Han Mira Kun

Sejumlah penghadir terkesan dengan tayangan twibbon ucapan selamat atas peluncuran buku, Empati untuk Kebaikan Baru, di Aula KPU Bantaeng, 25 Desember 2021. Ketika salah satu gambar menunjukkan seeokor kucing ikut memberikan ucapan selamat, tidak sedikit penghadir heran bin takjub. Lebih dari seorang ikut tersenyum lalu terkekeh. Lainnya, menabalkan ungkapan,  “Wow.. ommale, kungai nakke jeka. Oh mama, saya suka ini.”

Berlaksa detik usai hajatan, tidak sedikit yang mencari tahu dan bertanya, kenapa ada kucing? Siapa punya kucing itu? Sebagai penanggung jawab helatan, saya lalu mengajak yang bersangkutan agar mendekat. Lalu, saya memberikan penjelasan singkat, kucing tersebut merupakan kucing piaraan saya sekeluarga di mukim, Kota Makassar. Kucing itu mewakili, tepatnya salah seorang putri saya mewakilkan dirinya pada kucing itu.

Bagi kami di rumah, sudah sejak lama selalu ada binatang piaraan. Pernah ada kelinci, pun hamster. Bahkan ada putri saya, pernah membawa seekor anak anjing, titipan temannya buat dipiara. Namun, tidak berlanjut. Pasalnya, binatang ini kurang bisa diakrabi. Mungkin dikarenakan tradisi memelihara anjing tidak tumbuh sejak dini dalam keluarga besar kami. Alasannya sederhana, terkait dengan pemahaman keagamaan yang rumit jika tinggal bersama anjing.

Kucing peliharaan kami ini, agak unik. Mulai dari proses adopsi hingga tumbuh kembangnya. Sebelumnya, anak-anak di mukim suka pelihara kelinci, tapi usianya kadang tidak panjang. Padahal, pemeliharaannya sudah maksimal. Pernah seekor kelinci piaraan harus dibawa ke dokter hewan karena sakit. Ketidaksusesan memelihara kelinci, akhirnya beralih ke kucing. Jenisnya pun hanya kucing kampung.

Tatkala memelihara hewan piaraan, khususnya kucing, awalnya kami memperlakukan biasa saja. Berlangsung secara alamiah. Maklum, mukim kami di pinggiran bagian selatan Kota Makassar. Ada banyak kucing liar atau kucing kampung sering bertamu. Pastinya mencari makan. Ada interaksi, saling mengakrabi. Selanjutnya, ada yang mulai tinggal, meskipun masih sebatas di luar mukim.

Keakraban dengan kucing makin hari makin meningkat. Waima, ada anggota keluarga yang masih jaga jarak. Maklum, ia penderita asma akut, gangguan pernapasan. Secara teoritis harus menghindari kucing, sebab bisa menjadi pemicu kambuhnya asma. Sudah puluhan kucing kampung menjadi bagian dari keluarga kami. Pada setiapnya, ada nama dan hikayat masing-masing.

Nah, mungkin perlu saya kemukakan manfaat punya hewan peliharaan. Apa pun jenisnya. Dari berbagai sumber yang sempat saya telusuri, tersimpai pada beberapa pengetahuan, dapat meningkatkan kekebalan tubuh, meredakan stress, dan mendukung tumbuh kembang anak. Selain itu, dapat menemani lansia, memantik pemeliharanya untuk senantiasa aktif bergerak, dan meningkatkan kemampuan berinteraksi.

Bila hewan piaraan itu berbentuk kucing, seperti kucing kampung di mukim kami, maka ada ada beberapa kemewahannya. Mudah diperoleh, itu sudah pasti. Ia makan apa saja, perawatannya mudah, dan tahan penyakit. Lincah dan aktif, serta pemburu hama terutama tikus.

Manfaat memelihara hewan piaraan, khususnya kucing kampung, telah menubuh pada kucing kami yang paling mutakhir ini. Ia bukan kucing pertama kami, tapi hasil pilihan dari sekian banyak kucing di sekitar mukim. Awalnya, ia berindukkan seekor kucing yang dipungut oleh salah seorang dari kami. Sang induk sudah berkali-kali beranak-pinak. Saking seringnya, sehingga sudah melebihi populasi yang kami inginkan. Sudah cenderung mengganggu, kadang mereka menghadirkan suasana kurang nyaman. Terutama kencing dan berak di sembarang tempat.

Tindakan pun diambil. Ada musyawarah bersama anggota keluarga. Kata mufakat lahir, mengungsikan semuanya, kecuali menyisakan satu. Sang induk yang beranak empat, diungsikan bersama tiga anaknya. Dengan pelabur yang cukup, kami ungsikan di tempat strategis, memungkin mereka tetap survive. Toh, kucing kampung bin liar, punya sederet kemampuan untuk tetap hidup. Dan, tidak menutup kemungkinan dapat rumah baru.

Tinggallah seekor anak kucing. Masih belia sekali. Kucing ini dirawat sedemikian intens, hingga makin hari makin menunjukkan sari dirinya selaku kucing kampung. Putra bungsu saya memberi nama: Mira. Saya lalu mengatakan kurang tepat, sebab ia berjenis kelamin jantan. Putra saya tetap yakin seekor betina. Mungkin karena saya melihat bakal biji pelir di bawah lubang duburnya, tapi putra saya justru melihat bakal puting di perutnya.

Si Mira pun bertumbuh. Semakin kentara biji pelirnya dan semakin tidak menunjukkan tanda-tanda punya puting. Percakapan pun berlangsung buat memperkarakan nama yang kurang elok. Kucing jantan tapi dipanggil betina, aneh bukan? Persepakatan bulat, nama Mira tetap dipertahankan. Cuma perlu ditambahkan. Usulan dari putri ketiga saya, agar ditambahkan Kun. Jadilah Mira Kun. Lama kelamaan, putri kedua saya menambahkan lagi satu kata di depannya, mewujudlah Han Mira Kun. Saya menduga, putri saya itu jatuh hati pada Guru Han, sosok penutur dalam buku saya, Tutur Jiwa.

Kiwari, Han Mira Kun benar-benar telah menjadi anggota keluarga. Bahkan, ia telah masuk jadi anggota grup WA kami, yang berisikan enam orang. Nama grup pun dialamatkan padanya, “Hanmirakun Daily”. Ia senantiasa nongol di grup. Pasangan saya paling rajin mengunggah tingkah lakunya. Padahal ia paling rentan berdekatan dengan kucing. Sejak pasangan saya ikut program olah napas, buteyko, sepertinya berdekatan dengan kucing sudah bukan masalah. Malah si Mira telah jadi kawan setianya.

Setiap ada unggahan tentang si Mira, pastilah anggota grup bersahut-sahutan komentarnya. Terkadang ada yang minta divideokan, sebab mukimnya jauh di kota lain. Saya sendiri, kala sedang di rumah, sering main bersama. Ia kadang menemani saya tatkala menulis atau baca buku. Paling suka jika saya baring santai sambil dengar musik lewat ponsel, ia juga ikut menikmati musik. Han Mira Kun memang hanya kucing kampung, tapi tidak kampungan.   

Lalu, bijimane si Mira bisa ikut menampang di twibbon ucapan selamat kala peluncuran buku? Saya kutipkan saja unggahan seorang gadis bermukim di Bali, putri kedua saya, Nabila Az-Zahra, lewat akun medsosnya, “Karena jarang berfoto, maka fotonya diwakilkan oleh kucing yang kuanggap adik sendiri. Kesayangan kami di rumah, Han Mira Kun.”

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221