Di Balik Bubarnya FPI

Front Pembela Islam (FPI) dideklarasikan pada 17 Agustus 1998, beberapa bulan setelah Orde Baru tumbang. Puncak kejayaan FPI ialah ketika berhasil memobilisasi lautan massa dalam aksi 212 pada 2 Desember 2016, menuntut dijatuhkannya hukuman kepada Gubernur Ahok atas sangkaan penistaan agama. Berkat aksi 212 itu pimpinan FPI, Muhammad Rizieq Shihab, diglorifikasi sedemikian rupa sebagai imam besar umat Islam Indonesia, bukan lagi sekadar imam besar FPI. Kendati tampak berpengaruh, namun entah kenapa Rizieq Shihab tak kunjung bertengger dalam daftar tokoh muslim berpengaruh di dunia yang saban tahun diumumkan The Royal Islamic Strategic Studies Centre yang berbasis di Yordania.

FPI dikenal sering bertindak selaku polisi moral jalanan: kerap mendatangi tempat maksiat lalu mengobrak-abriknya;juga menandangi warung yang buka siang hari bulan Ramadan lantas mengacak-acaknya. Tidak sedikit orang yang senang dengan aksi jalanan FPI itu dan menyebut FPI pahlawan pemberantas kemaksiatan. FPI dijuluki pula pahlawan pembasmi kesesatan setelah organisasi ini melancarkan aksi jalanan terhadap aliran non-mainstream semacam Ahmadiyah. Kendati dipahlawankan pengikut dan simpatisannya, perilaku brutal FPI dalam aksi-aksi jalanannya itu juga mengundang antipati yang tak kalah kerasnya seiring mulai speak up-nya kalangan Islam moderat yang sesungguhnya mayoritas namun selama ini diam (silent majority).

FPI bubar terutama bukan karena pemerintah punya nyali luar biasa menerbitkan SKB pelarangan kegiatan FPI, melainkan karena pada saat ini FPI tengah berada pada posisi paling lemah semenjak pertama kali ia didirikan 22 tahun silam. Secara teknis FPI lemah karena:(1) TNI-Polri solid satu sikap, (2) backing politik dan finansial FPI sukses dijinakkan, (3) FPI cukup terpojok oleh sentimen negatif publik atas pelanggaran protokol Covid-19, (4) FPI cenderung tiarap setelah enam pasukannya tewas ditembak, dan (5) pimpinan tertinggi FPI berada dalam tahanan setelah sebelumnya bertahun-tahun hidup dalam pengasingan.

Pasca-sukses aksi 212, FPI bak menjelma menjadi kekuatan raksasa dalam perpolitikan nasional. Hal demikian mendorong FPI kian percaya diri. Karenanya, mereka cenderung tak ambil pusing ketika bekas rekan koalisinya satu per satu menempuh jalan berbeda (karena banyak faktor). FPI juga tak punya lagi simpatisan rahasia ataukah aktor bermuka ganda di lingkungan istana. Menkopolhukam Mahfud MD—juga Wapres Ma’ruf Amin—sebenarnya bisa menjadi jembatan komunikasi FPI dengan pemerintah, namun tawaran dialog di tempat netral yang diajukan Mahfud MD malah dijawab FPI dengan permintaan syarat yang nyaris mustahil dipenuhi istana, misalnya pembebasan narapidana teroris tertentu.

FPI pada dasarnya bisa tetap aman andai kata mereka tetap menjaga kedekatan dengan Menhan Prabowo Subianto. Namun watak FPI yang revolusioner dan meledak-ledak tentu sulit berdamai dengan itu. Kekuatan politik Prabowo beserta Partai Gerindra sebagai penyokong strategis bagi FPI dalam beberapa tahun terakhir sudah barang tentu tak bakal tergantikan (dengan kemampuan setara) oleh kekuatan lain seperti katakanlah Keluarga Cendana ditambah PKS dan KAMI. Kontak belakang layar FPI dengan aktor strategis di tubuh TNI-Polri juga boleh dikata tak bertenaga lagi. Pos-pos penting di Kepolisian banyak diisi personel Polri yang pernah bertugas menangani terorisme. Artinya, secara ideologis mereka punya sentimen negatif yang keras terhadap kelompok Islam radikal. Adapun jabatan Panglima TNI diduduki jenderal Angkatan Udara. Kita tahu kalangan Angkatan Udara relatif bersih atau sangat minim persentuhannya dengan FPI.

Secara prinsipil FPI merupakan kelompok politik, yang dalam hal ini mengusung islamisme sebagai ideologi politiknya. FPI punya kemiripan dengan HTI yang juga merupakan kelompok politik, kendati keduanya berbeda gaya. Video ceramah, liputan aksi, dan pemberitaan mengenai FPI yang berseliweran di jagat maya lebih didominasi oleh isu-isu murni politik atau yang beraroma politik. FPI sendiri lahir dari dinamika kepentingan politik pasca-Orde Baru, besar melambung oleh aksi politik 212, dan akhirnya tamat dalam pertarungan politik yang gagal dimenangkannya. Terbitnya SKB larangan kegiatan FPI yang kelihatannya tiba-tiba, sepertinya digesa pula oleh pertimbangan momentum politik, yaitu adanya interval waktu yang cukup berjarak dengan momentum politik elektoral di tahun 2022 (kemungkinan Pilkada DKI Jakarta) dan tahun 2024 (Pemilu/Pilpres). Itu berarti di tahun 2020 ini FPI relatif sendirian, sedang tidak berada di tengah-tengah kawanan, sebab kekuatan politik biasanya baru merapat kepada FPI menjelang dan saat tahun politik.

Walau sarat terlibat dengan gerakan politik, juga dikenal gemar memersekusi, FPI punya wajah lain yang manusiawi sebagai pahlawan bencana. Di hampir setiap bencana alam di Tanah Air, pasukan FPI selalu hadir melakukan evakuasi dan membantu korban. Kisah kepahlawanan FPI yang paling dikenang ialah keterlibatan mereka dalam mengevakuasi korban Tsunami Aceh tahun 2004, dan semua pihak mengakui dan mengapresiasi hal itu. Oleh karenanya patut disyukuri bahwa sepanjang hayatnya setidak-tidaknya FPI pernah berbuat baik bagi bangsa, negara, dan kemanusiaan. Adapun limbah pekat yang ditinggalkannya semoga tak mencemari masa depan negeri ini.

 

Foto: https://jogja.tribunnews.com/2020/12/10/rizieq-shihab-tersangka-kerumunan-massa-di-petamburan-ini-daftar-tersangka-lain-dan-tanggapan-fpi

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221