Merdeka Belajar dan Beberapa Hal yang Luput Dimerdekakan

Tidak bermaksud menggurui siapa-siapa. Atau merasa lebih pintar dari pemerintah. Tidak. Anggaplah opini ini sebagai ajakan untuk berefleksi. Sudahkah pendidikan kita benar-benar merdeka. Jangan-jangan hanya pseudo atau sekadar berpura-pura.

***

Kata ‘merdeka belajar’ tiba-tiba menjadi terma yang begitu populer dalam dunia persekolahan kita, juga perkuliahan akhir-akhir ini. Ramai-ramai orang membicarakannya.

Pengistilahan ini menjadi populer, sebab dipakai dan dibawa ke ruang publik, oleh bukan sembarangan orang. Ia seorang pebisnis terkenal dan juga seorang pejabat eselon I di pemerintahan. Ia menteri pendidikan dan kebudayaan. Sebuah kementerian yang ditugasi mengurusi ilmu dan keadaban manusia Indonesia. Bukan pekerjaan mudah tentu saja, sebab ini menyangkut pembangunan manusia dengan segala macam tantangan di dalam dan di hadapannya.

Adalah Nadiem yang memulainya—sekalipun istilah ini bukan terma yang baru-baru amat—. Jauh-jauh hari sebetulnya tokoh-tokoh mazhab pendidikan kritis sudah memperkenalkannya. Walaupun dengan pengistilahan yang berbeda.

Merdeka Belajar, Sebuah Perkenalan Singkat
Sebagai tenaga pendidik atau tepatnya fasilitator belajar, tentu ide dan kebijakan itu saya sambut baik—sekalipun banyak juga yang merespon sebaliknya—. Bagi saya, ini semacam oase di tengah kemarau atau semacam awan mendung di tengah padang pasir. Cukup meneduhkan dan menghilangkan sedikit dahaga.

Inti pokok dari ide itu menyasar tiga hal; pertama memangkas beban administratif guru. Kedua, menurunkan beban pikiran dan psikologis peserta didik. Ketiga, meningkatkan dan mendorong pemerataan kualitas pendidikan.

Lengkapnya, merdeka belajar diterjemahkan dalam beberapa bentuk. Pertama, pelonggaran konsep Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Artinya, ke depan ujian tidak lagi hanya dalam bentuk tes soal, tapi juga dimungkinkan dalam bentuk portofolio, project, gelar karya dan lain sebagainya. Dengan begitu, proses evaluasinya lebih komprehensif dan menyentuh semua aspek; kognitif, psikomotorik dan afektif.

Kedua, revisi model Ujian Nasional (UN). Melalui kebijakan ini, kedepan UN tidak dilaksanakan lagi, sebagai gantinya disusunlah konsep Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter (SK).

Tujuannya untuk mengukur kemampuan bernalar peserta didik menggunakan bahasa (literasi), kemudian bernalar menggunakan matematika (numerasi). Dan juga untuk memonev (monitoring dan evaluasi) karakter siswa—religius, humanis, nasionalis, gotongroyong, mandiri dan berintegritas—.

Tidak hanya itu, pelaksanaanya juga tidak lagi di akhir masa sekolah. Tapi, di pertengahan masa belajar, misal di jenjang SD pelaksanaanya di kelas 4, kemudian SMP dan SMA/sederajat masing-masing di kelas 2. Sehingga paradigma asesmen yang dulunya untuk menyaring siswa, digeser menjadi proses pelacakan capaian belajar siswa. Hal ini penting agar menjadi bahan guru dalam menyusun fokus dan prioritas dalam membelajarkan siswa di tahun berikutnya.

Ketiga, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dari yang dulunya berlembar-lembar, menjadi hanya satu atau dua halaman. Cukup memuat tiga komponen saja; tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen. Dengan begitu, guru tidak lagi menghabiskan waktunya untuk mengurusi administrasi. Tapi lebih ke substansi pembelajaran.

Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi. Pada intinya kebijakan ini dimaksudkan untuk menghilangkan jurang ketimpangan kualitas antar sekolah, sehingga diharapkan ke depan tak ada lagi sekolah unggulan dan pinggiran. Hal yang lainnya adalah untuk memberi akses atau kesempatan belajar kepada semua anak sesuai dengan domisilinya.

Beberapa Hal yang Luput dan Terlupakan

Paket kebijakan ini memang dirasa cukup memerdekakan, sekalipun belum memerdekakan dalam arti sesungguhnya. Kenyataannya memang belum secara signifikan merombak problem mendasar dari pendidikan. Banyak diantaranya masih luput dari agenda ‘merdeka belajar’.

Antara lain, pertama, sumber belajar di sekolah yang masih terbatas di sana-sini, sebutlah misalnya bahan bacaan bermutu dan menggugah, internet untuk mengakses e-jurnal, e-book dll, kuantitas dan kualitas tenaga pendidik dan lain sebagainya.

Kedua, biaya pendidikan yang dirasa masih sangat mencekik. Ini momok yang belum tuntas-tuntas juga hingga kini. Padahal di bagian inilah mestinya mula-mula dimerdekakan.

Memang, anggaran bukan satu-satunya variabel penentu, tetapi kalau kita belajar dari Finlandia, Denmark dan negara-negara di semenanjung Skandinavia, salahsatu kunci kemajuan pendidikan dan negaranya adalah karena politik anggarannya berpihak pada pendidikan. Hal yang sama juga bisa kita jumpai di Kuba, negeri orang-orang kiri itu. Di sana, apa yang disebut education not for sale dan education for all benar-benar kita rasakan.

Ketiga, sarana belajar yang juga belum maju dan merata di semua wilayah. Kita masih menemukan ada sekolah yang sekat antar kelas pun hanya dibatasi oleh kain lusuh atau tripleks bekas, beratap bocor, berlantai tanah dan kenyataan-kenyataan menyedihkan lainnya. Apalagi di tengah situasi darurat pandemi seperti sekarang, segala-galanya didaringkan. Sementara tidak semua siswa memiliki handphone. Bahkan seorang ayah di Garut nekat mencuri, demi membelikan gawai untuk pembelajaran daring anaknya.

Keempat, tenaga honorer yang entah akan kemana nasibnya. Sedangkan di sekolah, mereka-mereka inilah yang seringkali malah dijadikan tenaga serba guna. Apa saja diserahkan padanya. Sementara upahnya ya begitu-begitu saja. Yang bahkan untuk menutupi operasionalnya ke sekolah pun tidak. Apatahlagi mencukupi kebutuhan hariannya. Rasanya, mengharapkan pembelajaran yang berkualitas dari situasi semacam ini adalah hal yang mustahil.

Kelima, merdeka dari iklim belajar yang dogmatis, kurikulum yang menara gading, dan tata kelola sekolah yang ‘memenjarakan’. Tanpa itu, ekosistem belajar kita tidak akan menarik, menantang dan menyenangkan. Sebagaimana pembelajaran yang dulu Ki Hajar bayangkan, ketika mendirikan Taman Siswa.

Selain lima hal itu tentu masih banyak lagi. Tapi, menurut saya pada lima hal itulah kita perlu mengalamatkan perhatian lebih. Saya percaya, melalui perbaikan di lima hal tersebut, wajah pendidikan kita akan lebih tampak humanis dan maju sebagaimana cita-cita pendidikan nasional.

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221