Merontokkan Kulit Mati (Refleksi di Usia Paruh Baya)

Diperlukan banyak keberanian untuk melihat segalanya sebagaimana adanya, karena kita harus melepas begitu banyak pandangan yang berharga. (Ajahn Brahm)

Setengah abad menyusuri lorong waktu, bersua ribuan tantangan sungguh-sungguh suatu keberanian. Berbekal lentera yang sinarnya acapkali redup namun nyalanya tidak pernah dibiarkan mati. Banyak masa merasa letih ingin berhenti, namun pendar-pendar cahaya di ujung pandangan memompakan asan baru dalam jiwa. Berpadu dengan tekad yang sudah dibulatkan, juga ikrar yang telah dilangitkan.

Ketika pertama kali Tuhan melontarkan tanya, apakah hamba-Nya ini bersedia menerima segala konsekuensi dari ditiupakannya ruh ke dalam jasad? Menerima tanggung jawab mengemban sebuah amanah agung? Eksistensi diri hari ini adalah bukti persaksian itu. Karena bila tidak, Ia akan menyodorkan pilihan lain. Sebuah jalan pintas kembali sebelum perjalanan dimulai.

Melampaui alam rahim yang penuh kenaifan, Tuhan pun menganugerahi pendengaran, penglihatan, dan hati agar manusia menjadi makhluk bersyukur. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (Q.S An-Nahl : 78)

Berbekal Kasih Sayang Tuhan, perjalanan menempuh etape kedua ditempuhlah. Tumbuh besar di bawah naungan cinta dan kasih sayang kedua orangtua dalam bentuk dan ekspresi yang unik. Ia diajarkan untuk memahami. Walaupun banyak soal di antaranya yang masih samar-samar. Mereka menerjemahkan Cinta Tuhan dalam caranya sendiri. Bagaimanapun bentuknya, percayalah di sana ada niat luhur dan mulia untuk mengasihi.

Dalam kurun waktu yang sangat singkat menjadi anak, mencoba menyerap pengetahuan dan pengalaman dari ilmu-ilmu yang bertebaran di sekitarnya. Tanpa instruksi siapa-siapa, belajar keterampilan dari melihat, meniru, melakukan, dan mengalami. Pembawaan yang serius dan sungguh-sungguh dalam belajar mempercepat semua proses tersebut. Pantang mundur atau berhenti jika belum mahir. Kelak keterampilan-keterampilan ini menjadi sangat berguna dan menolongnya menjalani kehidupan selanjutnya. 

Saat ia belum sepenuhnya memahami kediriannya, kehidupan baru menggiringnya ke dalam sebuah tanggung jawab besar. Menyiapkan anak-anak masa depan yang bahagia dan penuh welas asih. Bagaimana ia akan mampu menjaga jarak antara pengalaman dan pengetahuannya? Banyak kebingungan, salah kaprah, salah tindakan, dan tak terbilang kesalahan lainnya. Tidak ada pilihan mundur atau lari. Ia harus menghadapinya dengan penuh keberanian, mencoba dan salah, belajar lagi. Kembali mencoba, lalu benar. Rasa bahagia dan syukur kerap mucul silih berganti dengan berbagai kekhawatiran. Sementara itu mencoba tegar di tengah pusaran arus yang tarik-menarik sungguh tidak mudah. Kesemuanya mengandung risiko kerusakan yang tidak ringan. Tak ayal, gesekan-gesekan acap terjadi demi terbangunnya kesalingpahaman satu sama lain. Kata Rumi, Tuhan mengharubirumu, dari satu rasa ke yang lain, dan mengajarmu hal-hal yang berlawanan. Agar kamu miliki dua sayap untuk terbang.

Rasanya tidak akan cukup waktu untuk membereskan segalanya soal hidup. Walau usia berlanjut hingga seratus tahun, seperti kata penyair Chairil Anwar. Selamanya akan muncul masalah meskipun ia dilakukan dengan penuh perencanaan. Maka dari itu, belajar melepaskan sedikit demi sedikit hal-hal yang tidak mampu ditangani akan meringankan beban yang ada di pundak. Agar cukup energi untuk melanjutkan perjalanan panjang.

Orang-orang yang kita kasihi sangat mendambakan kehadiran kita di sini dan saat ini. Bukan nanti, lusa, atau suatu waktu entah kapan. Bukan sekadar raga, tetapi rohani yang saling terhubung kuat satu sama lain. Jasmani boleh berjarak namun batin yang terjalin dalam balutan kasih sayang mampu meruntuhkan dinding-dinding waktu. 

Tiba pada titik usia emas hari ini semakin memunculkan sebuah kesadaran mendalam. Perihal ragam watak dan perilaku manusia dan orang-orang terdekat. Bagaimana mengundang simpati dan rasa damai di hati mereka dalam jarak dekat ataupun jauh. Seperti bunga yang menarik kumbang hinggap tanpa paksaan. Atau semut yang mengerubungi gula bukan karena dicelupkan ke dalamanya, melainkan karena rasa manis yang ada padanya.

Manusia tentu takkan hidup selamanya. Tetapi bertahan untuk tidak menyerah pada segala sesuatu yang disebut “nasib”, itulah kuncinya. Seperti pohon jati yang menggugurkan daunnya ketika musim kemarau tiba untuk mengurangi penguapan. Begitulah pula kita dalam usaha melanggengkan hidup. Merontokkan kulit-kulit mati dalam diri yang sudah tidak memiliki fungsi. Tabiat, perangai, cara pandang, dan semua yang dinilai buruk mesti dilepaskan.  Termasuk ketakutan, kesombongan, keserakahan, kemelekatan, atau keinginan berlebihan menyenangkan orang-orang yang kita sayangi, hingga mengabaikan hak atas diri sendiri. Kita harus melepaskan untuk bisa menerima kulit yang baru, seperti pohon jati yang menggugurkan daunnya pada musim kemarau. Diperlukan keberanian untuk melakukannya, ujar Ajahn Brahm.

Selamat datang kulit baru.

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221