Desa, Pemuda, dan Ide-Ide Prematur

 

Pemuda dan desa merupakan dua hal yang saling membutuhkan. Dua unsur yang tak bisa dipisahkan, bak Naruto bagi Konoha dan Messi untuk Barcelona. Atawa Soekarno muda, Tan Malaka muda, serta pemuda lainnya bagi Indonesia di masa kolonialisme. Mereka membuktikan peran pemuda amat sentral dan dibutuhkan. Pemuda menjadi satu kekuatan utama bagi sebuah desa yang ingin bergerak maju. Sedang para pemuda, tidak bisa tidak, mesti mengerahkan segala daya miliknya untuk membangun desanya. Pemuda yang tak memiliki keinginan berkarya dan berbuat bagi desanya, mesti dipertanyakan sikapnya.

Desa-desa kita tak bisa dipenuhi oleh segerombolan pemuda apatis dan malas. Untuk mewujudkan Indonesia maju, desa-desa mesti melangkah terlebih dahulu – paling tidak, dalam hal pikiran. Pemerintah telah menjadikan pembangun desa, sebagai prioritas pembangunan nasional. Hal ini sesuai dengan pesan UU Nomor 6 tahun 2014, untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Caranya dengan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. Tak tanggung-tanggung, pemerintah mengguyurkan dana milyaran rupiah.

Hasilnya bisa kita lihat secara langsung, desa-desa di seluruh Indoneisa beradu cepat melakukan pembangunan – dan orang-orang berlomba menjadi kepala desa. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, terdapat kemajuan pembangunan desa sejak tahun 2014 sampai 2018. Pada tahun 2014 tercatat 20.432 desa tertinggal, dan sekitar 53.661 desa tidak tertinggal. Sedangkan pada tahun 2018, jumlah desa tertinggal menurun menjadi 13.232. Desa tak tertinggal secara otomatis mendaki angka 60.438. Meski tak seberapa, kemajuan ini harus disambut baik.

Waima secara statistik pembangunan desa meningkat, kita tidak bisa mengelak, berserakan informasi miring tentang penggunaan dana desa. Korupsi dana desa atawa pembangun-pembangun yang asal selesai, menjadi bahan perbincangan di teras-teras rumah. Pemerintah harus lebih serius lagi mengevaluasi pembangun desa. Apakah pembangunan yang dilakukan di desa-desa sejauh ini, sudah sesuai arah dan tepat sasarannya? Bukan sekadar duduk di balik meja menunggu laporan pertanggungjawaban, yang-maaf- rentan ditulisan dengan bahasa fiktif.

Pada titik inilah peran pemuda amat dibutuhkan. Ibarat sepak bola, kebijakan pembangunan nasional lewat desa, bak umpan cantik yang harus diteruskan jadi gol atau setidaknya menciptakan peluang gol. Selain sebagai agen sosial yang mengontrol kebijakan pemerintah desa, pemuda-pemuda kini harus berani mengambil peran sentral dan strategis dalam pembangunan desa.

Pemuda mesti keluar dari kamar-kamarnya yang pengap, dari kampus-kampus yang “mulai membosankan dan kaku”. Cobalah menghirup udara segar di kampung halaman sendiri. Mulai unjuk gigi bahwa para pemuda, apalagi jebolan kampus, adalah rahim ide-ide yang kreatif dan invoatif. Jika tidak, dana desa akan terus menjadi rebutan pikiran-pikiran materialistik yang bergentayangan di mana-mana.

Gerak-gerak pemuda paling tidak bisa memberikan warna baru bagi pembangun desa. Hal ini bisa dilakukan ketika pemuda dan pemerintah desa melakukan sinergi yang apik. Menjadi mitra pembangunan, sekaligus menjalankan mandat sosialnya, sebagai agent of control. Bukan malah berselingkuh dengan kekuasaan. Menjalin simbiosis mutualisme dengan penguasa, dan menjadi parasit bagi rakyat. Ngeri membayangkan jika pemuda desa yang diharapkan, justru berpikir picik, apatis, dan bermental korup. Tidak! Pemuda jangan melulu mewarisi mentalitas busuk seperti itu. Pemuda harus tetap menjadi pionir yang dalam jiwanya tertanam semangat altruisme.

Sejatinya, banyak pemuda-pemuda jebolan kampus dan organisasi yang memiliki gagasan inovatif. Tetapi karena tidak didasari totalitas dan loyalitas, ide-ide itu menguap. Terkadang gagasan tersebut juga gagal diterjemahkan ke dalam budaya masyarakat desa, sehingga ide-ide tersebut terkesan jauh dari masyarakat.

Di sisi lain, masyarakat biasanya kurang memberikan respon positif, terhadap ide-ide anak muda yang masih beraroma budaya kampus. Parahnya, banyak masyarakat yang menolak hal-hal baru. Komentar-komentar meledek biasanya muncul, “Kamu masih bau kencur”, atau “Saya lebih dulu makan garam dari kamu.” Kalimat-kalimat meruntuhkan semangat seperti ini, lambat laun mengikis semangat pemuda bergerak. Hal ini tak bisa dibiarkan. Sejak sekarang, masyarakat mesti belajar memberikan respon-respon positif, pada hal-hal baik yang dilakukan pemuda di sekitar mereka. Selama itu baik, kenapa tidak?

Hal lain yang mempengaruhi gerak pemuda adalah pandangan pemerintah terhadap mereka. Pemerintah selayaknya mengganggap pemuda sebagai mitra kerja pembangunan. Bukan dipandang sebagai benih-benih rumput liar yang membahayakan kursi kekuasaan. Perkumpulan-perkumpulan pemuda dianggap sebagai basis membangun massa dan politik. Kritik dan masukan pemuda dituduh mengancam.

Hal-hal seperit inilah yang menjadikan ide-ide pemuda lahir prematur. Tekanan-tekanan yang tak perlu dan umpan balik yang kurang baik dari masyarakat, serta pemerintah khususnya,  membuat pemuda lebih memilih mengurung diri dan membunuh ide-ide mereka.

Akan tetapi, seorang pemuda memang harus memiliki tekad baja. Mental yang tidak akan hancur hanya karena hal-hal kecil seperit itu. Pendidikan, kampus dan organisasi, seharusnya sudah mendidik kita menjadi lebih tangguh. Sehingga mampu bergerak keluar dari zona nyaman dan terus berkarya. Kita harus berupaya memaksimalkan potensi yang dimiliki. Dalam diri kita ada sesuatu yang bisa menjadi kendaraan, sebagaimana tutur Rhenald Kasali dalam buku Self Driving. Sesuatu itu telah menjelma menjadi kekuatan mencipta, berkarya, berprestasi, atau berkreasi. Kita menyebutnya sebagai gabungan antara kompetensi (what you can do), kecekatan (how agile you are), dan  perilaku (your attitude, your gesture).

Olehnya, pemuda mesti pandai mencari taktik dan strategi menerjemahkan ide-idenya, supaya tidak lahir prematur, diterima masyarakat, dan sesuai dengan kebudayaan masyarakat di desa. Pemuda harus siap hidup dan berenang di segala kondsi.


Sumber gambar:  www.ideapers.com/2018/03/pemuda-desa-teknologi-tepat-guna.html

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221