Generasi Salin Tempel

Di zaman digitalisasi, teknologi makin pesat, interaksi manusia makin dekat, pengetahuan makin cepat. Di masa ini, generasi milenial punya ruang literasi lebih luas ketimbang generasi sebelumnya.

Di masa ini pula, media sosial semakin beragam, sekotahnya menawarkan suguhan informasi, pengetahuan. Tak jarang membuat kita kaget, bingung, oleh kemunculan berita sensasional, asing dan berani, tak jarang pula, kita menjadi agen penyebaran berita yang senyatanya kita sendiri tidak mengetahui makna di balik berita tersebut.

Bila kita menelisik lebih dalam, apakah kita pernah membatin, mengapa dan bagaimana berita itu di muncul di tengah-tengah publik, sejauh mana dampak berita tersebut mempengaruhi suasana batin kita. Mungkinkah dampak media sosial membawa kebaikan atau sebaliknya?

Menurut teori analisi wacana kritis (Critical discourse analysisi/CDA) yang diambil dari tulisan A.van Dijk, Fairclough, dan Wodak di dalam buku Analisis wacana karangan Eriyanto. membabarkan, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu, menyelidiki bagaimana melalui gagasan, tulisan, kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.

Lebih lanjut, CDA dapat dibedah dari empat karakteristik. Pertama, tindakan. Pemahaman semacam ini – wacana bukanlah semata-mata orang berbicara atau munulis di luar kendali, namun, di balik itu ada maksud atau tujuan tertentu, apakah untuk memengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi dan sebagainya. Kedua, konteks. Titik tolak dari analisis wacana ini, gagasan atau tulisan tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme linguistik semata, namun, gagasan atau tulisan di sini dipahami dalam konteks keseluruhan, misalnya, partisipan wacana, aktor yang memproduksi wacana, jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dan lainnya.

Ketiga, kekuasaan. Di sini gagasan atau tulisan muncul tidak dipandang sesuatu yang alamiah, wajar dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan, seperti kekuasaan laki-laki (seksisme), kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam (rasisme) atau kekuasaan pengusaha terhadap bawahannya (buruh), dan sebagainya. Keempat, historis. Menempatkan wacana tidak terlepas dengan konteks sosial di zamannya, misalnya, isu penentangan mahasiswa terhadap Soeharto. Pemahaman tersebut hanya bisa dimaknai bila memahami nilai historis dimana teks itu diciptakan.

Kelima, Ideologi. Teks atau percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi, menurutnya ideologi di sini sangat dipengaruhi oleh kelompok dominan, tujuan utamanya ialah membuat kesadaran khalayak, bahwa dominasi itu diterimah secara taken for granted, misalnya ideologi kapilitalis, sosialis, feminis dan lainnya.

Jika kita perhadapkan dengan teori analisis wacana dengan fenomena kekinian, tentulah relevan, sebab, saat ini geliat informasi di media sosial sangat memengaruhi eksistensi pemikiran individu maupun sosial, misalnya saja, kecenderungan khalayak menyakini kebenaran berita melalui gawainya, tanpa menimbang takaran kebenarannya, ditambah lagi, keinginannya agar orang lain menyakini kebenaran tersebut dengan menyalin tempel dan menyebarluaskan.

Kalau saja, kita ingin menganalisa dengan menggunakan alat analisis wacana, tentu, kata atau tulisan dapat di kategorisasikan menjadi tiga karakter, kebenaran, kebohongan dan faktual. Menurut paham Positivistik, kebenaran objek informasi mesti ditelusuri secara empirik, sehingga, khalayak mendapat informasi seimbang. Beda halnya dengan paham kritis, menganggap tulisan bukanlah cermin realitas, sebab, objek tulisan dibentuk oleh hasil rekayasa pikiran sang penulis.

Fenomena lain yang bisa kita temukan, tulisan, kata, berita atau informasi di media sosial, diyakini sebagai satu-satunya sember ilmu (kebenaran). Dampaknya, munculnya kaum ilmuan instan, guru instan, agamawan instan dan instan-instan lainya. Menurut  Antonio gramcy, scholar asal Italia, dalam teori hegemoninya, tulisan mengandung kekuasaan untuk menundukan kelompok subordinat, oleh karena itu, perlu usaha kelompok dominan untuk menyebarkan kebenarannya agar diterima tanpa ada perlawanan.

Fenomena lain menurut saya, sebagian khalayak menjadikan media sosial representasi dunia nyata, seliweran berita, tulisan bernada hoaks, caca maki dan kebencian muda ditemukan di kehidupan media sosial, bila menggunakan metode analisis wacana, maka, kesimpulanya akan melahirkan adagium, “Kebohongan yang diulang-ulang akan berubah menjadi kebenaran”.

Untuk terhindar dari kesalahan berpikir akibat menafsirkan sebuah tulisan, maka, penting dilakukan representasi. Istilah representasi itu sendiri menunjukan bagaimana seseorang, kelompok, tulisan, gagasan, atau pendapat ditampilkan dalam pemberitaan. Hal ini penting diulik, sebab, pertama, apakah seseorang, kelompok, gagasan atau tulisan, ditampilkan sebagaimana adanya atau justru diburukkan

Kedua, pentingnya representasi, agar khalayak mengetahui gagasan atau tulisan ditampilkan dengan aksentuasi dan bantuan foto, gagasan atau tulisan macam apa yang ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. Misalnya, ketika ada peristiwa pemboman di depan gereja, bagaimana peristiwa ini ditampilkan, menurut John Fiske, saat menampilkan objek peristiwa setidaknya ada tiga proses yang dihadapi oleh penulis.

Pertama, peristiwa yang ditandakan (encode),  maksudnya ialah, mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai realitas, misalanya adanya suara bom, pernyataaan dari saksi di lapangan atau informasi dari pihak kepolisian. Kedua, bagaimana realitas itu digambarkan melalui kata, kalimat dan proposisi atau melalui gambar dan musik. Sedangkang ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis.

Dari semua fonemena di zaman digitalisasi saat ini, seyogianya, kita tidak latah menyakapi informasi yang bersileweran di media social dengan mengunakan alat analisis wacana, mungkin bisa menjadi solusi bagi kita agar terhindr dari kesalapahaman dan tidak terbawa arus globalisasi yang menyesatkan .

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221