Novia dan Darurat Kekerasan Seksual

Kemarin, 4 desember 2021, media sosial–belakangan media massa juga–diramaikan oleh kisah seorang gadis bernama Novia Widyasari Rahayu. Tagar #SaveNoviaWidyasari dan #JusticeForNovia meluber di laman media sosial kita. Novia adalah seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah kampus ternama di Kota Malang. Ia adalah korban dari seorang polisi bernama Randy Hari Bagus Sasongko, yang dikabarkan putra dari pejabat DPRD di kotanya.

Tragisnya, gadis itu mengakhiri hidupnya di atas pusara ayahnya. Gadis itu memilih, ahh rasanya kata ‘memilih’ ini seolah-olah pelaku tak bersalah. Kata ‘terpaksa’ jauh lebih tepat. Bahkan mungkin juga bukan terpaksa, tapi ‘dipaksa’ mengakhiri hidupnya.

Siapa pun yang membaca kisahnya, hatinya pasti akan terluka dan marah. Mungkin di dasar hatinya juga akan mengatakan ‘gadis itu bukan bunuh diri, tapi dibunuh’.

Gadis itu dirundung kesedihan dan duka yang bertubi-tubi. Kisahnya begitu pilu dan getir. Mungkin kita pun tak sanggup bila berada di situasinya. Membaca kisahnya saja rasanya sangat menyayat hati (baca kisahnya di akun quora, Aulia Dinarmara Putri Rahayu).

Gadis itu adalah korban dari kekasih yang brengsek, calon mertua yang bajingan, paman yang egois dan penegak hukum yang bobrok. Bagaimana tidak, kekasih dan orang tuanya tak mau bertanggungjawab, ia malah dipaksa untuk aborsi. Sialnya, gadis itu sudah pernah melaporkannya ke kepolisian, tapi ditampik dan tidak ditindaklanjuti. Barangkali korbannya mesti meninggal dulu dan viral lalu kemudian ditindaklanjuti.

Ya, beban gadis itu sungguh berat, dan ia melalui-menghadapinya sendirian, ia sakit, hancur dan menjerit. Beruntung ada ibunya, menguatkannya sesekali. Sehingga beberapa kali rencana bunuh dirinya ia urungkan. Tapi pada akhirnya ibunya pun tak kuasa menahannya. Ia wafat setelah berusaha dan berjuang untuk bertahan. Tapi ia tak sanggup lagi.

Sungguh bajingan orang-orang itu, belum genap 100 hari ayahnya meninggal, ia harus dipaksa lagi untuk kehilangan, kali ini janinnya, si calon buah hati yang amat dicintainya, namanya pun telah ia persiapkan–Aulia Dinarmara Putri Rahayu. nama yang manis.

Kini Novia telah pergi. Pergi bersama cita-citanya. Di akunnya ia menceritakan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Ia punya pengalaman pahit tentang sekolah. Dulu, ia melihat teman-temannya yang tidak mampu membayar SPP dikeluarkan dari kelas. Ia juga melihat teman-temannya yang agak bandel dan kurang pintar di mata pelajaran tertentu dipermalukan dan dihukum.

Pengalaman itu sangat melukai hatinya. Sejak saat itulah ia mulai merawat cita-citanya menjadi seorang guru–guru yang humanis.

Kini ia telah pergi, dan kisahnya menjadi pelajaran berharga bagi banyak orang. Ia telah menjadi guru–guru dalam arti yang sesungguhnya. Semoga jalannya terang dan lapang.


Kisah Novia ibarat gundukan gunung es di samudra. Di bawah gundukan itu, masih ada banyak kasus lain yang belum terungkap. Memang berat menjadi korban, karena itu ada banyak yang tak sanggup melewatinya, atau setidaknya berani speak up.

Betul bahwa ada yang mampu melewatinya, tapi tidak jarang pula yang tak sanggup, mereka terpaksa mundur dan berjatuhan, Novia adalah salahsatunya.

Sekalipun ada yang sanggup melewatinya, ia pasti akan berhadapan dengan barisan masyarakat yang sok moralis, yang akan menghakiminya sebagai perempuan tak benar, perempuan murahan, perempuan gampangan dan semacamnya. Anak yang lahir kelak pun akan mendapat hujatan dan celaan yang sama. Duh Tuhan sebrengsek inikah hidup.

Novia mungkin bukan yang pertama. Tapi kalau kita tidak serius bertindak, bisa jadi Novia juga bukan yang terakhir. Akan selalu ada Novia selanjutnya.

Ini adalah momentum untuk berbenah. Secara kultural masyarakat kita memang mesti dididik. Agar lebih menghargai tubuh dan menghargai siapa pun. Juga agar lebih ramah dan empatik terhadap korban. Pameo yang menyebut ‘jaga anak perempuanmu’, mungkin sudah waktunya untuk direvisi menjadi ‘didik anak lelakimu’. Atau lebih maju lagi, agar tidak bias gender, mungkin lebih tepat menyebut ‘jaga dan didiklah anak-anakmu’.

Secara legal-struktural ini juga adalah momentum. Momentum menggalang dukungan untuk menuntut negara. Negara tidak boleh diam. Kita menuntut, jangan hanya menindak pelakunya saja, tapi negara juga mesti berbenah. Bereskan infrastruktur dan sistem negara ini agar tak ada lagi korban. Sekalipun ada, setiap korban bisa dengan mudah dan aman untuk mengakses bantuan dan perlindungan.

Kita harus berterusterang, negara kita memang darurat kekerasan seksual. Karena darurat itulah, maka dibutuhkan tindakan extraordinary, perlu langkah cepat dan serius. Pengesahan RUU PKS adalah salahsatu dari beberapa solusinya. Haruskah kita nabung kasus dan jumlah korban dulu lalu kemudian disahkan ? sudah cukup. Sahkan segera !

Rest in power, Novia.

Ilustrasi: dnaindia.com

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221