Petani dan Subsidi Edukasi

“Solusi yang baik adalah sesegera mungkin bertindak, untuk hal-hal baik.”

Selimut keredupan malam telah tersingkap oleh fajar gemilang dari arah timur. Burung-burung berkicau seperti sedang kelaparan. Kokok ayam tetangga terdengar nyaring membelah keheningan pagi. Begitu pun dengan para petani, mempersiapkan diri sedari pagi sampai siang hari. Memberikan sumbangsih yang besar bagi negeri, kadang tak dimengerti perjuangannya oleh pemerintah.

Tak dapat dimungkiri, petani adalah jembatan kehidupan, saya dan Anda semua. Petani bukanlah profesi yang mensyaratkan latar pendidikan spesifik, laiknya dokter atau menteri pertanian, misalnya. Namun, jembatan tersebut sering kali dilalui truk-truk kontainer bermuatan janji-janji palsu dan berbagai kalimat inovasi yang hanya sekadar wacana. Sehingga keretakan pun terjadi dan menjadi keraguan, menghiasi kehidupan petani untuk melaluinya. Memang benar, segala persoalan bukanlah hal baru, sebab dari zaman penjajahan, masa kemerdekaan, orde baru, hingga kini. Petani masih dibayang-bayangi kecemasan, bahkan dihantui dengan perasaan insecure.

Perlahan-lahan petani menjerit, haknya direnggut oleh oknum tidak bertanggung jawab. Seolah-olah di desa ataupun di kota, kita kekurangan penguasa yang memikirkan nasib orang banyak. Meskipun begitu, kita punya penguasa dari tingkat atas hingga tingkat bawah. Yah, memang kita tidak kekurangan penguasa yang baik, akan tetapi kita kelebihan penguasa yang tidak peduli jeritan sosial.

Sangatlah tidak elok, bila penguasa mementingkan dirinya sendiri, itu sama halnya menodai dirinya. Sebab, kekuasaannya adalah amanah rakyat sebagai pelayan publik. Sementara itu, sedikit-banyaknya penguasa, memanfaatkan jabatannya sebagai peluang untuk memperkaya diri dan menganggap apa yang menjadi hak orang lain adalah haknya juga. Perbuatan yang sangat tidak pantas dicontoh, apalagi di-like.

Kiwari ini, kebingungan, ketakutan, dan kecemasan dipertontonkan petani, kepada siapa harus mengadu? Yah, ketakutannya melebihi film horor yang sering tayang di bioskop. Kenapa bisa takut? Takut tanamannya tidak tumbuh dengan normal, bisa saja berdampak kita semua mati kelaparan, kira-kira begitu. Pertumbuhannya tidak normal, karena tidak terawat atau kekurangan pupuk? Lebih tepatnya ketersediaan pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan lahan dan bervariasinya harga pupuk subsidi, yang tidak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Sebut saja mafia pupuk, telah memvariasikan harga agar terlihat seperti pelangi. Sehingga harga dan yang berhak mendapatkan pupuk subsidi, sebagaimana dalam Permentan Nomor 49 Tahun 2020, tidak lagi sesuai dengan aturan yang ada. Lantaran variasinya sudah seperti pasar malam, yang diterangi lampu berwarna-warni. Alias jatah yang  teragendakan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi, kadang dijual ke orang lain pada malam hari. Entahlah, menjual kepada yang tidak berhak, dengan harga lebih menguntungkan atau karena bija.

Siapakah yang terlibat dalam regulasi mendistribusikan pupuk subsidi? Tentu bukanlah saya. Tapi mereka yang sudah mengatakan, “siap laksanakan” seperti tentara selalu siap menerima perintah dari atasannya. Dan siapakah mafia pupuk yang dimaksud? Lagi-lagi bukan saya. Tentu mereka lagi, namun merekayasa perkataannya, “siap laksanakan” di hadapan atasannya. Begitu kira-kira, logika sederhananya.

Lalu, mengapa di beberapa kalangan mengatakan pupuk tidak langka, sementara di kalangan petani langka? yah, mereka yang mengatakan pupuk tidak langka, itu benar. Jika pertama, penyalurannya sesuai dengan mekanisme yang ada. Kedua, 30 Juli 2020 Mentan RI, Syahrul Yasin Limpo menyerahkan bantuan kepada petani di Bantaeng, sejumlah 13 miliar. Dan ketiga, adalah salah satu program unggulannya, bapak kosong satu Kabupaten Bantaeng saat ini. Sedangkan, kelangkaan pupuk subsidi di kalangan petani dipengaruhi dan diasut oleh tidak adanya edukasi kepada mereka terkait ketiga poin tersebut. Sehingga mafia pupuk pun, leluasa memainkan harga dan melakukan peralihan jatah ke orang lain yang tidak berdasarkan RDKK.

Kebutuhan petani paling mendasar menurut saya adalah “subsidi edukasi”. Mengapa? Hemat saya, jika lembaga pertanian mulai dari tingkat teratas hingga tingkat terbawah, mensosialisasikan mekanisme penyaluran pupuk subsidi. Karena tidak semua petani berhak mendapat pupuk subsidi, selain petani yang melakukan usaha tani subsektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan atau peternakan dengan luasan paling luas 2 hektare setiap musim tanam.

Jadi, istilah “subsidi edukasi” yang saya maksud adalah meningkatkan kemampuan petani memperoleh informasi dengan baik dan benar, serta meningkatkan nalar petani. Tentu adanya “subsidi edukasi” untuk petani, para mafia pupuk berpikir dua kali dalam mengambil tindakan yang akan merugikan petani.

Sebab, terkait fakta yang benar dan argumentasi yang logis, sangatlah diperlukan petani. Guna mengurangi thinking of error, yang acap pemerintah tak sadari. Sehingga tidak ada lagi istilah structure of organized lying, yang istilah ini telah saya uraikan dalam tulisan esai dan diterbitkan Kalalitersi.com berjudul “Petani dan Eksekusi Mati si Burik.” Selain istilah itu, jika tanpa edukasi akan menjadi salah satu faktor, terjadinya aksi-aksi sebagai bentuk ketidakadilan. Kan, bikin macet lagi jalan raya!

 Mengingat pekan lalu, 04 Maret 2021 depan Kantor Bupati Bantaeng. Aksi unjuk rasa jilid II yang dilakukan oleh Aliansi Anak Petani Bantaeng dengan grand issue, “Gema Pupuk dari Pelosok Desa, Bupati Kemana?” Saya sebagai koordinator lapangan pada saat itu, berharap pupuk tidak lagi langka dan mahal musim tanam kedua tahun 2021 dan seterusnya. Serta bantuan kementan 13 miliar tepat sasaran dan tepat guna.

Semestinya, kelangkaan pupuk bukan lagi hal yang mesti diperbincangkan dari hari ke hari, tahun ke tahun, kan horor. Saya yakin, persoalan tersebut sudah dibanjiri dengan berbagai solusi, baik dari pihak yang paling wajib memikirkan nasib petani, hingga yang dipikirkan turut memberikan solusi. Jadi, jika dibanjiri atau bahkan diguncang dengan berbagai solusi yang baik, sangat diperlukan tindakan sesegera mungkin. Sebelum semuanya tenggelam.


Sumber gambar: siksakampus.com/nguphil/terus-melawan-jangan-berharap-pada-sarjana-pertanian/

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221