Tubuh, Sekolah, dan Filosofi Berjalan Kaki

Membayangkan keterampilan seni dapat diuangkan secepat mungkin, hal yang paling mudah dilakukan untuk itu adalah menjual aneka gambar binatang kepada anak-anak sekolah dasar, dan ini Anda dapat lakukan tidak di tempat lain, selain di sekolah: tempat paling gampang menemukan kerumunan anak-anak. Jadi, Anda cukup menggambar beberapa binatang seperti gajah, burung, atau kukang, dan menggandakannya semampunya sebelum menjualnya ke anak-anak dengan harapan itu akan membuat mereka tertarik membelinya kembali, karena keesokan harinya, Anda sudah akan menjual gambar-gambar lain yang lebih menarik. Dengan kemajuan teknologi saat ini, kerja kesenian Anda akan bertambah jauh lebih mudah jika setelahnya memanfaatkan alat cetak print untuk mencari gambar-gambar lucu yang Anda copy dari internet.

Gagasan di atas seringkali terlintas di kepala saya, ketika hal-hal konyol lainnya lebih sulit dipikirkan dan dilakukan. Tapi, anak-anak tidak seperti orang dewasa, mereka menyukai apa yang dapat membuat diri mereka senang hanya karena mereka melihatnya.

Itu mengapa, di sekolah, setelah anak-anak belajar, yang sering kali membuat otak mengkerut lebih intens memikirkan pelajaran matematika dasar, atau kesulitan menghapal prembule Undang-Undang, membutuhkan suatu suasana lain untuk merilis rasa penat dan kebosanan belajar mereka. Di sekolah, jika Anda amati, jalan relaksasi bagi anak-anak itu cukup sederhana saja yakni perkumpulan aneka pemandangan di etalase ala abang-abang pedagang. Di sini lah melalui pajangan etalase itu, yang sebenarnya bisa berupa sepeda, tikar terpal, gantungan ”akuarium” plastik, atau beragam gerobak mini, yang di atasnya bisa menjajakan objek apa saja: ayam warna-warni, ikan cupang, penjepit rambut, siomay, ular tangga, burung pipit, dll., anak-anak menemukan kembali kegairahannya seperti biasa. Semua itu mengundang perhatian, meski terkadang aneka jajanan itu tidak fungsional, tapi di mata anak-anak justru karena itu lah sesuatu itu menjadi bernilai. Mereka semua cukup menghibur sebagai suatu permainan. Termasuk gambar-gambar yang Anda jual, untuk suatu saat mereka warnai sesukanya.

Di masa lalu, bagi saya, kepada pemandangan di luar sekolah semacam itulah yang memberikan peluang keceriaan dapat bangkit kembali. Di kelas, segalanya serba sulit, dan seolah-olah di saat itu kita menjadi bukan diri kita sebenarnya, hanya karena segalanya selalu dibayangkan melalui ekspektasi guru Anda. Di kelas, nyaris seorang siswa akan menjadi benda mati, yang menyerupai sistem kerja komputer karena perintah ”algoritma” guru. Kesadaran dan bakat Anda menjadi linear, terarah, diatur, dan sejenis. Tubuh Anda didisiplinkan lewat seragam sekolah yang mempengaruhi cara Anda berpikir, dan juga bagaimana kita menggunakannya.

Maka, ini ibarat dua dunia yang ambivalen: ruang kelas menjadi wakil otoritas yang lebih menginginkan keseragaman, keteraturan, dan dingin, sementara di seberang di luar kelas, semua keanekaan yang diwakilkan melalui jajanan nan menarik itu, adalah kenyataan sebenarnya, yang lebih plural, bergerak, dan bisa menjadi apa saja.

Sekarang proses belajar secara fundamental berubah akibat gempuran lingkungan teknologis, yang karena itu ilmu pengetahuan tidak lagi selalu terkait dengan gerak tubuh yang bergerak. Bagi anak-anak digital native, proses belajar di masa sekarang tidak mendorong tubuh mereka berpindah dari sekolah ke perpustakaan, dari satu lemari buku ke lemari buku lain, dan penglihatan mata tidak terlibat dalam proses kesadaran, yang terhubung dengan pergerakan jaringan syaraf di dalam otak saat mereka membaca buku. Buku-buku sekarang, hampir tidak dapat dijangkau karena peredarannya yang terbatas bukan karena jumlahnya yang minimum, tapi keinginan yang hampir hilang untuk membacanya.

Akibatnya, tidak ada petualangan dan pencarian menggairahkan dari satu judul buku ke penulis buku lainnya, dari satu forum ke forum ilmiah, mencatat dan menyalin, tidak ada aktivitas berupa pertanyaan yang memancing proses diskusi, semangat menyanggah dan memikirkan ulang jawaban berdasarkan analisis dari berbagai literatur.

