempat di jalan ini

Sikap lamban berarti mati

Mereka yang bergerak, merekalah yang maju kemuka

Mereka yang menunggu, sejenak sekalipun, pasti tergilas[21]

Kita bisa menangkap kepribadian Iqbal yang tidak menyukai sikap diam dan kelemahan. Hidup dimaknai sebagai perjuangan. Hal tersebut adalah konsekuensi dari  kemerdekaan yang dimiliki manusia, sehingga perjuangan itu menjadi mungkin. Bahkan, Iqbal justru menyerukan untuk hidup dalam bahaya. Iqbal menegaskan hal tersebut melalui puisinya:

Hiduplah dalam bahaya

Jika hidup sejati yang kau inginkan, wahai teman bijakku

Seperti pedang gagah-berani lemparkan dirimu

Atas batu keras curam, gosoklah dirimu supaya mengkilap

Bahaya justru memberimu segala yang baik

Bahayalah batu gosok yang sebenarnya bagi dirimu[22]

Sebab melalui bahaya, ego manusia berproses menjadi lebih baik lagi. Hal tersebut menunjukkan posisi Iqbal sebagai filsuf yang menghargai kekuatan, semangat dan keberanian sebagai unsur penting dalam diri manusia.

Eksistensialisme dalam Pandangan Iqbal tentang Ego

Banyak yang beranggapan jika konsep ego Iqbal mengandung filsafat eksistensialisme, meskipun Iqbal tidak pernah mengatakan demikian apalagi mendaku diri sebagai eksistensialis. Berdasarkan pembahasan di atas, kita sudah bisa meraba-raba elemen-elemen eksistensialisme dalam gagasan ego Iqbal. Bagaimana Iqbal memahami manusia sebagai ego yang dinamis dan berkehendak bebas, unik dalam kesendiriannya, dan keterlibatan manusia melalui tindakan kreatif di dalam dunia, memiliki kemiripan dengan gagasan-gagasan eksistensialisme.

Maka tak berlebihan jika Muhammad Iqbal dikategorikan sebagai filsuf eksistensialis. Meski demikian, konsep ego Iqbal adalah sejenis filsafat eksistensialisme teistik. Dalam perkembangan filsafat eksistensialisme, setidaknya ada dua jenis aliran yang ditemukan: eksistensialisme ateistik dan teistik.

Eksistensialisme teistik masih memberi ruang pada Tuhan dalam hubungannya dengan manusia, sementara eksistensialisme ateistik mengabaikan konsepsi Tuhan dalam hubungannya dengan manusia. Karena ambisi menjadikan manusia sebagai pusat dan menjunjung tinggi otonomi manusia, maka Tuhan harus ditampik.

Sekali lagi, semangat yang dibawa Iqbal  memiliki kemiripan dengan semangat yang dikibarkan oleh para eksistensialis. Perhatian besar Iqbal terhadap individualitas adalah tema yang juga disuarakan dalam eksistensialisme. Nafas eksistensialisme Iqbal semakin jelas saat ia menyadari jika manusia adalah subjek yang berkehendak dan berkemauan, memiliki potensi untuk memutuskan langkah hidup sesuai pilihannya melalui tindakan-tindakan kreatif. Konstruksi manusia Iqbal jelas sangatlah eksistensialis. Yakni menghargai individualitas manusia sebagai subjek yang bebas.

Kebebasan ini membuat manusia hidup di dunia dengan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan yang harus ia pilih. Manusia akhirnya dipandang bukan sebagai individu yang mekanis. Manusia yang dianggap Iqbal sebagai ego yang berproses “menjadi” secara terus menerus juga senada dengan pandangan eksistensialime mengenai manusia yang bukan sebagai susunan tulang-daging yang sudah “jadi” namun suatu yang terus“menjadi”.

Dalam eksistensialisme, dunia dipandang sebagai realitas kongkrit yang hidup dan dialami oleh manusia. Pandangan demikian bisa kita temukan dalam gagasan-gagasan Iqbal. Alam semesta dalam pandangan Iqbal, sebagai organisme hidup yang dinamis, yang bergerak menuju proses kemenjadian terus menerus. Dan manusia terlibat dalam proses penciptaan sebagai wakil Tuhan di bumi. Keterlibatan manusia dalam dunia yang kongkrit, hidup, dan dinamis ini tentunya mengingatkan kita dengan istilah yang cukup penting dalam eksistensialisme: manusia “ada-dalam-dunia”.

