Menyarut? Tak Mengapa

“Bermaulid atas Sang Nabi, sebentuk cara melawan para penistanya. Waima hanya telur warna-warni sebagai persembahan, itu juga semacam tanda cinta. Maulid Nabi, sebagai alamat cinta yang pasti. Sekaligus penghalau sekotah pembencinya.” (Maksim Daeng Litere, 011120-021120- 031120)

Tak elok saya sebutkan namanya, demi laku bijak. Pun inisialnya, lebih buruk lagi, sebab menimbulkan sak wasangka. Definitnya, ia seorang penganjur kebaikan dan pengawal ilmu. Serupa dai dan sekaligus guru. Sosok yang telaten mengisi mimbar Jumat dan majelis ilmu lainnya. Seorang yang selalu menyata di ruang-ruang kelas sekolah.

Sekali waktu, saya sua untuk ke sekian kali. Ia berkeluh kesah. Mengeluhkan keadaan dan mengesahkan pengurus negeri. Seolah ia berkhutbah pada saya, bahwa pengurus negeri, dari hari ke hari semakin mengkhwatirkan umat. Khususnya, berkaitan dengan keberpihakan pada kejayaan Islam.

Disodoknya menteri agama. Ia menukas, sang menteri terlalu gegabah mengutak-atik apa yang sudah lazim. Contoh paling dini, menyarut hari libur nasional, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Semestinya hari Selasa, 19 Oktober 2021, tapi digeser ke Rabu. Baginya, ini bagian dari mengaburkan semangat keberislaman. Sebelumnya, serupa terjadi saat peringatan tahun baru Islam, 1 Muharram 1443 H.

Sederet kasus lain, pun ia uarkan. Terutama peristiwa-peristiwa yang sempat viral, tak memihak pada Islam. Saya hanya terdiam. Lalu ia minta tanggapan, bagaimana pendapat saya? Limbung juga rasanya ditanya. Bukan karena tak punya jawaban, melaiankan mulai dari mana menjawab dan menjelaskan di hadapan sosok i-literasi, amat rendah literasi informasi digitalnya?

***

Tepat di hari peringatan Maulid Nabi, selepas tunaikan salat Isa, mendapat kiriman sebentuk paket dari kerabat. Satu ember berisi aneka penganan. Produk tradisional dan modern. Nasi putih, songkolo, ayam goreng, telur warna-warni, mie goreng, udang tumis, bandeng presto, apel, dan biskuit, serta cemilan. Bayangkan sendiri, bagaimana besarnya ember tersebut.

Saya terkenang pada kenangan penganan itu. Dulu, sewaktu masih cilik, tatkala Abba saya aktif keliling kampung, menandangi sudut-sudut negeri, mengayomi peringatan maulid, biasanya, selalu ada paket yang dikirim ke mukim kami. Apatah lagi kalau ada serumpun keluarga melaksanakan maulid, pastilah kami dapat bagian paket besar. Namanya: Baku Karaeng.  

Baku sejenis wadah yang terbuat dari daun lontar. Karaeng, berarti raja. Jadi, maksud dari Baku Karaeng itu, wadah buat raja, tepatnya dalam makna kiasan, wadah paling besar. Sebab, ada pula baku yang lebih kecil. Nah, di dalam Baku Karaeng ini, berisi songkolo dan satu ekor ayam kampung. Selain itu ada male, sejenis telur atau kue warna-warni ditancapkan pada songkolo. Istilah secara umum terhadap paket itu: Songkolo Maudu.

Membandingkan antara satu ember kiriman kerabat dan baku karaeng, jelas ada pergeseran. Bergeser wadah dan isi, tapi substansinya sama: maudu. Maulid atau maudu, bentuk-bentuk persembahannya, senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Sangat tergantung pada apa wadah paling praktis yang populer di masyarakat. Ada proses menyarut bentuk, agar tidak menyulitkan pencinta Nabi.

***

Rabu, 20 Oktober 2021, masjid dekat mukim saya, juga melaksanakan maulid. Tahun lalu tidak ada, sebab pandemi Covid-19 merajai negeri. Kiwari, seiring dengan melemahnya serbuan pagebluk, anak-anak negeri sudah mulai mencicil segala kebiasaan yang tertunda, meskipun dilengkapi dengan syarat-syarat protokol kesehatan.

Peringatan maulid kali ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Cukup sederhana pelaksanaannya. Hanya ceramah maulid bakda Magrib sampai Isa. Padahal, sebelumnya super meriah. Penyelenggaraannya dua model: tradisional dan modern.

Jelang siang, sekelompok masyarakat dan jemaah masjid, melakukan maulid dengan cara membaca kitab Barazanji disertai ritus-ritus pengiringnya. Inilah yang disebut maulid ala tradisi. Malamnya, cara modern. Ceramah maulid dan Shalawat Badar. Namun, ada kesamaannya, unsur songkolo dan male selalu ada. Sebab, kedua penganan ini merupakan pemikat bagi sekaum cilik dan ngalep berkah bagi orang dewasa.

Sebagai akibat dari masa adaptasi dalam berkumpul, pengurus masjid menyesuaikan acara peringatan. Sesederhana mungkin. Terpenting, terlaksananya peringatan maulid. Cermah maulid dari Magrib hingga Isa, sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Apalagi, masih ada penganan dalam bentuk snack. Sekali lagi terjadi pergeseran cara bermaulid. Nampak jelas proses kreatif. Pengurus masjid menyarut tata cara dan acara peringatan maulid.

***

Sajian tiga kasus menyarut peringatan maulid, tak perlu dipersoalkan. Apatah lagi dikaitkan dengan unsur-unsur pelemahan Islam, seperti jalan pikiran seorang dai sekaligus guru tersebut di atas. Seharusnya, ia tampil sebagai pendakwah, bukan pendakwa. Mendakwahkan semangat mencintai Nabi dengan menimbang situasi negeri. Bukannya mendakwa pengurus negeri, selaku aktor pelemah Islam.

Bukankah pengurus negeri telah menerangkan maksud dari menyarut peringatan maulid? Saya kutipkan saja, agar benderang duduk perkaranya. Wapres RI, KH. Ma’ruf Amin, dilansir oleh Antara (17/10/2021),mengatakan, “Kami menggeser itu untuk menghindari orang memanfaatkan hari kejepit itu, sehingga orang keterusan (liburan). Oleh Karena itu, kami coba (menggeser) itu, walaupun memang (kasus COVID-19) sudah rendah, tapi tetap kita antisipatif.”

Namun, saya tetap memaklumi kondisi pendakwah yang berubah jadi pendakwa itu. Ia terlalu banyak menyantap kabar viral yang sepotong-sepotong. Ia suka sekali memakan hoax (berita bohong), menenggak fake news (urita palsu). Akibatnya, ia mencret dengan hate speech (ujar kebencian). Jika tiga komponen tersebut telah menerungku diri, maka sakit jiwa pun menyata. Mampu mengubah pendakwah menjadi pendakwa.

Tidak sedikit ayat suci Al-Quran dan sabda Nabi yang meminta agar jangan diterungku oleh hoax, fake news, dan hate speech. Artinya, membebaskan diri ketiga penyokong sakit jiwa itu, merupakan perbuatan nyata mencintai Nabi. Sedangkan mencurigai tata cara  dan acara maulid Nabi, juga perbuatan tak elok. Artikulasi maulid boleh menyarut, tapi api cinta pada Nabi tak pernah surut.

Ilustrasi: pinterest.com

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221