Di sebuah toko kelontong dua orang anak perempuan sedang berdiri menunggu dalam antrean. Mereka sudah ada di sana sejak sepuluh menit lalu. Pemilik toko yang melayani orang-orang tanpa bantuan pegawai, tampak kewalahan memenuhi permintaan kebutuhan para pembeli. Meskipun orang-orang dewasa di hadapan mereka semakin lama semakin berkurang, namun tampaknya tak juga kunjung ada tanda-tanda mereka akan dilayani. Setiap kali mereka hampir tiba di depan meja kasir, selalu orang dewasa yang berada di belakangnya akan mengulurkan uangnya kepada pemilik toko untuk segera didahulukan kebutuhannya dengan berbagai alasan. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, orang-orang ini menyerobot antrean dan mengambil hak anak-anak. Akhirnya dua anak kecil ini hanya bisa melongo pasrah, membiarkan orang-orang tersebut satu demi satu mendahului mereka. Padahal kebutuhan anak-anak ini hanya satu macam saja. Garam dapur.
Akhirnya setelah berhasil melewati perjuangan panjang berdiri selama lebih dari seperempat jam, mereka berdua berjalan gontai menuju rumah yang hanya berjarak setengah kilometer saja. Di bawah sengatan panas yang lumayan melelehkan keringat, mereka pun tiba disambut wajah ibu yang tampak sudah hilang kesabaran menunggu mereka kembali. Sudah bisa ditebak, kata-kata sambutan seperti apa yang menanti keduanya. “Ya ampun, kenapa beli garam saja lama begitu?” Belalak mata ibu dan semburan kalimat pedasnya semakin meluluhlantakkan perasaan anak-anak ini. Mereka sadar, alasan apa pun yang diberikan, kekesalan ibu tidak ada yang dapat mencegahnya. Semua kata-kata pembelaan yang sudah mereka persiapkan terhenti hingga batas kerongkongan saja.
Sebuah cuplikan fragmen yang berbeda. Seorang anak laki-laki usia SD akhir, setiap hari pergi dan pulang sekolah selalu diantar-jemput oleh bapaknya. Jika pada hari tersebut si bapak berhalangan menjemput, maka ia mesti naik bentor (hasil modifikasi antara becak dan motor) yang banyak mangkal di lingkungan sekitar sekolahnya. Bila sedang tidak beruntung, terkadang saat pulang, tak satu pun bentor berada di tempatnya. Mungkin mereka sementara mengantar pulang murid-murid lain yang sudah lebih dulu mencegat mereka. Dalam situasi demikian, ia terpaksa berjalan kaki beberapa ratus meter hingga nantinya bertemu bentor kosong di tengah jalan.
Menemukan bentor tidak berarti permasalahan selesai. Ia hanya boleh menaiki kendaraan motor roda tiga ini jika harga yang disepakati sesuai dengan nilai ongkos yang telah diwanti-wantikan oleh bapaknya. Tidak boleh melebihi biaya yang sudah ditetapkan. Kalau tukang bentornya ngotot dengan harga yang ia berikan, maka si anak mesti menawarnya hingga mentok. Jangan naik jika harganya lebih di atas. Kapan ia menyetujui harga yang lebih tinggi tersebut, maka sepulangnya di rumah, bapaknya akan marah besar dan mengomel hingga berjam-jam. Kadangkala di tengah rasa letihnya, si anak terpaksa berbohong dengan mengatakan ongkosnya sesuai dengan yang diharuskan. Padahal diam-diam ia menutupi selisih harga tersebut dengan menambahkannya dari uang jajannya.
Anak-anak seringkali berada dalam situasi penuh tekanan dari berbagai pihak. Mereka dilepaskan dan dibiarkan berjuang membebaskan diri dari orang-orang yang memandang remeh keberadaan mereka dan menjadikannya objek, atau seseorang yang boleh diabaikan perasaannya, tidak perlu didengar pendapatnya, dan tidak dipercaya perkataannya. Sebagaimana yang biasa kita saksikan ketika orangtua berbicara kepada mereka. Tampak jelas terlihat dari gerak-gerik dan sikap tubuh seseorang manakala sedang berbicara dengan anak-anak. Perhatikan saja dengan saksama. Bahkan boleh jadi, kita salah satu di antara orang dewasa tersebut.
Sungguh berat beban menjadi seorang anak. Dituntut terampil dan piawai mengerjakan sesuatu, tetapi tidak diajarkan bagaimana caranya. Tahu-tahu ada kesalahan dan mereka langsung dapat celaan dan teguran. Jika mereka bertanya tentang sesuatu hal kepada orangtuanya, jawabannya terkadang jauh dari memuaskan. Bahkan seolah mereka disuruh tutup mulut dan terima saja semua yang terjadi apa adanya. Kata-kata, “Pokoknya Saya bilang begitu, kerjakan saja!” Atau komentar, “Kau ini masih kecil, tahu apa!” Perlahan tapi pasti kita semua membunuh jiwa kritis yang ada pada diri mereka. Dengan membungkam banyak keingintahuannya sejak dini sekali.
Tidak terbukanya ruang belajar dan berdiskusi, tetapi di satu sisi berharap anak-anak bisa pintar dan cerdas. Akhirnya yang terjadi, saling lempar tanggung jawab antara rumah dan sekolah. Guru berharap anak-anak sudah diberikan fondasi pemahaman dari rumah, sementara itu orangtua menyerahkan tanggung jawab mencerdaskan anak-anak mereka kepada pihak sekolah.
Umunya orang dewasa menghendaki anak-anak pintar tanpa ada usaha untuk mengajarinya. Hanya segelintir orang yang mau bersusah payah meluangkan waktu, energi, dan segala dedikasinya untuk mengajar anak-anak. Jika tidak dilandasi sebuah misi kemanusiaan, membangun peradaban yang lebih baik di masa yang akan datang, maka kegiatan ajar-mengajar tentunya sangatlah menjemukan dan menguras stok kesabaran. Karena anak-anak adalah makhluk hidup bernyawa, berperasaan, dan berkebutuhan yang sama persis dengan kita manusia dewasa. Maka, mengapa kita harus membeda-bedakannya? Perlakuan seperti apa yang kita inginkan dari orang lain, maka seperti itu pula keinginan anak-anak. Tidak lebih, tidak kurang.
Wahai Kalian, Kaum dewasa.
Andai dapat kuberitakan sepenuh jiwaku.
Betapa batinku dahaga akan pengetahuan.
Yang dihantarkan dengan kasih.
Untuk disemai di ladang akalku.