Konsep “ada-dalam-dunia” mempunyai makna yang sangat eksistensial, yakni “keterlibatan”, “keterikatan”, dan “keakraban” . Dunia seperti ini akan terus berkembang dan bersifat subjektif  karena kontak manusia dengan realitas di luar dirinya selalu ditandai dengan subjektivitasnya.[23] Maka dunia dan manusia selalu dalam keadaan hubungan yang saling berdialektis. Hubungan dialektis ini terjadi karena hubungan dunia dan manusia bersifat intensional. Intensionalitas ini tak hanya dalam kaitanya dengan kesadaran dan keterarahan manusia pada benda-benda, sebagaimana dalam pandangan fenomenologi.  Tapi intensionalitas dalam eksistensialisme  juga adalah menjadi bagian dari dunia dan hidup serta bertindak di dalamnya. Dunia akhirnya menjadi sesuatu yang dikendalikan oleh manusia.

Iqbal sendiri memahami hal yang sama dalam eksistensialisme mengenai hubungan dialektis manusia dan realitas. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Iqbal memandang jika arus kausalitas mengalir ke dalam ego dari alam dan sebaliknya dari ego ke dalam alam. Ego berproses di dunia melalui ketegangan interaktifnya dengan dunia. Hubungan interaktif ini memperlihatkan posisi manusia yang terlibat dan berbuat di dalam dunia, dan mengendalikannya melalui tindakan-tindakan kreatif.

Di samping itu, penghargaan Iqbal atas kekuatan, semangat juang dan keberanian, serta penolakan terhadap sikap lemah bisa dikatakan sebagai sebuah refleksi filosofis terhadap eksistensi manusia. Gagasan yang sangat eksistensialis itu bisa kita temukan dalam eksistensialisme Nietzsche. Hal tersebut akhirnya membuat Iqbal selalu disamakan dengan pesohor eksistensialisme itu. Terlebih lagi Nietzsche sering kali disebut Iqbal dalam karya-karyanya.  Orang-orang akhirnya menganggap Iqbal sangat terpengaruh oleh Nietzsche.Namun hal yang perlu diluruskan adalah, meski ada persamaan, namun antara Nietzsche dan Iqbal sama sekali tak bisa bertemu.

Ali Audah melalui pengantarnya dalam buku Iqbal Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, mengatakan, rasa keagamaan Iqbal yang sangat dalam bertentangan dengan sikap pemutarbalikan nilai yang dianut Nietzsche. Semua nilai bagi Iqbal adalah kekal. Segala sesuatu baik atau buruk tergantung kepada apakah sesuatu itu memperkuat atau melemahkan ego.[24]

Syahdah,  dari sekian banyak elemen-elemen eksistensialisme dalam pandangan Iqbal, eksistensialisme teistik bagi saya yang cocok dilekatkan pada sosok penyair tersebut. Sebab di balik tindakan kreatif manusia dalam proses kehidupannya di dunia, ada Tuhan sebagai Ego Mutlak. Tuhan mengiringi proses kemenjadian manusia di dunia dengan intervensi-Nya dalam mencipta secara terus-menerus demi kelangsungan denyut alam semesta sebagai organisme hidup.

Namun, intervensi ini tidak berarti bahwa manusia kehilangan kebebasannya dalam menentukan perubahan diri dan perubahan lingkungannya. Proses kreatif Tuhan dalam penciptaan juga diikuti oleh manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia. Manusia memiliki posisi paling tinggi di antara setiap mahluk, dengan diberi kepercayaan untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan dunia melalui kehendak bebasnya.

Kontekstualisasi Konsep Ego Iqbal di Era Kenormalan Baru

Covid-19 merajalela. Wabah ini tak hanya berdampak pada kesehatan dan nyawa manusia, tapi juga menghancurkan fondasi ekonomi di banyak Negara, termasuk Indonesia. Cara cemi cara dilakukan guna mengalahkan kedigdayaan virus kecil tak kasatmata ini. Hingga akhirnya kenormalan baru  menjadi pilihan alternatif di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Masyarakat diminta untuk beraktivitas kembali agar tetap produktif di tengah wabah. Pemerintah Indonesia membilangkan, “berdamai dengan virus”. Namun masyarakat tetap diminta untuk menjalankan protokol kesehatan dalam segenap aktivitasnya. Tatanan baru ini hendak membiasakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih agar sanggup beradaptasi dengan wabah.

