Diri Baru di Tahun Baru

Tidak semua yang baru mesti dirayakan. Sebagiannya, justru harus disedihkan. Sebab, yang baru tidak berarti lebih baik dan lebih sempurna dari yang lama. Sementara objek perayaan adalah kebaikan dan kesempurnaan. Manusia waras mana yang merayakan hal baru yang tidak lebih baik dari yang lama.

Tahun baru berarti awal tahun. Dan itu, adalah cerita berlalunya akhir tahun. Akhir tahun adalah evaluasi sekaligus penilaian. Nilai diri di awal tahun ditentukan dari hasil evaluasi dan penilaian atas diri di akhir tahun. Ini persis dengan keluarnya manusia dari alam dunia, menuju alam akhirat. Awal akhirat ditentukan oleh akhir dunia; su’ul khotimah atau husnul khotimah.

Dengan ini, idealnya, akhir tahun dilalui dengan kontemplasi dan evaluasi diri. Dengan begitu, kita bisa menentukan, apakah tahun baru dirayakan atau disedihkan. Ukurannya adalah nilai diri.

Apa itu nilai diri? Dalam filsafat, diri (nafs) yakni jiwa. Jiwa manusia adalah jiwa pemikir (nafs an-nathiqoh). Jadi, nilai diri dilihat dari kualitas pikiran. Dan kualitas pikiran akan menentukan kualitas ideologi dan pandangan dunia. Dengan ini, kualitas jiwa (nilai diri) dilihat dari kualitas ideologi dan pandangan dunia yang diyakini.

Nilai diri tidak bisa ditentukan oleh corak raga. Raga adalah busana. Kata Sa’di, tubuh manusia mulia karena jiwanya. Pakaian yang indah ini bukan neraca kemanusiaan. Sekiranya mata, telinga, mulut dan hidung adalah neraca kemanusiaan, lantas apa bedanya lukisan manusia di dinding dengan manusia?

Busana baru kadang digunakan oleh orang yang sama. Anehnya, kadang seseorang lebih memilih berganti busana di saat kebusukan ideologi dan pandangan dunianya yang telah usang, mulai tercium (disadari) oleh publik.

Rasionalnya, diri usang yang buruk, diganti dengan diri baru yang lebih baik. Artinya, ideologi dan pandangan dunia yang telah usang dengan aroma busuk irasionalitas diganti dengan ideologi dan pandangan dunia yang baru dengan wangi rasionalitas.

Tapi, bagaimana hendak mengganti ideologi dan pandangan dunia, bila ia sendiri tak mencium aroma busuknya, dan menduga wewangian sebagai virus mematikan.

Bukankah mereka yang lama hidup dalam gelap akan menduga cahaya sebagai penyakit? Atau seperti yang disabdakan Nietzsche, burung yang besar dalam sangkar akan menduga terbang sebagai penyimpangan. Baginya, seruan terbang adalah bid’ah, dan kullu bid’ah dholalah, wa kullu dholalah finnar.

Menyedihkan. Tapi biarlah, itu urusan mereka. Urusan kita adalah menghindari kesalahan berpikir dengan tidak menilai buku dari kovernya. Dengan begitu, kita tetap mengenali mana cahaya mana kegelapan, mana kulit mana isi. Ambillah duri, bila diakhiri dengan an. Buanglah an, yang diawali dengan kotor.

Semua ini, tanpa mengurangi arti penting busana. Busana tetap memiliki nilai pada posisi-posisi yang telah disepakati. Adalah kesalahan, bila anda berbusana putih abu-abu di sekolah dasar. Atau, memodifikasi pakaian kepegawaian hingga lebih mirip busana Arab.

