Membebaskan Perempuan dari Jeruji Stigma

Surat Kartini kepada Dr. Adriani (24 September 1902)

Benarkah gerangan bahwa perempuan itu baru sempurna rasa sanubarinya, baru sempurna berkembang, hanya jika ia sudah kawin?

Karena kemuliaan perempuan yang semurninya dan seindahnya adalah menjadi ibu? Tetapi mestilah perempuan beranak dahulu, maka baru boleh menjadi ibu menurut arti perkataan itu yang seharusnya, yakni makhluk yang semata-mata berhati kasih dan tahu berkorban?

Bila benar demikian, betapa rendahnya pendapatan dunia mengatakan, bahwa sebagian darah daging sendiri sajalah yang dapat dikasihi, serta dengan mengorbankan dan menyerahkan diri segenapnya! Alangkah banyak ibu, yang namanya saja “ibu” hanya karena mereka ada melahirkan anak ke dunia ini, tetapi lain daripada itu tiada patut memakai nama ibu itu. Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan segala cinta yang ada dalam hatinya, dengan segala asyik yang ada padanya, perempuan itu “ibu”lah dalam hati sanubarinya.

Bagi kami lebih tinggi ibu yang jadi ibu karena hati sanubarinya itu daripada yang jadi ibu karena badannya.

Harapan dan doa kami dengan sangat, bila di kemudian hari boleh kiranya cita-cita kami berwujud, kami mengajar di dalam sekolah, anak-anak kami janganlah hanya menyebutkan kami “ibu” di mulut saja, melainkan juga dihati.

Pernah, saya jumpai seorang ibu dengan gelar sarjana, berkeinginan melanjutkan studi ke jenjang S2, malang puatang, sang suami menghendaki sebaliknya, “Fokus mengasuh buah hati saja, tidak ada pekerjaan lebih mulia, tinimbang menjadi seorang ibunda.” timpal sang suami.

Sekali dua, telinga saya dipaksa berhadapan dengan kalimah “Salah sendiri, punya aurat tak dijaga, kucing lapar disodori ikan, siapa yang tak tergugah?” Para penyintas kekerasan seksual itu seolah belum cukup disiksa dengan segunung trauma di kepala.

Ada pula perempuan berujung ditalak suami, karena dianggap terlalu mandiri, lantaran punya prinsip dan pikiran sendiri.

Di sisi lain, ada yang sedang nyaman meniti karir dan belum siap membuka hati, namun terpaksa menerima pinangan orang asing, karena takut dicap “terlalu pemilih” di usia yang konon sudah harus menyandang status sebagai istri.

Pun dapat kita temui, seorang istri beruntung, berpasang suami yang mafhum akan hak-hak perempuan, namun masih harus rela jadi bahan olokan, bulan-bulanan media, lantaran kabarnya menentang fitrah. Keputusan untuk tidak memiliki anak sepanjang hidup, menjadi sebab musababnya. Istilah modern yang belakangan sedang populer-populernya: Childfree.

Adalah Gita Savitri Devi, lebih akrab disapa Gitasav, seorang konten kreator muda, pemengaruh media sosial, penulis buku, dan menyelesaikan S1 di Freie Universitat, Berlin, Jerman. Kemampuan public speaking yang mumpuni, membuatnya tertarik untuk secara aktif dan kritis, mengupas isu-isu global di channel youtubenya.

Betapa menarik, mendapati animo masyarakat gegap gempita, menjejal menggurui: salah, menentang kodrat, egois, sesat, hina, dan pelbagai maklumat hingga membawa-bawa dalil yang ditafsirkan sekenanya, asal menguntungkan opininya.

Media-media tanah air pun tidak tinggal diam. Sigap dan piawai mengambil peran. Sebagian memilih menampilkan sudut pandang secara objektif dan mengedukasi, sebagian yang lain memilih tunduk pada selera pasar. Secara tidak langsung ikut mencecar keputusan perempuan 29 tahun tersebut.

Menjadi berbeda di tengah masyarakat konvensional merupakan hal yang melelahkan. Jiwa dan raga. Menginginkan sesuatu sedikit di luar jalur saja, sudah dicap salah. Tidak cukup sampai di situ, perempuan dipaksa terbiasa menerima penghakiman dari dunia sosial, karena berusaha melawan dan membentur tembok konstruksi tradisi masyarakat.

Perempuan mesti dandan, harus lemah lembut, tidak boleh bersuara lantang, harus bisa lebih mengorbankan diri untuk keluarga, perempuan harus menikah, harus di usia muda, nanti expired! Perempuan mesti melahirkan dan mengurus keluarga, perempuan harus jadi istri dan harus jadi ibu!

