Empati untuk Kebaikan Baru

Bagaimana kita mengenang lembaran peristiwa? Lalu mengenalkannya kepada generasi berikutnya? Bagaimana pula agar ia mengabadi, tak lapuk karena hujan, tak lekang oleh panas? Jika kita hidup ribuan tahun lalu, jawabannya mungkin sudah temukan di kekinian. Sayangnya, batok kepala manusia bukanlah dinding gua yang bisa dipahat dan dicorat-coret semau-maunya. Pikiran bukanlah tangan yang bisa digenggam.

Manusia itu makhluk yang rapuh, ingatannya makin menipis saban waktu, raganya pun bisa punah sewaktu-waktu. Karenanya, kita butuh “sesuatu” guna mengabadikan ingatan, lalu mengabdikannya  untuk kemaslahatan bersama. Bahwa mutiara kebijaksanan di lembar-lembar sejarah harus terus digali. Ia mesti dibaca, dikisahkan, dan direnungi maknanya yang terdalam. Lalu, anak cucu kita di masa depan, membacanya seraya menitikan air mata, mengingat leluhurnya yang luar biasa. Mereka menginsafi, bahwa warisan terbaik bukanlah harta dan tahta, melainkan kata-kata.

Zaman telah menggurui manusia, kita dan kata adalah mata yang menerawang masa lalu, kini, dan masa depan. Dalam kata-kata kita membaca peristiwa, pada masa lalu kita belajar kini, dalam proses itu kita mereka-reka masa depan.

***

Sabtu, 25 Desember 2021, masyarakat Bantaeng merayakan kembali geliat literasi. Adalah buku Empati untuk Kebaikan Baru yang jadi pemicu. Buku ini berisi catatan warga, ihwal Covid-19 dan banjir yang melanda Bantaeng beberapa waktu lalu. Ilham Syah Azikin, selaku Bupati Bantaeng dan Alto Makmuralto, sebagai Direktur Liblitera, menjadi pematik dalam perayaan ini, dipandu langsung oleh Rahman Ramlan, selaku Direktur Bonthain Institute. Para penghadir datang dari pelbagai penjuru dan latar belakang. Berkumpul dan berbahagia.

Peluncuran buku ini seolah menandai, bahwa meski Covid-19 tengah melandai, dan banjir telah usai. Rekaman sejarah jangan sampai selesai, entah dalam bentuk keluh kesah, optimisme, dan empati. Semuanya sah-sah saja. Buku ini, mengabarkan bahwa Bantaeng pernah tidak baik-baik saja. Kita sedang mencegah diri dari infeksi Covid-19, ketika banjir tetiba datang menyeret apa saja dan menghancurkan harapan-harapan kita.

Banjir yang mendera, tak hanya membawa air, tapi juga meluapkan empati sesama. Bantuan datang dari pelbagai penjuru, manusia menyemut di titik-titik banjir, membuat kita lupa sejenak bahaya lainnya: Covid-19. Sirkulasi dan mobilitas orang yang sulit dikendalikan, membuat benteng Bantaeng akhirnya jebol. Kasus pertama muncul setelah sekian bulan lamanya Bantaeng mencatat zero case. Tapi sungguh itulah yang menguatkan solidaritas kita. Begitu sedikit banyak, penyampaian Ilham Syah Azikin dalam pemantiknya.

Ini sejalan dengan teori U yang dituliskan beliau dalam pengantarnya, bahwa musibah yang datang akan menghempaskan kita ke ceruk terdalam, tapi sungguh dari sanalah perjalanan dimulai. Musibah adalah pemantik untuk kita berefleksi: membaca diri, membaca orang lain, membaca lingkungan, membaca tanda-tanda zaman, membaca apa saja. Kita kemudian sama-sama belajar, bergandengan tangan, dan menguatkan satu sama lain. Tak salah, jika dikatakan bahwa di balik pohon bencana, selalu ada buah hikmah yang bisa dipetik. Selalu.

“Semua mungkin pernah merasakan kondisi terpuruk, tapi pada saat keterpurukan itulah, akan melahirkan dan memantik kebersamaan dan inovasi untuk kita bangkit bersama-sama.” Tutup Ilham Syah Azikin.

Sedang dalam padangan Alto, buku ini memuat literasi kebencanaan. Baginya, tak bisa dimungkiri bahwa ini bukanlah bencana terakhir yang kita rasakan. Pandemi dalam bentuk ancaman virus akan selalu kita hadapi, mengingat gaya hidup manusia kekinian memang mudah mengundang hal itu. Pun dengan banjir, ini merupakan problem klasik yang akan terus berulang siklusnya, mengingat perubahan iklim dan eksploitasi alam yang dilakukan manusia.

“Buku semacam ini merekam peristiwa bencana yang akan dibaca oleh generasi berikutnya.” Lanjut Alto. Dengan pembacaan sejarah, kita berharap bahwa generasi selanjutnya bisa beradaptasi dan survive di masa bencana. Sehingga kita sebagai Homo Sapiens tidak menyusul Homo Neanderthal dalam bilik kepunahan sejarah. Di sinilah urgensi hadirnya buku Empati untuk Kebaikan Baru, agar kita bisa hidup dan terus bersuara di masa datang. Hingga generasi selanjutnya menjadi saksi bahwa kita pernah ada sebelum tiada. Bahwa masa lalu, adalah sebaik-baik guru.

Saya sendiri, selaku penyunting aksara, tentunya telah membabat habis semua tulisan sebelum dibukukan. Dan saya melihat betul bagaimana orang-orang menulis apa saja. Dengan menggunakan teknik free writing, mereka benar-benar memanfaatkan menulis sebagai medium ekspresi terdalam perasaan. Dan itu benar-benar baik bagi diri secara fisik dan psikis. Pengalaman traumatik dua bencana yang menghidu kita, ketika ditulis akan meringankan beban duka dalam diri.

Ini sebangun dengan hasil penelitian Dr. James W. Pannebaker yang menjelaskan bahwa menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam tentang trauma yang dialami, akan menghasilkan suasana hati yang lebih baik, padangan yang lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik. Inilah yang dimaksud dengan menulis sebagai terapi jiwa.

Misal, dalam salah satu tulisan, saya merasakan betul kekesalan salah seorang petugas kesehatan, melihat gelagat sebagian masyarakat yang meremehkan Covid-19. Atau tentang keresahan seorang guru yang membatasi perjumpaan dirinya dengan murid-murid akibat pandemi. Atau kisah seorang anak, yang menitikan air mata sembari menguatkan ibunya melihat kiosnya terendam banjir, hingga kain-kain jualan bermandikan lumpur.

Ada banyak kisah lain yang menyentuh, sekaligus menumbuhkan optimisme. Ketika membaca kisah-kisah ini, hati saya bergemuruh, mata kadang pula berkaca-kaca. Di situlah letak kekuatan buku ini, ditulis dengan kesungguhan hati, maka empati pun tumbuh dalam hati.

Akhirnya, buku ini hanyalah awal dari gairah literasi yang coba terus kita galakkan. Yakinlah, tidak ada tulisan yang sia-sia. Semuanya akan menjadi suara-suara yang yang mewakili zaman kita, yang pastinya akan tiba ke zaman berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Menulis itu bekerja untuk keabadian, kata Pram.

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221