Rumah Boleh Hancur, Masa Depan Jangan

Dahan-dahan tampak berseri-seri, bau bunga bermekaran cantik-cantiknya, diselingi semarak lagu 21-Guns karya Green Day.

“Your faith on broken glass, and the hangover doesn’t pass, nothing ever built to last, you’re in ruins.”

Aku termenung di meja makan. Semilir angin menggoyahkan setiap ranting perasaanku. Sepasang mataku bernaung pada hasrat yang mencabik-cabik, terisak-isak, dan mencumbu segala kenanganku. Dulu keluargaku selalu hangat dan puas dalam perbincangan, menguap segala gurau, kini tertegun parau, sebelum larut tangisan yang sia-sia ini.

Aura meja makan membuatku merasa sulit menghembuskan napas. Seperti jerit yang meminta tolong. Kulihat seenggok daging ikan seperti diriku, itu membuatku jadi sedih. Aku tidak pernah melihat ikan menangis, tapi ikan pasti memiliki empati.

Seperti kerumunan semut-semut harmonis, terbaluti keringat simpati, mencium makanan siapa saja, dan penuh ambisi, penuh kegembiraan, tanpa khawatir, bahwa salah satu dari kerumunannya mungkin terasingkan. Suatu pemandangan yang membuatku kagum. Hingga aku tak bisa melakukan apa-apa.

Aku ingin menghancurkan sesuatu sampai hingar-bingar, sampai hatiku selaras dengan pemberontakan. Tapi apakah dengan melampiaskan sesuatu dapat meredakan perih? Tidak ada yang abadi hingga waktu mengikisnya secara perlahan, sekalipun keluargaku.

Bagaimana lagi caraku jatuh cinta?

Sedangkan sosok cinta pertamaku mematahkan hatiku karena prerpisahan.

Lapar akan kasih sayang, dan haus akan kepedulian.

. . .

Apakah kau pernah merapikan meja makan? Apakah kau pernah merapikan diri sendiri? Berteman dengan sepi dan sunyi, yang menemani bersama waktu-waktu luang. Suasana dan ekspresi telah redup. Seiring waktu, pupus hingga hancur.

Muak?

Mari rayakan patah hati bersama. Dengan bersedih, kita lebih memahami dinamika perasaan. Apa salahnya menikmati patah hati dan penderitaan? Mengubah duka itu menjadi sebuah karya, banyak penulis membaluti lukanya dengan menata huruf yang berserakan, hingga tersusun rapi.

Mari merapikan diri sendiri, seperti merapikan meja makan. Jika piring terjatuh hingga pecah, perasaan jadi sedih sekaligus kaget. Kalau begitu, rapikan lagi yang pecah itu. Kalaupun yang hancur diperbaiki kembali, pasti tidak seperti dulu lagi, tapi cukup sampai situ. Mentalmu jangan.

Mengapa terlalu lama tersedu-sedu oleh keterpurukan. Bangkit dan tunjukkan. Rumah boleh hancur, masa depan jangan! Lelaki gondrong pernah berkata. Ciptakanlah sejarah dalam hidupmu, jangan hanya batu nisanmu saja, dicerita kelak nanti.

Keterpurukan bukanlah sebuah tindihan di atas kuasa trauma, yang mengalami ini bukanlah makhluk lemah, hingga harus menghabiskan waktu dengan mengeluh terus-menerus. Warna-warni kehidupan pasti masih memihak. Sehabis hujan biasa ada pelangi, jika tidak ada, tersenyumlah dengan ikhlas. Maka hidup terasa berwarna bagai pelangi.

Aku yakin. Mereka menyetujui komitmen untuk jadi pasangan, tanpa satu pun niat untuk berpisah. Mereka hanya mengalah oleh keadaan, hingga mengingkari sebuah ikrar dan sumpah atas nama cinta. Kebencian menghancurkannya, tapi aku sendiri adalah bukti dari balutan kasih sayangnya.

Rocky Gerung berkata, “Pernah” adalah kata yang paling sempurna. Ia melampaui “sudah” dan menjadikannya “masih”, meski mereka sudah berpisah, pernah berseteru, tapi masih saling memikirkan. Begitu pun dengan anak, kalaupun juga berpisah, dia masih menyayangimu. Sebagaimana pernahnya.

Anak broken home selalu mencari tahu. Bagaimana menerima suatu problem, tanpa harus membenci drama kehidupan. Kadang dilakukanlah pengasingan diri, mencari cahaya dari sisi kelam dunia. Suatu tanda tanya besar bagi anak untuk mencari hikmahnya. Hikmah apa yang didapat oleh perpisahan orang tua? Beberapa hal sulit untuk dipahami.

Setiap anak ingin merasa ketenangan, tanpa harus merasakan secuil kebimbangan. Tertekan dengan pilihan. Pembenaran mana yang mau dibenarkan, semua hebat dalam ceritanya sendiri. Disuruh memilih mau ikut mana? Hingga anak menjalani hidupnya dengan bergonta-ganti topeng! Musuhkah kalian?

