Gabbar, Machiavelli, dan Ketakutan

 

“Tuhan tidak melakukan segala sesuatunya sendiri. Dia meninggalkan beberapa hal untuk setan seperti kita.” – Gabbar

Mari kita membuka lembaran sejarah seperti memilin gadget, mencari status lucu dan viral. Jangan bicarakan Gisel di depanku. Aku juga seorang lelaki. Dan kau tahu bagaimana lelaki berjumpa cerita horor seperti itu bukan? Orang-orang telah mencerna urita Gisel, seperti memakan mi rebus yang didiamkan selama berjam-jam. Lagi pula, alam bawah sadar kita – mungkin sepenuhnya sadar, turut menerima itu sebagai informasi yang layak dinikmati sendiri atau beramai-ramai.

Di sisi lain, biarlah orang-orang menduga, kabar yang harusnya tabu sebagai pengalihan isu. Sengaja direkayasa, demi menutupi kebejatan lain yang tak kalah hinanya. Sayangnya, tak bisa dipungkiri, banyak dari kita mendadak jatuh cinta, membincangkan Gisel dan melupakan si perawan cantik dan sohib lelakinya – Covid-19 dan UU Ciptaker.

Nasib bangsa kian ironis, pasalnya berita-berita tak sedap seirama terus berdatangan di jagat maya. Bak lalat mengerubungi seonggok bangkai tikus di jalan. Ada perkara Habib dan Nikita. Romantis sekali lakunya. Disusul cerita memuakkan dari Kemensos, Juliari Batubara, yang mengangkangi bantuan sosial. Ia tak ubahnya menokok batu bara di samping tubuh ibu pertiwi yang jiwanya terbaring lelah, luka, dan koyak.

Rupanya, cumi-cumi macam begini, masih banyak bergentayangan menghantui bangsa kita. Bantuan-bantuan sosial pun berani diembat. Tak ayal, Gus Dur pernah mengusulkan membubarkan Kemensos. Ketika ditanya Andy F. Noya yang belum botak kala itu, alasannya sederhana saja. Gus Dur dengan santai mengatakan, Kemensos ibarat lumbung yang sudah dipenuhi tikus. Makanya, lumbung itu dibakar saja bersama tikus-tikusnya.

Akh.. setidaknya urita-urita tersebut, sama-sama telah kita nikmati. Sama-sama tertarik menjadikannya buah bibir, dan menerimanya sebagai takdir hidup negeri ini. Apatahlagi perkara korupsi, sudah akrab dengan telinga-telinga kita. Acap kali ada pejabat korup, kita mengutuknya sejenak. Lalu mengaminkannya, kemudian menerimanya dengan lapang dada sebelum tidur.

Mentalitas korup ini, boleh dikata warisan purba dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), meski sebenarnya perilaku ini lebih primitif lagi. Ya.. kira-kira warisan nenek moyang yang disebut Charles Darwin. Tetapi cukup VOC aja dulu yang kita jadikan biangnya. Perusahaan Belanda yang memonopoli perdagangan di Asia tersebut, riwayatnya tamat kisaran tahun 1799, disebabkan korupsi yang merajalela.

Mentalitas bajul ini lalu dikenakan pejabat rezim Orde Baru, rapi macam mengenakan setelan jas dan dasi. Jika ditilik, korupsi bagai keris empu Gandring, setiap berpindah tangan, bakal membawa petaka. Rezim Orba akhirnya ditumbangkan juga tahun 1998. Maraknya pejabat korupsi membuat orang-orang geram, lalu turun ke jalan meneriakkan reformasi. Kita menyangka api padam, puntung hanyut. Nyatanya puntung masih berasap. Lambat laun sebagian orang geram kala itu, menjelma garam yang menaburkan dirinya di atas luka-luka rakyat. Menjadi asin dan bermental asing. Bau pesing pula.

Korupsi bagi mereka sudah seperti mengkonsumsi pil ekstasi, yang nikmat hingga ektase. Dan, korupsi tak lagi menjadi sesuatu yang memalukan, menyakitkan, membangkitkan perasaan sedih saat melakukannya. Tetapi justru sebaliknya, menjadi perbuatan yang layak dibanggakan dan dianggap biasa saja. Maka saat itu juga, meminjam bahasa Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Sebuah Dunia yang Dilipat, masyarakat telah larut dalam kondisi ektasi, menuju suatu dimensi moralitas yang serba terbalik dan ekstrem.

Yasraf mendedahkan bahwa, “Dunia ekstasi adalah dunia yang diatur oleh hukum serba terbalik – yang amoral itu adalah yang membanggakan; yang ilusif itu adalah kebenaran; yang rahasia itu adalah selubung penutup. Kini orang-orang mencintai kemabukan, kepusingan, dan kegamangan ketimbang realitas. Di dalam dunia ekstasi orang dapat menceburkan diri sedalam-dalamnya ke dalam alam metamorfosa, menjadi homo animus – makhluk tanpa rasa  malu, penuh gelora nafsu.”