Saat ini, semua itu dipangkas dan direduksi melalui sistem pengelolaan informasi berbasis bigdata dalam internet, yang dengan cepat bisa mereka akses melalui mesin pencari. Melalui kecerdasan buatan (AI), cara belajar generasi now tidak membutuhkan sama sekali proses berpikir, merenung, dan merefleksi. Di dalam kondisi itu, ilmu pengetahuan bukan by process tapi by results.  

Pendidikan by results tidak sulit Anda temukan, karena hampir semua orang di saat ini melakukan sesuatu dengan menginginkan hasil dari suatu usaha secepat mungkin. Di perguruan tinggi, kecerdasan tidak dapat lagi dikenal bagaimana bentuk dan prosesnya, karena hampir semua mahasiswa, mendambakan indikator capaian keberhasilan dari hasil akhir sementereng mungkin, tanpa merenungkan dengan seksama bagaimana cara mereka bisa melakukan sampai bisa mendapatkannya. Beberapa ahli ilmu sosial menyatakan fenomena semacam ini sebagai kecenderungan masyarakat modern yang dibimbing melalui proses intrumentasi akal budi untuk memenuhi keinginan-keingan gelapnya.

Dilihat dari kacamata di atas, proses belajar di masa sekarang tidak memungkinkan lagi membuat seseorang dapat hidup kreatif, intim, dan bebas, disebabkan ketergantungan fungsional yang tinggi terhadap ke-serbaada-an  dalam internet. Kemudahan atas teknologi membuat banyak kegiatan menjadi lebih mudah dan efisien, tapi di saat yang bersamaan banyak orang akhirnya kehilangan kegairahan dan intimasi atas apa yang ia sedang lakukan. Tom Nichols dalam suatu uraian di bukunya The Death  of Expertise, melihat gejala ini akan merusak cara seseorang mengelola informasi dan mendefenisikan kebenaran. Dengan kata lain, bukan saja ketergantungan fungsional, yang membuat hidup manusia jadi lebih praktis, relasi dalam modus berpengetahuan era digital, secara epistemologis juga banyak mengalami reduksi dalam derasnya arus pertukaran informasi, sehingga kebenaran dalam konteks ini bukan lagi kebenaran itu sendiri, melainkan hanya gelembung popularitas informasi, yang disangka sebagai kebenaran final.

Di suatu rapat seorang  kolega pengajar mengeluhkan mutu mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan berbahasa yang baik, yang saat itu ia maksudkan adalah struktur kalimat yang tidak koheren, acak kadut, dan tidak berstruktur saat mereka membuat menyusun baris demi baris paragraf. Setiap karya mahasiswa yang ia periksa nyaris semuanya tidak dapat disebut sebagai karya tulis, dan saat itu ia mempertanyakan kinerja pengajar bahasa indonesia karena mutu mahasiswa yang tidak memiliki kualifikasi sebagai seorang pelajar di tingkat perguruan tinggi.

Keluhan di atas tidak ada salahnya, dan memang kenyataannya  demikian sehingga saat itu ingin saya lengkapi keluhannya dengan mengatakan bahwa masalah sebenarnya lebih besar dari itu, dikarenakan problem ekspresi pikiran ke dalam karya tulis dihubungkan dengan masalah sebenarnya hanyalah merupakan efek. Soal sejatinya adalah eksistensi gagasan, rasa ingin tahu, dan mental ilmiah yang belum sepenuhnya menjadi habitus dalam lingkungan pendidikan mahasiswa. Karena jika ingin ditarik lebih jauh dan lebih fundamental, lingkungan pendidikan selama ini belum bisa mentransformasikan diri seorang pembelajar ke tahapan yang lebih dewasa, inspiratif, dan menggerakkan, dan semua itu masih kalah dengan daya tarik semua yang ada dalam dunia virtual.

Makanya ketakjuban saya tidak akan habis ketika melihat meja kerja seorang intelektual, pengarang, atau seorang pemikir, yang kurang lebih mencerminkan  kreativitas dan kedalaman pemikiran melalui geletakan buku-buku, kertas kerja, note-note di papan pencatat, catatan kerja, bulpen, lampu kerja yang jarang dimatikan, semuanya sedang menampakkan sesuatu yang sedang bergerak dinamis dan tanpa batas—sesuatu yang saya harapkan dilakukan oleh semua orang yang hidup dan terkait dengan dunia ilmu pengetahuan.

