Anggi, Imaji, dan Wajah Pendidikan

Kalau boleh jujur, sudah sejak lama saya menyenangi segala hal ikhwal seputar pendidikan—baik pendidikan sebagai diskursus, maupun pendidikan dalam arti kebijakan dan praktik kebudayaan. Mungkin sudah lebih dari 10 tahun saya tertarik dengannya. Sayangnya, saya tidak menggelutinya secara dalam dan serius. Karenanya, hingga sekarang saya merasa tidak begitu piawai apalagi expert dalam mengomentari banyak hal mengenai pendidikan.

Oleh karenanya, tulisan pendek ini rasanya tidak tepat untuk disebut resensi, barangkali lebih sebagai ajakan kepada majelis pembaca untuk mau berbagi wawasan, kegelisahan, dan refleksi mengenai pendidikan. Serta yang tidak kalah penting, yaitu ajakan untuk membaca buku bertajuk Imajinasi, Problematika, dan Kompleksitas: Wajah Pendidikan Indonesia anggitan dari Bung Anggi Afriansyah.

Tentang Penulis

Anggi—penulis buku ini—adalah peneliti muda di sebuah lembaga penelitian terkemuka Indonesia, yakni LIPI (BRIN saat ini). Di lembaga itu, Anggi dikenal sebagai salahsatu esais paling produktif pada tema pendidikan. Jauh sebelumnya, Anggi pernah melakoni profesi sebagai pengajar, baik di sekolah, bimbingan belajar, maupun di perguruan tinggi. Aliran nasib lah yang kemudian membawanya menjadi peneliti di lembaga ‘plat merah’ tersebut.

Seperti diakui dalam pengantar bukunya, Anggi menggeluti topik pendidikan secara serius didorong oleh setidaknya dua alasan elementer (hal.viii-ix), yakni pertama, alasan personal, Anggi memang tumbuh dalam ekosistem keluarga pendidik. Ibu dan bapaknya adalah guru. Langsung atau tidak, situasi itu membentuk dan mempengaruhi Anggi.

Lalu, setelah tamat SMA, Anggi kemudian melanjutkan studinya ke kampus LPTK, yakni Universitas Negeri Jakarta (eks IKIP). Disana Ia memilih prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Begitu meraih gelar sarjana, Anggi lalu melanjutkan studi magisternya di Sosiologi UI, sembari nyambi menjadi guru, tentor dan asisten dosen. Bila melihat rute perjalanan dan pergulatan Anggi, memang sedikit banyak berkait kelindan dengan pendididikan. Tidak heran Ia menjadi sangat akrab dengan tema pendidikan.

Kemudian kedua, yakni alasan subtansial. Sebagai generasi muda terdidik, Anggi tentu saja mengalami gejolak, dilema, kegelisahan, dan akhirnya terpanggil untuk menggelutinya. Bagaimana tidak, Anggi menyaksikannya sendiri, bahkan dari jarak yang cukup dekat mengenai situasi dan problem kebangsaan kita, seperti kekerasan, intoleransi, diskriminasi, terorisme, politik kebencian, pengabaian nilai karakter, marginalisasi kelompok minoritas, kesenjangan sosial dan banyak lagi. Kondisi ini membuatnya kian terpanggil untuk masuk lebih dalam dan menggelutinya secara lebih intim lalu menuliskannya. Pendidikan kemudian Ia pilih sebagai lokus dan fokusnya. Ia melihat pendidikan adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar dari problematika tersebut.

Perihal Buku

Buku ini saya terima (disertai tandatangan penulisnya) pada Februari 2022, tepatnya 22-02-2022. Tanggal cantik bukan? tapi bukan perkara tanggal cantik itu yang akan saya babarkan disini. Melainkan insight yang saya temukan setelah membacanya. Oiya, kalau boleh, izinkan saya berterima kasih lebih dulu kepada penerbit Pojok Cerpen & Tanda Baca karena menghadiahi saya buku tersebut, setelah ikut nimbrung dalam Bedah Buku yang digawangi oleh P2G dan Tanda Baca (Rabu, 19 Januari 2022).

Buku ini merupakan debut perdana Anggi secara solo. Sebab bukunya yang lain, Ia tulis dan terbitkan bersama kawan-kawannya. Karena itu, boleh dibilang inilah buku perdananya. Buku ini merupakan himpunan artikel pendek Anggi yang berserak dan tersebar di banyak media, baik nasional maupun lokal, cetak ataupun daring, yang ia terbitkan pada medio 2015-2019, misalnya di Harian Republika, Harian Media Indonesia, Koran Sindo, Koran Kompas, Koran Jakarta, detiknews, NU Online, Jawa Pos, Radar Tasikmalaya, dll.

