Belasan tahun saya berkecimpung, bergaul, dan berinteraksi dengan anak-anak orang lain dari beragam usia, latar belakang, dan kelas sosial. Dan puluhan tahun waktu yang saya lakukan dengan anak-anak sendiri. Bidang pelajaran dan porsi waktu yang saya berikan pada anak-anak didik ini tidaklah seberapa. Hanya sekitar satu hingga dua jam dalam sehari kami bertemu selama lima hari kerja. Selebihnya mereka ada di sekolah dan rumah masing-masing, di bawah pengawasan dan tanggung jawab orangtua mereka.
Dari porsi waktu yang sedikit ini saya berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia kepada mereka. Sebuah proses yang tidaklah ringan. Ibarat berusaha menetralisir warna cairan di dalam sebuah gelas, saya hanya mampu memberikan satu sampai dua tetes air bening ke dalamnya. Sementara itu, anak-anak ini akan kembali ke rumah dan lingkungan masing-masing dengan pola asuh yang masih sama. Berhadapan dengan orang-orang dewasa yang masih terus mewariskan kata-kata dan perilaku peninggalan masa lalu. Semua yang dilakukan itu mereka anggap aman, biasa saja, tidak ada masalah, terlebih mereka melakukannya pada anak sendiri. Mengintervensi cara mereka mengasuh sama saja dengan turut campur urusan keluarganya. Bagi banyak orang hal tersebut dianggap tabu.
Ada kalanya ingin berteriak untuk melarang setiap kali mendengar orangtua-orangtua yang memaki, menghardik, melontarkan kata-kata tak senonoh pada anak mereka, namun apa daya, situasi dan aturan kemasyarakatan tidak mengizinkan seseorang terlalu jauh masuk ke dalam urusan rumah tangga orang lain. Terkecuali jika sudah menunjukkan adanya tanda-tanda penganiayaan fisik pada diri si anak. Jika harus menunggu munculnya tanda-tanda seperti ini, rasanya sudah terlalu terlambat untuk bertindak. Hal lainnya adalah saya bukan tipe orang yang senang memaksakan suatu keinginan atau ide kepada pihak lain. Saya lebih suka memilih jalur persuasif, memberikan pengaruh dengan tulisan, ceramah, dan perbuatan dengan cara yang santun.
Seperti suatu ketika, beberapa hari yang lalu, saya mengisi ceramah di sebuh komunitas majelis taklim tidak jauh dari tempat tinggal kami. Program yang digagas oleh pengurusnya tersebut, secara berkala meminta kesediaan salah seorang anggota majelis untuk bergantian mengisi ceramah agama yang dirangkai dengan kegiatan arisan bulanan. Saya pun dijadwal untuk memberikan materi di hari pertama tahun baru ini.
Karena terbiasa menghadapi orangtua-orangtua dari kalangan pembaca buku dan akademisi, maka saya butuh waktu berhari-hari untuk memikirkan tema yang pas dan dibutuhkan oleh mereka. Saya tidak ingin materi saya terlalu mengawang-awang sehingga menjadi sulit dipahami atau kahwatirnya kondisi keseharian mereka tidak sinkron dengan apa yang nanti saya sampaikan. Mirip dengan situasi belajar di kelas, manakala anak-anak disuguhi materi yang terlalu mudah, mereka akan cenderung bermain-main. Sebaliknya, jika terlalu sulit, mereka akan mengantuk dan pura-pura manggut-manggut seolah paham.
Alhamdulillah, acara tersebut berjalan lancar dan penuh antusiasme. Walaupun saat mengantar materi di awal, saya mengamati mereka belum banyak bersentuhan dengan soal-soal parenting atau pengasuhan dalam keseharian mereka. Hal itu terlihat saya bertanya, apakah ada yang sudah pernah mendengar nama-nama seperti yang saya sebutkan, sambil memperlihatkan cover buku yang saya maksud. Wajah-wajah di hadapan saya hanya menatap saja, tanpa ekspresi yang menunjukkan mereka sudah pernah mengetahuinya sebelumnya. Yang menggembirakan saat diskusi mereka terlihat menyimak dan bertanya penuh rasa ingin tahu.
Dulu, setiap kali saya selesai mengantarkan materi di hadapan sekelompok orangtua, saya pasti sangat berharap mereka pulang dan mempraktikkannya. Sesekali di akhir sesi saya akan meninggalkan nomor kontak yang dapat mereka hubungi sekiranya ada yang akan ditanyakan terkait materi yang kami perbincangkan. Sayangnya hal ini jarang berlanjut. Entah apa sebabnya.
Sekarang saya sudah tidak lagi terlalu banyak berharap. Saya sudah lebih rileks dalam mengajak orang-orang untuk paham dan peduli pengasuhan. Jika di antara mereka ada yang tergerak hatinya, dan merasa butuh untuk belajar soal ini, saya turut senang. Tetapi jika tidak, mungkin pengetahuan ini belum berjodoh dengannya.
Yang pasti manusia akan terus mencari hal-hal yang dapat membawa mereka ke situasi hidup yang lebih baik. Apabila masalahnya ada pada ketidakmampuan mengendalikan perilaku anak, maka perlu ditelusuri akar penyebabnya. Bukan hanya tahunya bereaksi marah setiap kali hal itu terjadi. Karena anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua pemarah, maka dewasanya pun ia akan menjadi pribadi seperti itu. Kecuali dalam proses perjalanan menuju kedewasaan si anak mampu menyadari dan segera belajar untuk bisa mengatasi segala kekurangan yang ada padanya, maka hidupnya dan hidup anak-anak yang menjadi tanggungannya akan terselamatkan.
Pengetahuan itu mahal. Ia tidak serta-merta hadir dalam pemahaman seseorang, tetapi melalui sebuah proses yang cukup panjang dan rumit. Pertama-tama, seseorang akan merasakan ketidakberesan dalam hidupnya. Khususnya yang berkaitan dengan masalah anak. Orangtua pun mulai melakukan pengamatan pada kejadian yang tidak mengenakkan tersebut. Dalam proses tersebut ia mungkin akan mengalami kebingungan, mencari hubungan gangguan dari perilaku yang salah tersebut dengan stok pengetahuan yang ada padanya selama ini. Jika ia tidak pernah belajar soal perilaku anak ini, baik dari media, diskusi, hasil bincang-bincang berkualitas dengan tetangga atau teman, belum pernah membaca buku-buku tentang pengasuhan ini, maka ia sulit menemukan solusinya. Akhirnya yang terjadi adalah stres yang berkepanjangan akibat ketidakmampuan mengatasi masalah yang muncul. Belum lagi persoalan-persoalan rumah lainnya. Yang makin hari semakin menumpuk. Kita semua bisa membayangkan bagaimana runyamnya suasana batin seseorang yang dirubung persoalan demikian banyak.
Untuk itu, jendela pengetahuan menjadi salah satu wahana untuk bisa meminimalisir potensi seseorang tertimbun masalah yang tentu akan berakibat pada menurunnya kualitas hidupnya.