Itu semua menandakan sedang terjadinya suatu proses pencarian menyangkut secuil demi secuil informasi atau pengetahuan yang lebih terpercaya dan pasti. Pemandangan semacam ini masih jarang dihidupkan ke dalam cara mahasiswa menimba ilmu, dan akan semakin merangsang kerja otak jika itu sedang berada dan dikelilingi almari berisi koleksi buku-buku, yang khusus ditempatkan di ruangan tertentu, yang menjadi ruang pergumulan, suatu proses, suatu kerja panjang yang melibatkan ketelatenan, sendiri, dan mendalam.

Carla Hannaford, seorang pendidik yang mengajar berbasis otak menemukan suatu hubungan kausal antara tubuh yang bergerak dengan kerja otak, yang ia saksikan langsung dari seorang anak bernama Amy yang mengalami kerusakan otak akibat kekerasan fisik sebelum ia berusia 14. Amy bertubuh pincang membuat ia mesti menyeret kakinya saat berjalan, tidak mampu membaca atau menulis, dan terbata-bata ketika ia berbicara dengan orang lain, tapi sangat antusias dan penyayang, kata Carla. Akibat kekurangannya itu, di sekolah Amy ditempatkan di kelas khusus bersama dengan tiga orang anak lain yang mengalami ”kecacatan secara mental”.

Selama berminggu-minggu Hannaford memberikan keleluasan bermain agar tubuh anak-anak banyak bergerak. Kantornya, yang sebelumnya rapi dan tenang berubah menjadi arena bermain empat anak. Di minggu-minggu pertama Hannaford menggunakan pengajaran senam otak yang diperkenalkan Paul Denisson, seorang ahli brain gym, selama lima menit setiap hari. Gerakan-gerakan fisik sederhana ini akan merangsang frontal lobus, suatu bagian otak tepat di belakang kening yang banyak berfungsi untuk ucapan, perilaku, memori, emosi, dan kepribadian seseorang.

Mereka juga bermain di lapangan, berlarian, menendang-nendang bola, yang membuat Amy senang, menjerit-jerit, dan tertawa-tawa. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan mengobrol, bernyanyi dan menggambar, jika hujan tiba. Di lain waktu mereka mengarang cerita sesuka mereka dan menuliskannya ke dalam buku-buku catatan.

Seiring berjalannya waktu, Amy mulai mengalami banyak kemajuan. Ia semakin dekat dengan Hannaford, dan dari laporan dokter keluarga, Amy sudah dapat berbicara dengan menggunakan kalimat-kalimat panjang, sesuatu yang sebelumnya mustahil ia lakukan. Dua anak yang lain, juga mengalami hal yang serupa dan berhasil meningkatkan prestasi akademiknya di sekolah. Emosi mereka lebih tenang, dan lebih mudah diatur.

Sekarang cerita di atas dapat Anda temukan dalam bukunya berjudul Smart Moves: Why Learning Is Not All In Your Head, yang menyajikan temuan ilmiah kaitan peran tubuh dan otak, dari masa bayi hingga dewasa, bahwa gerakan tubuh yang aktif sangat penting untuk proses belajar, dan ilmu pengetahuan memang tidak melulu dimulai dari kepala, tapi juga sangat dominan dipengaruhi melalui geraka aktif seluruh sensor motorik tubuh.

”Duduklah sesedikit mungkin; jangan percayai ide apa pun yang tidak lahir dari udara terbuka dan dari gerakan kaki yang merdeka. Semua prasangka berasal dari aktivitas duduk diam. Hal itu merupakan dosa nyata kepada Roh Kudus.”

Kutipan ini berasal dari seseorang yang  sangat senang dengan udara yang jatuh dari langit yang cerah dengan banyak berkeliaran di atas lereng-lereng pegunungan Alpen. Dialah Nietzsche, yang seperti kebanyakan filsuf dunia, mulai dari Socrates, Rimbaud, Kant, Rousseau, Thoreau, dan Gandhi, senantiasa melakukan jalan kaki untuk menggerakkan syaraf-syaraf dalam otak mereka, membuat tubuh banyak bergerak mengalami suatu pengalaman untuk melawan ilusi kecepatan, dengan merekam, merenung, dan berpikir. Jalan kaki, bahkan dalam kasus Gandhi terpaut juga dengan ranah mistik dan politik.

Bagi seorang filsuf pejalan kaki, ada momen berharga yang menunggu seseorang untuk ia alami jika melakukan jalan kaki. Semua orang saya kira, tidak akan menjadi seorang filsuf jika masa tua tiba seperti anekdot selama ini, melainkan di saat berjalan kaki kesempatan itu dapat terjadi. Orang berjalan kaki berpeluang  masuk ke dalam suatu momentum waktu yang tiba-tiba melambat, intim, dan melekat. Di saat ini, seseorang dapat merenung tentang banyak hal, berpikir tentang apa saja lebih dekat melalui jarak penglihatannya sendiri.