Jadi, kita tidak sedang menegasi urgensi busana pada tempatnya. Kita sekedar menegaskan bahwa nilai sesuatu terletak pada isi. Dan busana, bukan ukuran isi. Tahun baru, mesti diawali dengan meninjau ulang isi diri; yaitu ideologi dan pandangan dunia. Apalah artinya merayakan tahun baru, bila kita sekedar mengenakan jubah baru yang dibaliknya masih tersembunyi jiwa yang usang.

Mengakhiri ini, kita simak kisah berikut sebagai bahan renungan:

Dikisahkan, seorang pengecut bertemu dengan seorang pejuang. Kepada pejuang, pengecut meminta: “kumohon, berikan pakaianmu padaku, ingin kukenakan agar aku mendapat berkah dan menjadi pejuang seperti anda”.

Si pejuang menimpali: “wahai engkau, jawablah pertanyaanku, lalu kuberikan pakaianku”. “Bertanyalah”. Pinta si pengecut.

Si pejuang bertanya:”Dengan memakai pakaian ulama, apakah seorang preman akan jadi ulama?”

“Tentu tidak”. Jawab si pengecut.

“Dengan memakai pakaian preman, apakah seorang ulama akan jadi preman? ” Tanya pejuang lagi, dan dijawab pengecut dengan jawaban yang sama. “Tentu tidak”. Katanya.

Pejuang melanjutkan: “wahai engkau, ketahuilah, jangankan dengan memakai pakaianku, menguliti kulitku lalu menempelkannya ke tubuhmu pun tidak akan membuatmu menjadi pejuang sepertiku. Tahu kenapa? Karena pejuang bukan pada pakaian, tapi pada jiwa”.

Selamat tahun baru duhai jiwa-jiwa yang baru dengan pikiran-pikiran baru yang lebih rasional.


Sumber gambar: Google

  • “Betapa megah hidupmu kau bilang, dalam tidur semua akan hilang.” (Koes Plus) Tepat pada hari raya Idul Adha, bersetuju tanggal 12 September 2016, sekira pukul 21.15 wita, saya pulang kampung ke Bantaeng. Dari terminal Mallengkeri Makassar, dengan mobil langganan, menerobos malam, hingga tiba di mukim keluarga, seputar pukul 24.30. Sedianya, tidak selarut itu saya tiba,…

  • Sebenarnya masih banyak yang tak tahu, Agustus adalah bulan pertama Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar (KLPI Makassar). Kala itu, saat Bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya, di waktu itu pula kelas pertama KLPI dimulai. 17 Agustus 2015 adalah hari yang istimewa. Hari untuk kali pertama, kelas menulis Paradigma Institute digelar. Siapa yang menyangka, siapa pula yang…

  • Puisi, sebagai genre sastra, merupakan karangan yang tidak bisa sendirinya merujuk suatu makna dengan terang. Seperti yang diungkapkan Ignas Kleden dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, mengungkapkan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang berpotensi mengungkap dan menyembunyikan suatu makna. Bahkan, tulis  Ignas Kleden, kedua sifat itu bisa berlaku sekaligus. Misalkan saja kata “mawar” dalam sebait…

  • Malam baru saja merintis jalan abdinya, menuju kesuntukan, sekira pukul 21.30. Seorang kawan seprofesi, menelpon dan meminta waktu bicara sejenak. Saya pun menyilakannya, karena memang sudah ingin berkemas pula untuk balik ke mukim, dari tempat mengais nafkah. Sang kawan mulai bertutur, agak terbata-bata suaranya, berucap bahwa; “baru saja saya disambangi oleh seorang pengacara, yang menuntut…

  • Kali ini KLPI didominasi oleh mukamuka baru. Sebagian di antaranya sudah saling mengenal. Sebagiannya lagi malah baru pertama kali bertatap muka. Itu sebab, di dalam forum sebagian yang belum saling mengenal, agak canggung terlibat dalam obrolan yang menjadi percakapan. Percakapan, seperti biasanya, sering kali malah dimulai dari karya kawankawan yang dipresentasekan. Dari situ, kadang obrolan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221