Kelonggaran di era kenormalan baru turut memberi kesempatan pada  pusat-pusat perbelanjaan, kantor-kantor hingga institusi-institusi negara untuk beraktivitas kembali. Kini, masyarakat  sudah tidak takut lagi mengunjungi ruang-ruang publik. Seolah-olah tak ada masalah dengan virus. Seolah-olah tak takut dengan virus. Namun sejatinya, era kenormalan baru  dengan sendirinya memperlihatkan problem eksistensial manusia yang bagi saya cukup serius: kepasrahan, tanda menyerah, ungkapan bahwa umat manusia tak bisa berbuat apa-apa lagi di hadapan Covid-19.

Era kenormalan baru menggiring umat manusia untuk bersikap biasa-biasa saja di tengah kondisi yang luar biasa. Seolah-olah keadaan ini tak bisa lagi diubah. Wabah Covid-19 memang sangat banyak mempengaruhi kondisi eksistensial mansuia. Termasuk  semakin tumbuhnya sikap fatalistik di tengah pandemi. Masyarakat akhirnya menyerahkan hidup dan matinya pada nasib dan takdir Tuhan di tengah pandemi. Berharap Tuhan menyelamatkan umat manusia dengan menarik kembali Covid-19 dari dunia. “Jangan takut Corona, tapi takutlah pada Tuhan.”  Begitulah kepercayaan yang tumbuh di era pandemi ini. Individualitas manusia yang aktif dan kreatif tunduk pada keadaan.

Padahal semestinya manusialah yang mengubah keadaan. Manusia hadir di bumi melalui kehendak kreatif Tuhan, juga mewarisi sifat kreratif dari-Nya . Kehendak bebas tersebut diberikan pada manusia untuk mengelolah alam semesta agar menghasilkan sebuah perubahan yang dicita-citakan. Manusia diberikan ikhtiar pada Tuhan untuk membuat keputusan-keputusan dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh Tuhan. Anugerah tersebut seharusnya dimaksimalkan guna mengatasi krisis di tengah Covid-19.

Iqbal telah mengajari kita bahwa dalam diri manusia bersemayam ego yang membuat manusia dapat berpikir dan sadar akan situasinya, dan sanggup melakukan tindakan-tindakan kreatif sebagai buah dari kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan. Keputusasaan, sikap menyerah dan sikap fatalistik mestinya ditampik untuk memberi ruang pada kehendak kreatif ego dalam berbuat sesuatu. Ego membuat manusia sanggup menjinakkan dunianya, bukan malah dijinakkan oleh keadaan. Kerjasama antara ego-ego sudah harus dilakukan guna mengatasi dunia yang menjadi ganas karena virus.

Tapi tak bisa ditampik jika di era kenormalan baru ini ruang gerak manusia tak sebebas dulu. Meski sudah diberi kelonggaran untuk kembali hidup produktif, namun dalam situasi tidak normal dan tak terkendali ini membuat mobilitas manusia terbatas. Oleh sebab itu, kehendak kreatif ego juga semakin terbatas dalam mengelolah dunianya menjadi lebih baik lagi.

Tapi situasi yang kacau ini seharusnya tak menjadi penghalang. Justru dunia—meminjam bahasa Iqbal—menjadi “batu gosok” untuk semakin menajamkan daya juang ego. Hubungan ego dan realitas seharusnya menjadi ketegangan interaktif untuk semakin menghidupkan ego, dan menguji tindakan kreatifnya dalam menciptakan hidup dan lingkungan menjadi lebih baik lagi. Realitas  juga seharunya menjadi arena pertarungan bagi ego dalam menguji keberaniannya dan berkata “ya” pada hidup.

Apalagi di masa Covid-19, di era kenormalan baru ini, menghasilkan keadaan eksistensial yang meresahkan manusia. Keadaan eksistensial itu tak hanya dalam bentuk kepasrahan diri pada wabah yang seharusnya bisa dikalahkan melalui tindakan kreatif, namun juga keputusasaan dan kegagalan. Krisis ekonomi membuat banyak pekerja di-PHK, ekonomi rumah tangga semakin tidak stabil, bisnis-bisnis kian terpuruk membuat orang-orang berpotensi terjatuh dalam situasi eksistensial dengan cukup dalam.