Mitos-mitos keharusan tadi yang agaknya sedikit banyak memantik ragam komentar kontra, terhadap keputusan Gitasav, masyarakat patriarkal acap kali beranggapan, memiliki rahim senantiasa berbanding lurus dengan keharusan memfungsikan rahim tersebut, mitos keharusan berlanjut ketika si puan memiliki anak, cara mendidik, bagaimana si anak tumbuh, mengasuh, dan pemberian pendidikan kepada anak pun akan turut dibebankan kepada perempuan sebagai keharusan dalam perannya menjadi ibu. Belum lagi keharusan-keharusan di ranah domestik yang tidak kalah mutlaknya.

Konotasi perempuan dari masa ke masa berkutat pada pemaknaan harus ini, mesti ini dan mesti itu.

Jadi, ketika mereka bertemu situasi, di mana perempuan secara sadar dan tahu akan hak-haknya sebagai manusia utuh, yang juga boleh punya pilihan, dan memperjuangkan pilihan tersebut, mereka refleks terheran-heran.

Menukil pemikiran Kalis Mardiasih, seorang Esais dan Aktivis perempuan, “Perempuan adalah subjek dengan kesadaran yang boleh melakukan aktivitas yang baik dan bermanfaat. Fitrah perempuan dapat menalar semua peristiwa dengan pengetahuan yang ia miliki. Fitrah perempuan memberikan pendapat dengan bertanggung jawab dalam diskusi yang setara dengan siapa pun.”

Dengan menyadari hal tersebut, maka menjadi urgensi bagi masyarakat, untuk berhenti mengamini stereotip, yang konsisten memperlakukan perempuan tak ubahnya makhluk liyan, subordinat, mesti dibimbing, diarahkan, dan tidak punya kapasitas kewarasan yang cukup memadai untuk mengambil sebuah keputusan.

Tengara yang menimpa Gitasav ini, mengindikasikan betapa sulitnya perempuan, bahkan untuk sekadar mengambil keputusan yang bahkan merupakan otoritasnya sepenuhnya. Sebuah ironi yang semakin menerangkan, mengapa hingga abad yang sarat kemajuan ini, masih banyak perempuan yang menjawab “tidak tahu” jika ditanya menginginkan apa dalam hidup. Kalau pun punya jawaban pasti, kemungkinan besar keinginan tersebut dilakukan untuk orang lain, misal suami/anak/orang tua/ dan lain-lain.

Mari mengiakan, betapa banyak puan yang menggadaikan bakat, potensi dan cita-cita, hanya karena kisut dengan respon orang-orang sekitar. Betapa banyak jati diri yang harus dikubur dalam-dalam, mendustai kehendak pribadi, yang muaranya lagi-lagi mengorbankan kenyamanan sendiri.

“Dulu, ketika membaca alasan childfree, adalah soal ketahanan pangan hingga perubahan iklim yang mengakibatkan bumi jadi ruang yang makin tidak aman, saya versi remaja yang tahu bahwa saya menginginkan anak di masa depan, berseru dalam hati: Iya ya. Jadi PR nya gimana caranya mewariskan bumi yang lebih baik, jika kita ingin menambah populasi. Ketika mendengar basis childfree adalah karena subjek secara sadar mengaku tak siap mental untuk membesarkanseorang anak, saya yang sampai hari ini menginginkan anak pun seperti diingatkan: bagaimana mempersiapkan diri menjadi orang tua yang sehat mental lahir batin dan berkomitmen pada tiap anak yang terlahir di dunia?” tutur Kalis Mardiasih masih seputar childfree.

“Terima kasih, pemikiran perempuan childfree menjadi cermin bagi saya untuk berhati-hati dan lebih berkomitmen pada anak yang telah kami hadirkan ke dunia.”

“Awal nikah mulai ke psikiater, didiagnosa bipolar. Itu ternyata dari keturunan. Jadi mikirngapain aku menurunkan ini ke anakku nanti?’” netizen lain ikut menimpali positif.

Jadi, mengapa kita harus berebut salah dan benar, ketika kita punya pilihan untuk berdiskusi dan berefleksi ke arah yang lebih bahagia?

Misal, bagaimana agar perempuan yang merencanakan kehamilan bisa sehat mental? Bagaimana menghadirkan akses kesehatan reproduksi yang terjangkau dan akses konseling yang aman dan murah? Bagaimana mengusahakan pembagian kerja adil gender setelah kelahiran anak?

Keluarga Indonesia rasa-rasanya sangat perlu memahami konsep boundaries, yakni batas atau ruang antara diri sendiri dengan orang lain. Konsep yang telah dipopulerkan oleh penulis swadaya dan kelompok pendukung sejak pertengahan 1980-an ini, nyaris tidak pernah diajarkan di lingkup keluarga Indonesia, sama tabunya dengan mengenalkan pendidikan seks sejak dini. Padahal, dua entitas pola pikir ini merupakan hal vital dan esensial dalam pembentukan identitas diri.

Manusia, termasuk perempuan, merupakan makhluk kompleks. Setiap tindakan lahir dari alasan-alasan yang didasari pertimbangan-pertimbangan internal dan bersifat privasi. Pun jauh dari ranah dan otoritas eksternal, bahkan untuk sekadar mengomentari, tanpa consent atawa persetujuan yang bersangkutan, apalagi sampai menghakimi. Boundary.

