In Happiness

There is no happiness. Happiness is the way (Buddha)

Tersebutlah seorang penggurutu, Eric Weiner. Ia berkeliling dunia mencari kebahagiaan. Persisnya, negara paling membahagiakan. Sederet negara dikunjunginya. Setiap negara ternyata warganya berbeda cara mengekspresikan kebahagiaannya. Weiner mencatat, Belanda = angka, Swiss = Kebosanan, Bhutan = Kebijakan, Qatar = Menang lotre, Islandia = Kegagalan, Moldova = Berada di tempat lain, Thailand = Tidak berpikir, Britania Raya = Karya yang sedang berlangsung, India = Kontradiksi, dan Amerika = Rumah.

Catatan Wiener dapat dieja pada buku, The Geography of Bliss. Buku ini dianggap aneh, mulai dari penulisannya, sebagai campuran tulisan perjalanan, psikologi, sains, dan humor. Pun, mengunjungi tempat-tempat aneh dan bertemu orang-orang aneh. Namun, batasan buku ini menegaskan, tidak ditulis untuk mencari makna kebahagiaan, tapi di mana.

Saya pun membatin, ketika batasan tersebut tidak mengulas makna, berarti dimensinya bukan dalam diri, melainkan luar diri. Penegasan kata di mana, sudah cukup memadai buat mengalamatkan ruang luar. Menegaskan jalan menuju bahagia, bukan kebahagian adalah jalan. Bahagia dulu, lalu berjalan.

***

Belakangan ini, saya banyak menempuh perjalanan. Meninggalkan mukim di kota Makassar, yang pengurus negerinya menabalkan sebagai menuju kota dunia. Saya sering menyata di daerah tak jelas status ke-kota-annya: Bantaeng. Baik sendiri maupun secara bersama.

Pada setiap perjalanan, saya selalu berbekal maksim dari Paul Theroux, seorang penulis perjalanan dan novelis Amerika. “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukan perjalananku.” Kalimat sakti dari Theroux, melapangkan arena kedirian, mengalami bersama. Berjalan bersama menunjukkan gatra luar diri, sedangkan pengalaman pribadi menyimpaikan matra dalam diri.

Paling kiwari, saya bersama beberapa kawan, menyata di tiga sekolah berbasis kejuruan. Melakukan workshop tentang literasi dan inovasi. Kami bersama, punya pengalaman bersama, mengalami momen kebersamaan selama empat hari. Banyak tulisan,foto, dan video mengawetkannya. Amat ekspresif rekaman-rekaman itu. Tidak sedikit tawa ditawarkan. Pun sesekali ada senyum mengulum. Tawa tanda kesenangan, senyum alamat bahagia. Tertawa berarti menampakkan faset luar diri, tersenyum bermakna mewujudkan aspek dalam diri.

***

Penabalan diri sebagai persona senang dan bahagia, selalu saya tuturkan setiap kali melibatkan diri dalam acara pelatihan atau workshop dengan sekotah peserta. Termasuk tatkala berhadapan dengan sekaum guru selama empat hari di sekolah kejuruan itu. Saya datang mencari di mana kebahagiaan ala Weiner. Namun, terselubung agenda pribadi, menemukan makna kebahagiaan.

Sejak memasuki halaman sekolah, saya sudah melihat tanda-tanda orang senang. Paling tidak, sederet mobil dengan aneka merek, model, dan warna. Harus diakui, bagi sebagian orang, mobil bukan sekadar sarana transportasi, tapi bagian dari cara menyenangkan diri. Buktinya? Saya melihat, setiap guru yang turun dari mobilnya, riang gembira penampakannya. Itu baru satu contoh. Saya pun ikut senang, menyaksikan guru senang. Apatah lagi, jikalau menyenangkan bagi siswa.

Bahagia pun mulai menghidu saya. Apa passala? Pasalnya saya sua dengan beberapa sahabat lama. Kawan dulu di sekolah, entah itu di SD, SMP, SMA, dan PT. Maklum saja, jenjang persekolahan saya, semuanya saya tamatkan di Bantaeng. Setelahnya kuliah di IKIP Ujung Pandang. Akumulasi perkawanan tersebut, betul-betul membahagiakan saya saat jumpa kembali. Semacam reuni terbatas, mengenang masa-masa ketika ada masalah, kami gadaikan. Masalah diselesaikan tanpa masalah.