Namun, situasi eksistensial tersebut seharusnya tidak untuk diratapi saja tanpa berbuat apa-apa. Situasi eksistensial tersebut membutuhkan respons agar keadaan dapat berubah. Di sinilah ajaran Iqbal tentang perjuangan dan keberanian dapat diimplementasikan di era kenormalan baru. Keadaan terpuruk tersebut seharusnya dijawab dengan kerja keras meski wabah mengancam. Di sinilah dibutuhkan keberanian dalam menantang marabahaya, agar rintangan dunia dapat diseberangi. Rintangan ini seharusnya dijadikan latihan membenahi diri.

Melalui eksistensialismenya, Iqbal mengajarkan kita untuk tetap optimis menjalani hidup bahkan di tengah situasi yang tidak normal. Karena Iqbal tahu jika keadaan dapat diubah melalui tindakan-tindakan kreatif. Dunia ini bukan materi yang statis. Namun sebagai rentetan peristiwa-peristiwa yang bergerak dinamis. Itu artinya, segalanya dapat berubah, asal kita berusaha. []

 

Catatan kaki:

[1] Zainal Abidin, Analisis Eksistensial untuk Psikolog dan Pskiatri (Bandung: Refika, 2002) hlm 40.

[2] Profesor Robert C. Solomon, No Excuses: Exixtensialism and the Meaning of Life (The Teaching Company, 2000) hlm 4 https://www.yumpu.com/en/document/read/9828377/no-excuses-existentialism-and-the-meaning-of-life-filedumpnet

[3] Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) hlm 67

[4] Wahyu Budi Nugroho, Loc.Cit

[5] Zainal Abidin, Eksistensialisme, (Yogyakarta: UGM, 1992) hlm 48 https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31397/18984

[6] Zainal Abidin, Eksistensialisme, Loc.Cit

[7] Muhammad Iqbal, diterjemahkan Ali Audah dkk, Membangun kembali Pikiran Agama Islam (Jakarta: P.T. Tintamas Indonesia, 1982), hlm 110

[8] Ibid, hlm 109

[9] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal: Seri Tokoh Filsafat, (Jakarta Selatan: TERAJU, 2003), cet. I, hlm. 77

[10] Muhammad Iqbal, Op.Cit, hlm 117

[11] Ibid, hlm 81

[12] Donny Gahral Adian, Op.Cit, hlm 67

[13] Muhammad Iqbal, terjemahan Abdul Hadi W.M, Pesan dari Timur, (Bandung: Pustaka, 1985) hlm 66

[14] Muhammad Iqbal, diterjemahkan Reynold A. Nicholson, The Secret Of The Self (ASRÁR-I KHUDÍ) A Philosophical Poem, (London: Macmilian And Co., 1920), hlm. 14-15 https://www.gutenberg.org/files/57317/57317-h/57317-h.htm#VII

[15] Muhammad Iqbal, Membangun kembali Pikiran Agama Islam, Op.Cit, hlm 60

[16]Ibid, hlm 63

[17] Ibid, hlm 64

[18] Donny Gahral Adian, Op.Cit, hlm 86

[19] Muhammad Iqbal, Membangun kembali Pikiran Agama Islam, Op.Cit, hlm 15

[20]  Miss Luce –Claude Maitre, diterjermahkan Djohan Effendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1989), cetakan III, hlm 26

[21] Muhammad Iqbal, Membangun kembali Pikiran Agama Islam, Op.Cit, hlm XVIII

[22] Muhammad Iqbal,  Pesan dari Timur, Op.Cit, hlm 66

[23] Zainal Abidin, Analisis Eksistensial untuk Psikolog dan Pskiatri, Op.Cit, hlm 40

[24] Muhammad Iqbal, Membangun kembali Pikiran Agama Islam, Op.Cit hlm XIX

  • Hari ini saya punya janji untuk mengikuti kelas literasi. Mau tidak mau saya harus ikut, soalnya sudah diingatkan oleh kanda Bahrul Amsal melalui lini masa FB. Apalagi beberapa hari sebelumnya saya sudah janjian dengan Aii Avicenna, kawan saya yang juga kebelet ingin ikut. Maka, siang ini saya bersiapsiap lebih awal, sembari menunggu jemputan Aii. Kelas…

  • Selamat malam. Besok pertemuan kedua kelas literasi Paradigma Institute. Kali ini kita akan kedatangan seorang yang sedikit banyak dibesarkan dan membesarkan Paradigma Institute sampai sekarang. Alhamdulillah kanda Syafi bersedia datang membagi pengalaman dan ilmunya besok sore sekira pukul 15.00. Beliau sampai hari ini masih bergiat dengan tradisi literasi dan pengembangan keilmuan bagi anakanak muda. Bahkan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221