Sesuai judulnya, keseluruhan artikel dalam buku ini menganalisis pendidikan dengan segala kompleksitas dan problematikanya. Tidak lupa, Anggi juga menarasikan imajinasinya tentang pendidikan yang humanis, yang egaliter, yang memerdekakan. Begitu juga imajinasinya tentang Indonesia yang lebih maju dan lebih makmur. Melalui artikel-artikelnya tersebut, Anggi berusaha menyajikan fakta bahwa pendidikan kita memang sedang tidak baik-baik saja, di beberapa bagian memang masih sangat buruk. Karenanya, melalui bukunya Anggi mengajak kita untuk menjadi bagian dari ikhtiar mengurai kekusutan dan silangsengkarut problematika pendidikan kita.

Buku setebal xii + 283 halaman ini memuat 52 artikel yang dikelompokkan dalam enam tajuk utama, yaitu (1) Wajah Pendidikan di Indonesia, memuat 8 artikel; (2) Problematika pendidikan di Indonesia, berisi 11 artikel; (3) Relevansi Ajaran Ki Hajar Dewantara dalam Konteks Kiwari, memuat 8 artikel; (4) Sekolah: Penguatan Dialog, Pancasila, Anti Kekerasan, berisi 12 artikel; (5) Menguatkan Siswa Membaca, berisi 6 judul artikel; serta yang terakhir (6) Pergulatan Pendidikan di Pesantren, memuat 7 artikel.

Sekalipun buku ini cukup tebal, tapi jangan terintimidasi karenanya. Sependek pengalaman saya membacanya, tulisan-tulisan yang ada di dalamnya sangat mengalir. Kita juga terbantu karena bisa memilah dan memilih topik yang ingin kita baca lebih dulu. Kesimpulan saya, Anggi memang sangat terampil menguraikan pikiran-pikirannya secara kritis dan reflektif. Tidak hanya itu, Anggi juga sangat piawai dalam memetakan situasi pendidikan kita kiwari dalam sudut pandang yang khas dan beragam, serta kemasan yang menarik dan menantang untuk dibaca.

Tak heran jika ia bisa menulis gagasannya secara lintas topik, misalnya dari masalah kebijakan pendidikan yang sangat normatif. Lalu berpindah ke isu minat baca siswa, kekerasan, politik kebencian, pendidikan kebangsaan, pendidikan di pesantren yang kesemuanya sangat sosiologis. Kemudian bergeser ke topik pendidikan yang dialogis, pendidikan yang egaliter, pendidikan yang memerdekakan, Pancasila di ruang kelas, dan masih banyak lagi yang kesemuanya sangat ideologis.

Lalu mengajak kita perlahan-lahan masuk pada gagasan-gagasan besar nama-nama seperti Ki Hadjar Dewantara, Driyarkara, Tan Malaka, Soekarno, Pram, Tilaar, Gus Dur, Roem, Quraish Shihab, Haryatmoko, Yudi Latif, dll. begitu juga dengan filosof dan pedagog kenamaan seperti Illich, Harari, Giroux, Freire, Mandela, Habermas, Gardner, Tom Nichols, Bikhu dan masih banyak lagi, diuraikan secara filosofis.

Sebelum menutupnya, saya ingin mengutip sepotong kalimat dalam salahsatu artikel di buku tersebut, yang berjudul “Membaca Sebagai Tugas Ilahiyah” disitu Anggi menulis ‘..membaca dapat membuka cakrawala, meningkatkan imajinasi, dan keluasan pandangan seseorang…’ saya kira itu benar adanya. Karenanya mari membaca, membaca apa saja—teks, konteks dan peristiwa—tentu saja termasuk buku ini.

Akhirnya sebagai penutup saya mengajak kepada hadirin pembaca, untuk bersama-sama menyelami buku Bung Anggi ini, dan lebih jauh dari itu ikut menjadi bagian dari usaha panjang mengembalikan pendidikan pada relnya yang semula, yaitu pendidikan yang memerdekakan—merdeka dari ketidaktahuan, ketertinggalan, kemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketidakberadaban. Demikianlah, saya tidak akan menyimpulkan apa-apa, sebab seperti yang saya sampaikan di awal, tulisan ini lebih sebagai ajakan untuk membacanya semata, bukan untuk mereviewnya.

Terakhir, selamat kepada Bung Anggi atas debut buku terbarunya. Terimakasih atas analisis dan sajian gagasannya yang apik dan menggugah. 

Tentang buku:

Judul: Imajinasi, Problematika, Kompleksitas: Wajah Pendidikan Indonesia

Penulis: Anggi Afriansyah

Penerbit: Pojok Cerpen & Tanda Baca

Tahun Terbit: Desember 2021

Halaman: xii + 283 hlm.

Kategori: Non Fiksi

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221