***

Bagi saya, guru adalah sosok paling mudah senang dan bahagia. Cukup menegakkan perintah kurikulum, mempraktikkannya dengan dukungan seabrek fasilitas pembelajaran, maka sang guru akan disenangi oleh siswa. Jadilah pengajar. Menjadi guru menyenangkan dan disenangi oleh siswa. Imbalannya? Biaya hidup tercukupi. Karena hidup itu murah, biayanya saja yang mahal.

Ketika guru ingin bahagia, menjadilah guru inspirasi. Jadilah pendidik. Tiada yang lebih membahagiakan bagi seorang siswa, manakala gurunya menjadi teladan inpirasinya. Siswa bahagia, sebab guru memantik kebahagiaan. Siapa memantik kebahagiaan, maka bahagianya berlipat ganda. Sesungguhnya, puncak kebahagiaan itu memasukkan rasa bahagia pada orang lain. Hanya guru bahagia yang bisa memantik kebahagiaan pada siswanya.

Sudahkah saya menemukan di mana dan makna kebahagiaan itu? Kala saya bersenang-senang dengan setengah lusin kawan pengiring dan sekaum guru, sudah cukup bukti untuk menandaskan jawaban atas tanya di mana kebahagiaan. Dan, selagi menubuhkan diri di acara workshop, saya merasakan begitu banyak makna hidup buat berbahagia. Saya merasa seperti makhluk spiritual yang punya pengalaman menjadi manusia.

***

Pascasua dengan sekaum guru, saya pulang ke mukim. Melata kembali di kota yang digadang sebagai kota yang bergegas menuju kota dunia. Pada jeda di kedirian, saya berselancar di media sosial. Tertumbuklah saya pada akun seorang sahabat, Syahril Syam, seorang penulis dan motivator. Ia mengunggah kata-kata bijak, “Bahagia itu bukan karena mendapatkan sesuatu. Karena jika tidak mendapatkannya akan melahirkan kekecewaan, bahkan penderitaan. Bukan juga karena berhasil mendapatkan sesuatu, karena sesuatu itu akan selalu ada titik jenuhnya.”

Ditegaskannya, “Bahagia adalah tentang menaikkan level kesadaran; menaikkan level motivasi; menaikkan level jiwa; terjadi proses pemberdayaan diri atau proses menjadi (being). Sehingga ketika diri ini terus terjadi being, maka walaupun terdapat rintangan dan hambatan hidup, walaupun belum berhasil atau telah berhasil meraih sesuatu, hati senantiasa termotivasi dan merasakan kebahagiaan. Karena bukankah bahagia itu di dalam diri, sehingga dirilah yang mesti diberdayakan (being) agar merasakan kebahagiaan.”

Teringatlah saya pada 31 meditasi terakhir dari Anthony  De Mello, sosok pastor Jesuit, dalam bukunya, The Way to Love, yang membagi dua jenis perasaan sebagai penanda derita atau bahagia. Ingatlah perasaan Anda ketika ada orang memuji, disetujui, diterima, dan disanjung. Bandingkan dengan perasaan saat memandang matahari terbit atau terbenam, menonton film, dan membaca buku yang sepenuhnya Anda nikmati. Perasaan pertama berasal dari luar, pemujaan diri, dan promosi diri. Itulah perasaan duniawi. Sementara perasaan kedua, merupakan pemenuhan diri, sebentuk perasaan jiwa. Perasaan duniawi mengantarkan kesenangan, tapi bisa jadi derita ketika hilang. Perasaan jiwa, menuntun kebahagiaan lalu membenamkan diri pada yang alami. Ah, sepertinya sangat elok kalau saya kunci saja dengan sabda Budha,”Tidak ada kebahagiaan. Kebahagiaan adalah jalan. There is no happiness. Happiness is the way.”

Ilustrasi: rokigambar.blogspot.com

  • Hari ini saya punya janji untuk mengikuti kelas literasi. Mau tidak mau saya harus ikut, soalnya sudah diingatkan oleh kanda Bahrul Amsal melalui lini masa FB. Apalagi beberapa hari sebelumnya saya sudah janjian dengan Aii Avicenna, kawan saya yang juga kebelet ingin ikut. Maka, siang ini saya bersiapsiap lebih awal, sembari menunggu jemputan Aii. Kelas…

  • Selamat malam. Besok pertemuan kedua kelas literasi Paradigma Institute. Kali ini kita akan kedatangan seorang yang sedikit banyak dibesarkan dan membesarkan Paradigma Institute sampai sekarang. Alhamdulillah kanda Syafi bersedia datang membagi pengalaman dan ilmunya besok sore sekira pukul 15.00. Beliau sampai hari ini masih bergiat dengan tradisi literasi dan pengembangan keilmuan bagi anakanak muda. Bahkan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221