Pasangan yang memilih childfree, mungkin saja merupakan korban dari orang tua yang tidak siap punya anak, entah itu secara mental, finansial atau aspek lain. Perempuan yang memilih untuk tidak menikah barangkali merupakan pribadi yang tidak suka ditemani, menyukai kesendirian, atau beberapa kemungkinan lain. Penting dipahami, bahwa dari sekian banyak kemungkinan tersebut, tidak satu pun diantaranya, tersimpan pembenaran untuk mendikte standar bahagia orang lain.

Kehidupan pribadi seorang individu, termasuk hubungannya dengan Tuhan adalah otoritas masing-masing, yang seharusnya kedap campur tangan siapa pun, sepanjang tidak mengganggu supremasi dan hak individu lain. Sementara hubungan kemanusiaan adalah urusan bersama, sebab melibatkan hubungan kesalingan antara satu dengan yang lain. Olehnya, mari mulai membangun relasi sosial yang sehat, utamanya bagi perempuan, dengan menghormati batasan-batasan internal masing pribadi. Boundary.

Dengan begitu, tidak ada lagi stigma dangkal yang menyalahkan korban pelecehan dari pakaian yang dikenakan. Orang-orang perlu memandang keberagaman cara berbusana sebagai bagian dari pengekspresian diri, dan berhenti memandang perempuan sebagai objek yang berusaha “memamerkan” sesuatu.

Perempuan tidak lagi merasa perlu, berulang kali menjabarkan alasan dari ketetapan yang diambil sebagai pertanggungjawaban atas masa depannya sendiri. Tidak lagi perlu, berulang kali meyakinkan, bahwa ia sadar dan berdaya atas dirinya sendiri.

Mari belajar menempatkan perempuan sebagai subjek aktif yang berdaya dan mampu berbuat, memutuskan secara sadar, dan bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dan risiko dari keputusan tersebut, bukan semata objek pasif, yang menunggu diperlakukan sekehendak pihak tertentu.

Dengan menyadari ini, maka sewajarnya, perempuan tidak lagi berhutang penjelasan apa pun, kepada siapa pun.

“Saya lajang. Saya memilih tidak menikah. Saya bahagia.”

“Saya menikah. Saya memilih tidak melahirkan anak. Saya bahagia.”

“Saya perempuan, istri dan ibu. Saya memilih menikah dan melahirkan anak. Saya bahagia.” Tubuhmu. Otoritasmu.Tubuhku. Otoritasku.

  • Ada banyak persoalan rumit dalam hidup ini. Satu di antaranya adalah ketika kita dituntut berpikir sebelum berbuat, di saat yang sama, keinginan memaksa segera melakukan tindakan. Kerumitan-kerumitan ini, kadang membuat sebagian orang tak berdaya olehnya. Saya misalnya, untuk mengikat ide dalam tulisan ini saja, bukan main rumitnya. Saya mesti bolak-balik buku, mengganti bacaan satu dengan…

  • Telah sampai di suatu subuh Lotengloteng dibuat bergetar Tergeletak sudah sebujur tubuh ditinggal lili tak sempat mekar Sudah tiba dikau dibuat hari yang naas sembari jadi siasia, jangan! ini mimpi yang belum tuntas separuh sepotongnya telah tiba, di bulan Jalan lenggang, pagar rumahrumah kokoh dari seikat bambu Telah lama hilang desir suara di bibir loteng…

  • Pada akhirnya, orang-orang akan mencari muasalnya, tempat segalanya bermula. Kau akan ke kampung halaman, ke pohon mangga dekat rumahmu, atau mungkin ke rumah perempuan yang pernah kau perkosa. Sebab di sana ada sehimpun masa silam, suatu ruang-waktu di mana takdir menulis sejarahmu, menciptakanmu. Dan kau akan ke mana-mana, tapi juga tak akan kemana- mana. Sebab,…

  • Perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tenteram,  Sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah —Hadis Nabi— Apa yang menarik dari hidup? Bahwa di sana ada setumpuk masalah dengan berbagai macam bentuknya. Dengan berbagai wajahnya yang datang pada manusia tanpa jeda. Tanpa titik akhir jelas. Ia tak sedikit menghadirkan keresahan yang sangat. Sepertinya hidup adalah…

  • Ternyata, bukan hanya saya yang was-was. Tapi Daeng Noro’ dan Daeng Gaga’ juga demikian, bahkan lebih dari itu, amat cemas dan gelisah. Apatah lagi Daeng Gaga’—sebenarnya ini nama gelaran saja atas kondisinya yang gagap ketika berbicara—gagapnya makin menjadi-jadi, kalimat-kalimatnya menyembur putus-putus, sulit ia sambungkan bicaranya, nanti dipukul pundaknya, baru bisa nyambung lagi. Pasalnya, setelah dua…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221