Hantu Itu Bernama Demokrasi 

Hidup di alam demokrasi seyogianya membawa suasana alam kebahagian dan keteduhan batin, nyatanya harapan itu jauh panggang dari api. Makian, hujatan, dan black campaign, sekotahnya menyembur di ruang telinga, mata dan hati saya. 

Puncak perhelatan pilkades di mukim saya, Kabupaten Jeneponto sisa menghitung hari, kurang lebih dua pekan ke depan. Para calon kepala desa dan pendukungnya makin intens bergerak mempengaruhi hati warga. Warga pun menyambutnya dengan terang-terangan mendukung, namun, tak sedikit pula diam-diam menolak ajakan untuk mendukung. Pesta pun menjadi riuh, pigura-pigura para calon kepala desa terpajang jelas di sudut-sudut desa.

Sebagai warga desa yang baik, saya sudah punya pilihan sadar menentukan siapa calon yang bakal saya pinang, namun, di balik higar bingar pesta demokrasi desa, saya tidak menemukan sari pesona demokrasi, sebagaimana terlukis  pada teori-teori demokrasi  di buku-buku bacaan. Bukankah politik itu memanusiakan manusia? sebagaimana ajaran  guru bangsa, Abdurrahman Wahid (Gusdur), bukankan politik jalan pengabdian masyarakat? Ataukah memang benar, politik itu kotor, manipulatif, anarkis, dsb

Paradoks politik betul-betul menyata di desa. Kedamaian dan keteduhan batin yang menghidu semesta desa, tiba-tiba direnggut oleh pesta demokrasi, bak hantu di siang bolong. Saling menyapa sesama warga tetiba menjadi tabu, saling menyindir menjadi kebiasaan baru, saling mencurigai  menjadi watak. Akhirnya, pesta demokarasi yang seyogianya riang gembira, berubah menjadi pesta kegaduhan. Di kalangan sesama famili pun terjadi friksi, silaturahim tidak sehangat dulu, sesama saudara, sepupu, ipar, dan ponakan saling cipir, saling hujat, saling merendahkan harga diri, seakan menjadi tradisi baru di kalangan keluarga. 

Semenjak menyatanya hantu demokrasi, semesta desa menjadi seram, menyeruak pelbagai kegaduan, hubungan famili menjadi renggang, ironisnya karena perbedaan pilihan politik, seorang buruh tani mesti rela sawah garapannya diambil paksa oleh si pemilik tanah. Di sela-sela waktu saya sering membatin, akankah hantu demokrasi itu menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal desa? Atau, memang benar, hantu demokrasi telah mengalahkan nilai yang sudah lama tertanam di sanubari masyarakat desa. 

Siri na pacce, sipakatau, sipakainga, sipakalakbirik menjadi prinsip dan nilai-nilai luhur dalam menapaki hidup dan kehidupan, sekaligus menjadi norma hubungan antar sesama insan, namun, realitasnya nilai-nilai luhur itu menjadi pudar akibat hadirnya hantu demokrasi. Selain hantu demokrasi mereduksi local wisdom, perilaku aktor politik pula menambah ruyamnya demokratisasi desa, dengan melakukan kampanye hitam (Black campain), politik uang (money politik) dan segala macam intimidasi. Pertanyaan selanjutnya, apakah boleh melakukan hal seperti itu? Adakah badan pengawas, yang tugasnya mengawasi jalannya demokratisasi desa? Pertayaan-pertayaan itu hingga sekarang masih gamang, seakan tidak ada yang mau bertanggung jawab. 

Cikal bakal demokrasi langsung definitnya berasal dari desa, di desalah dilahirkan para pemimpin melalui proses demokrasi, apatalagi saat ini, dengan Undang-Undang Desa Tahun 2015, pemerintah telah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Faktanya demokratisasi di desa seakan terjun bebas dan ugal-ugalan. Bukankah penduduk indonesia lebih banyak bermukim di desa? Bagaimana jadinya, bila proses pemilihan desa saja, sudah mengunakaan cara-cara tidak elegan, maka, wajar bila fakta menunjukan banyak kepala desa mesti berhadapan dengan persoalan hukum. 

Demokrasi desa ibarat benang kusut yang hendak diurai, siapakah paling bertanggung jawab  dari semua kemelut di desa, masyarakatkah? Kepala desakah? atau pemerintah? Menurut hemat saya, pangkal persoalannya terletak pada kurangnya pengetahuan tentang literasi politik  di khalayak desa, kemudian diperparah lagi oleh aktor-aktor politik dengan tidak memberikan teladan yang baik ke masyarakat. Mereka masih doyan melakukan praktek jual beli suara (transaksional) ke masyarakat, menjadikan segalanya menjadi instan, ironisnya lagi masyarakat menyambut baik praktek tersebut, jika  masyarakat menolak, maka, segala macam intimidasi akan dilakukan oleh sang aktor politik, agar tujuannya tercapai, pada akhirnya masyarakatlah menjadi korban alih-alih menjadi tumbal politik . 

Jika perbalahan desa ini masih terus terjadi, maka, menurut Yudi Latif, kelak demokrasi di desa akan mengalami krisis legitimasi dan efesiensi. Lebih lanjut, Yudi Latif mendakukan, krisis legitimasi bisa diliat dari banyak hal, seperti indekspersepsi korupsi (IPK) tetap tinggi, partisipasi publik di dalam pemilihan cenderung rendah dan kepercayaan publik menurun. Adapun krisis efesiensi bisa dilihat dari produk regulasi yang dihasilkan terlalu sedikit dan politik hanya menjadi sarana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Jika hantu demokrasi ini terus bergayutan dan kuatir akan menjadi momok laten di desa, maka pemerintah mesti segera bergerak, setidaknya memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat desa, bila dibiarkan berlarut-larut, maka jangan salahkan, jika masyarakat desa menyelesaikan dengan caranya sendiri.

  • Hari ini saya punya janji untuk mengikuti kelas literasi. Mau tidak mau saya harus ikut, soalnya sudah diingatkan oleh kanda Bahrul Amsal melalui lini masa FB. Apalagi beberapa hari sebelumnya saya sudah janjian dengan Aii Avicenna, kawan saya yang juga kebelet ingin ikut. Maka, siang ini saya bersiapsiap lebih awal, sembari menunggu jemputan Aii. Kelas…

  • Selamat malam. Besok pertemuan kedua kelas literasi Paradigma Institute. Kali ini kita akan kedatangan seorang yang sedikit banyak dibesarkan dan membesarkan Paradigma Institute sampai sekarang. Alhamdulillah kanda Syafi bersedia datang membagi pengalaman dan ilmunya besok sore sekira pukul 15.00. Beliau sampai hari ini masih bergiat dengan tradisi literasi dan pengembangan keilmuan bagi anakanak muda. Bahkan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221