Di negeri tropis seperti Indonesia, jalan kaki akan sulit menjadi kebiasaan yang menyenangkan, terutama jika itu ingin dilakukan di kota-kota.

Persentasi orang yang menyukai jalan kaki dengan pengendara di Indonesia masih jauh lebih kecil, dan fasilitas untuk pejalan kaki juga masih sering diabaikan karena ruas jalan yang tidak lagi mencukupi. Di kota-kota besar trotoar beralih fungsi menjadi bermacam-macam. Riset para peneliti dari Universitas Stanford di jurnal Nature, seperti dikutip Tirto. Id. menyebutkan bangsa Indonesia adalah negeri yang paling malas berjalan kaki. Jika rata-rata penduduk dunia menghasilkan 4.961 langkah per hari, Indonesia malah dibawah rata-rata dengan total hanya 3.513 langkah. Dibandingkan dengan negera lain, Indonesia menduduki urutan paling buncit dari 111 negara, dengan Hongkong sebagai urutan teratas dengan 6.880 langkah kaki perhari yang diteliti menggunakan aplikasi pemantau aktivitas Argus yang ada pada ponsel 717.000 warga dunia. Mungkin karena itu, di sini, sangat jarang lahir pemikir dengan kebiasaan seperti berjalan kaki untuk merangsang terbitnya gagasan segar.

Eric Weiner, dalam buku The Geography of Genius nya menyatakan rahasia mengapa di masa lalu bangsa Yunani bisa melahirkan tokoh-tokoh seperti Socrates atau Aristoteles karena mereka banyak mendapatkan keberkahan pikiran hebat melalui aktivitas berjalan kaki. Saat ini jika Anda melancong ke Athena misalnya, yang di masa lalu merupakan kota otonom, secara arsitektur akan banyak ditemukan lorong, jalan, dan perlintasan yang saling acak seolah-olah tidak beraturan dan asal dibikin saja. Kota Athena menurut Weiner dibikin seperti serampangan selain untuk menyesatkan musuh jika ia memasuki kota ini saat perang, juga menjadi sebab bahwa di Athena orang Yunani sangat suka beraktivitas di luar rumah. Dengan pola acak seperti itu, berjalan kaki akan membuat seseorang bisa bertemu siapa saja tanpa diduga dengan beragam aktivitas yang dilakukan di saat itu. Kata Weiner kota dengan tata ruang seperti di Athena merupakan kombinasi antara ”keteraturan dan ketakberaturan”—kombinasi antara rasionalitas dan irasionalitas.

Pasca membaca buku Weiner di atas membuat saya lebih memahami mengapa muncul adagium mens sana in corpore sano dalam ungkapan latin, suatu perspektif kesehatan tubuh dan jiwa yang pernah hidup dalam tradisi masyarakat Roma, bahwa gerakan aktif tubuh akan berdampak positif kepada jiwa yang sehat. Di dalam konteks masyarakat kiwari, meski adagium ini lebih sering diartikan ke dalam aktivitas olahraga, yang banyak mendorong masyarakat elite merayakannya dengan cara pergi ke tempat pusat kebugaran, untuk mengorientasikan tubuhnya menjadi lebih berisi dan ideal, masih akan sangat berpengaruh jika prinsip ini ditransformasikan juga ke dalam aktivitas berpengetahuan. Berpikir akan jadi lebih bertenaga jika didukung dengan arus energi tubuh yang berkeringat.

Belakangan ini muncul keinginan dari istri saya untuk berolahraga, dengan cara melakukan lari laun atau senam versi sumba, yang beberapa kali ia ikuti melalui dunia maya. Keinginannya  ini dipicu atas kesadaran terhadap tubuhnya yang mulai berubah tidak seperti dua tahun lalu. Karena itu, saya kerap menawarakannya agar rutin melakukan jalan pagi di sekitar lingkungan kompleks perumahan, sesuatu hal yang baik bagi tubuh kami berdua meski saya sendiri tidak pernah melakukannya. Di masa 80-90an, olahraga melalui SKJ (senan kesegaran jasmani) pernah menjadi ideologi kesehatan masyarakat di Indonesia. Di hari-hari tertentu sebelum masuk kelas, setiap siswa melakukannya secara serempak diiringi lagu pengiring. Sekarang, satu dua hari ini saya melakukannya lagi melalui youtube. Itu saya upayakan sebelum menulis, dan mungkin saja ide jenius seperti Weiner katakan akan muncul di waktu-waktu seperti itu.


Sumber gambar: bobo.grid.id

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221