Tapi jangan risau, kuatkan saja tekad, jadikan sabar sebagai penolong. Jalani sebagaimana mestinya. Jangan tambah memperburuk keadaan, peluk diri sendiri. Semua ada hikmahnya. Hikmah yang bisa dipetik adalah jangan melakukan perpisahan itu suatu hari nanti, jika telah berkeluaarga.

Tidak mudah menjalani takdir ini. Sekalipun senyum anak broken home lebih lebar, jangan katakan bahwa dia telah bahagia. Senyum bisa jadi taktik melepaskan diri dari keadaan yang sulit, sekalipun senyum itu palsu.

Dalam buku Broken Home ≠ Broken Dreams, karangan Chatreen Moko, mengatakan, “Masalah telah membuat mereka menjadi pribadi yang dewasa, yang selalu berpikir positif. Mereka telah membuktikan kalau menjadi anak broken home tidak berpengaruh pada masa depan mereka. Kamu juga pasti bisa, jangan pernah menyerah. Percayalah, segala sesuatu yang diawali dengan niat hasilnya akan bagus.”

Untuk terbiasa dengan situasi ini, ada peluang dalam bentuk harapan dan doa. Hingga pada akhirnya jarak yang terukur oleh waktu, suasana menjadi bersahabat, dan akhirnya sudah terbiasa. Berdamai dengan diri sendiri memang butuh waktu.

Takdir penuh dengan kejutan, ya? Padat dengan pilihan. Pengalaman hidup dan problem solving melebur jadi satu. Memicu pola pikir, emosi, dan mental. Mengolah sebuah kisah untuk dijadikan motivasi. Hey, everything’s gonna be fine.

Ekspektasi kadang berbeda dengan realita. Tapi ada Konsep sederhana menjalani hidup, bukan menentang problem itu habis-habisan, tapi bagaimana mencoba menerima perbedaan. Aku menerima kenyataan bahwa emosiku tidaklah cukup untuk membendung luka yang kualami. Tapi aku tidak bisa merasakan bahagia jika belum memahami penderitaan. Itulah perbedaan, meski tidak dikelola. Perbedaan mutlak terjadi.

Kau bisa berkata aku adalah anak broken home, karena benar adanya. Itu sama sekali tidak membuatku iri kepadamu apalagi dengki. Toh, aku bukan satu-satunya yang mengalami. Meski kadang lelah, apalagi menangis. Wajar-wajar saja jika manusia sepertiku mengeluh. “Sebab hatiku bukan kayu, melainkan langit yang maha luas. Namun harus kau tahu, langit pun pernah menangis.” Kata Panji Ramdana.

Mari kita rayakan sakit hati ini sekali lagi, dengan cara saksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Perbedaan di atas dunia jangan dihapuskan. Broken home berhak bahagia, dan broken home bukan alasan untuk menghancurkan cita-cita. Semangat!

  • Untuk sementara, pemberitaan dan diskursus yang paling lengkap tentang Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang melibatkan seorang persona, yang penuh pesona dan amat memesona publik, Marwah Daud Ibrahim, tatkala stasiun TV One, menggelar acara Indonesia Lawers Club (ILC), yang dipunggawai jurnalis senior, Karni Ilyas. Sejak acara ILC digelar bertahun yang lalu, acara yang tayang 3…

  • Reruntuhan Peradaban Ketika sore begitu terasa lama, dan rintik hujan turun begitu pelan Terpantul warna-warna yang indah penuh kehangatan Aku sejenak terdiam Namun segera kupandangi bayanganku Aku makin yakin ini saatnya untuk bergegas Di tepian rerutuhan peradaban kudapati bangunan yang tua Di dalamnya terpancar kehangatan yang sedih sedu-sedan Mungkin tak ada yang peduli Tapi papan…

  • Dua pekan belakangan, catatan KLPI absen dari yang selama ini dilakukan. Sesungguhnya banyak yang bisa diceritakan, tapi apa daya jika dua pekan sebelumnya, saya sebagai penyuguh catatan ini berhalangan terlibat. Padahal, jika ketua kelas punya lain kesibukan, harapannya peran ini bisa digantikan oleh kawankawan. Namun itu tidak terjadi, walaupun pernah sekali Muhajir mengambil peran yang…

  • Siapa menyangka, cikal bakal mal di Indonesia ditandai dengan menggunakan nama dari seorang perempuan bernama Sarinah? Begitulah, gedung perbelanjaan yang berdiri di jalan Thamrin Jakarta Pusat itu, diberi nama oleh Soekarno untuk mengenang ibu pengasuh di masa kecilnya. Siapa pula menduga, Sarinah yang resmi dibuka 15 Agustus 1966, adalah pusat perbelanjaan yang kala itu, dibangun…

  • Sekali waktu, saya menghadiri sebuah persamuhan para mantan aktifis, kaum muda mahasiswa tahun 90an, yang mengklaim diri sebagai generasi yang mewujudkan reformasi tahun 1998. Salah seorangnya angkat bicara, lalu menyatakan bahwa generasi 80an, atawa kaum muda-mahasiswa angkatan 80an adalah generasi yang tak bernama. Disimpulkannya, bahwa angkatan 90an yang mencetak perubahan. Sejumput kesimpulan yang membuat beberapa…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221