Ketika negara dan pejabatnya telah seedan itu, sosok Gabbar amat dibutuhkan. Akan kukirimkan surel melintasi gunung Himalaya, agar ia datang ke Indonesia sebagai seorang mesias. Sebagaimana pendakuannya di awal tulisan, di negeri di mana Tuhan tidak lagi ditakuti, Tuhan meninggalkan beberapa hal untuk setan sepertinya. Siapa Gabbar?

Gabbar adalah nama lain Profesor Aditya. Ia seorang dosen teknik di kampus ternama India. Gabbar membangun sindikat yang terorganisir, yang terdiri dari mahasiswa dan alumni kampusnya. Mahasiswa dan dosen bekerjasama dengan apik dan lantip, menegakkan idealisme yang mereka yakini. Jauh panggang dengan hubungan mahasiswa dan dosen di kampus-kampus kita. Banyak dosen malah mengutuk perbuatan mahasiswa. Melarangnya ikut aksi. Mencitptakan sistem yang menumpulkan pikiran kritis mereka. Menjejalinya dengan tugas, hingga mereka lupa bergiat di organisasi dan hanya membaca buku-buku pelajaran yang membosankan. Lucunya, satu dua orang dari mereka, pun serorang aktivis di masa lalu.

Kian tak ketemu, karena mahasiswa juga mengganggap dosen hanya guru di kelas. Bukan sumur-sumur pengetahuan yang mengandung air pengalaman dan kebijaksanaan. Mahasiswa jadi ngotot dan merasa pintar sendiri. Tidak perlu dinasihati ini dan itu. Eh.. turun aksi niatnya sekadar gaya-gayaan dan numpang narsis saja.

So, who is Gabbar? Bapak yang satu ini adalah sosok yang melakukan perbuatan seorang pahlawan, dengan nama seorang penjahat. Ia memberikan teror kepada para koruptor di India. Menciptakan ketakutan yang akut bagi pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namanya bahkan lebih ditakuti daripada Tuhan dan setan itu sendiri. Bahkan dalam satu sesi disampaikan, meski 50 mil jaraknya, orang yang menerima suap akan berkata, “Jangan mengambilnya, atau Gabbar akan muncul.”

Gabbar sepertinya membangun hubungan akrab dengan pikiran Niccolo Machiavelli. Ia mengadopsi petuah Machiavelli, yang menyatakan lebih baik ditakuti daripada dicintai. Ketakutan inilah yang diciptakan Gabbar dan sindikatnya. Mereka memberi rasa takut bagi para koruptor, dengan menyeleksi para jaharu di India. Menculik sepuluh orang pejabat paling korup, kemudian menggantung satu orang yang menempati urutan pertama. Aksi-aksi Gabbar selalu berjalan rapi dan elok. Gabbar dan Machiavelli, sama-sama menganggap perang sebagai sebuah seni. Serta menganut filosofi ketika diplomasi gagal, perang adalah perpanjangan dari politik. Gabbar, memerangi para koruptor dengan cara yang kita anggap biadab. Memangnya korupsi itu perilaku beradab? Entahlah!

Keunikan lain dari Gabbar, sebelum dan setelah melakukan aksinya, ia selalu mengirimkan pesan ke media atau kantor polisi. Sehingga rencananya diketahui khalayak. Ketakutan pun menyebar cepat bak api melahap Kantor Kejaksaan Agung Jakarta. Tampaknya, Gabbar juga mengamini petuah Hitler, “Barang siapa menguasai media, maka ia akan menguasai dunia.”

Alhasil, dua tiga kali Gabbar beraksi, India menjadi kacau. Para pejabat korup berbondong-bondong ke kantor polisi membawa bukti-bukti korupsinya sendiri. Mengaku sebagai pejabat paling korup agar mendapat perlindungan polisi. Lucunya, masih saja ada yang berani menyuap petugas, agar dicap sebagai pejabat paling korup. Para polisi pun enggan disuap, karena takut menjadi target Gabbar dan sindikatnya.

Sosok Gabbar tetiba lebih kusukai daripada bapak yang di atas. Gabbar, where are you? Pakai english-english dikit biar keren. Sekeren Setya Novanto dan segala kelucuan kasusnya, atawa seimut Juliari Batubara. Sayangnya, berharap sosok Gabbar mengada di negeri ini, seumpama mengidam durian di musim mangga. Sebab Gabbar hanyalah sosok rekaan film India yang kutonton tempo hari. Judulnya Gabbar is Back, yang diperankan Akshay Kumar. Film ini disutradarai oleh Krish dan diproduksi Sanjay Leela Bhansali tahun 2015.

Waima demikian, tetaplah berdoa. Doa yang tulus. Barangkali saja para koruptor di negeri kita tiba-tiba tobat. Mereka berbondong-bondong mendatangi tempat ibadah, memohon ampun dan bersedia dijebloskan ke penjara. Tetapi yang paling penting dan memungkinkan kita lakukan adalah, memutus lingkaran setan korupsi dari diri kita masing-masing. Tanamkan kejujuran. Semai keberanian dalam menegakkan kebenaran kepada generasi-generasi pelanjut. Meski teramat sulit mempertahankan kebenaran, sebab bisa ditarik, disembunyikan, dan dijatuhkan dari arah manapun. Tetapi, kebanaran yang benar-benar benar, tak akan kehilangan kebenarannya. Percayalah!

 

Gambar: Okezone.com

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221