Sultan dan Minyak

Setiap orang menyukai cerita, dan seringkali berpikir melaluinya dengan mengabaikan fakta-fakta. Begitu pendakuan Yuval Noah Harari, sehingga manusia terkadang menemukan apa yang dia inginkan sebagai kebenaran tidak berkesesuaian dengan kenyataan sebenarnya. Firaun di masa lalu, menyukai cerita tentang kekayaan abadi yang bisa ia bawa pasca kematian. Caranya, di sekitar tubuhnya yang menjadi mumi, dikuburkan pula bermacam-macam harta benda untuk bekalnya. Tidak jauh di alaf itu, seorang umat Nabi Musa bernama Qarun, berimajinasi harta melimpah dapat menjadi sumber kebahagiaan setelah akhirnya ia ditenggelamkan bersama semua kekayaannya. Qarun seorang yang tamak, dan kisahnya sering disandingkan bagi si pencari harta karun—yang diambil dari namanya—sebagai orang yang serakah. Di kisah lain, Raja Midas dengan harapan yang sama diberikan keajaiban, tapi sebenarnya petaka setelah semuanya berubah akibat sentuhannya, membuat orang-orang di sekitarnya menjadi sebongkah logam kuning bernama emas.

Cerita mengenai kekayaan di mana pun dan kapan pun bukan jalan selamat, karena fakta-fakta siapa yang menghendakinya sama seperti bersemangatnya Firaun, atau Qarun saat mengejar kekayaan tanpa batas, akan berakhir ambyar.

Tapi, kerap di antara kita banyak yang tidak pandai memeriksa fakta karena kisah kekayaan jauh lebih menarik perhatian. Entah dengan embel-embel mistis sampai algoritma big data, kekayaan dari seseorang kerap ingin pula kita alami, meski jalan untuk sampai kesana dilakukan dengan cara cepat.

Pernah suatu masa tidak sedikit orang tertipu oleh sosok bernama Dimas Kanjeng, yang dipercaya memiliki kekuatan mistis bagai Raja Midas. Menurut cerita, hartanya tidak berasal dari mana-mana kecuali dari balik punggungnya, seolah-olah di belakangnya kekayaan mengikutinya setiap hari. Di atas kursi bak raja, ia dengan mudah mengeluarkan uang menggunakan kedua tangannya, yang karena itu ia diyakini memiliki karamah bagai seorang wali. Kisahnya lumayan santer sehingga banyak orang bukan saja ingin kaya belaka, tapi hijrah hidup bersamanya di kawasan yang dibikinnya berupa padepokan menyerupai pesantren.

Ternyata, Dimas Kanjeng tidak saja ingin terlihat seperti para nabi-nabi, yang memiliki mukjizat dengan kemampuan menghasilkan uang melalui telapak tangannya. Dengan citra yang dibuat-buat, sosoknya mengisi imajinasi orang-orang yang menginginkan ketentraman hidup. Menjadi sosok pemimpin bagi sekelompok orang yang mengharapkan bimbingan rohani. Tidak heran, seperti sudah diketahui, bahkan seorang tokoh intelektual juga terjerat perangkapnya, setelah—mungkin—mengalami gejolak pemikiran yang membuat jiwanya runyam.

Dari masa yang lebih lama dari itu, di antaranya seseorang pernah mati-matian berusaha merekrut Anda untuk menjadi anggota jaringan investasinya. Teman Anda menjadi militan tidak lama setelah bertemu banyak orang dalam suatu forum yang kebanyakan menggunakan setelan jas, yang sebelumnya berkembang desas desus satu di antaranya baru saja naik peringkat ”bintang lima”, dan karena itu berhak memiliki satu buah mobil mewah. Orang kaya baru ini, membuat banyak orang tercengang lantaran sebelumnya dikisahkan hidup susah. Tapi, karena giat mempromosikan produk investasinya hidupnya seketika berubah makin kaya raya.

Nyatanya, kisah orang sukses ini menjadi kisah kekayaan yang ingin juga kita alami melalui suatu mekanisme mengumpulkan orang sebanyak-banyaknya di bawah ”pohon menara kekayaan” kita. Dalam istilah saat itu, dengan bahasa canggih yang berbunga-bunga, orang-orang militan seperti teman Anda menyebutnya sebagai multilevel marketing (MLM).

Jadi, ini jaringan bisnis menyerupai piramida Firaun, yang membuat setiap orang mesti sampai di puncaknya dengan memanjat pelan-pelan dari, suka tidak suka, pundak orang di bawahnya.

Semua orang ingin kaya, dan begitu pula yang diinginkan seorang teman di masa lalu, yang berhasil mengajak saya menghadiri suatu pertemuan investasi di salah satu gedung bertingkat di Makassar. Semalam sebelumnya kami terlibat perdebatan mengenai konsep investasi dan jaringan kerjanya. Saya banyak mengajukan kritik, setelah belum lama baru lulus dari masa perkaderan organisasi mahasiswa. Saat itu tidak semua dengan gampang dapat saya percayai, termasuk iming-iming pekerjaan yang menurutnya lumayan menjanjikan itu. Singkat cerita pertemuan itu tidak berhasil membujuk hati saya, meski di forum itu banyak orang naik di atas panggung dengan testimoni macam-macam, tapi hanya satu inti pesannya: nasib hidup mereka seketika berubah total menjadi lebih sejahtera karena berusaha mengumpulkan banyak poin penjualan produk obat-obatan yang saat itu berasal dari Tiongkok.

Banyak jalan menuju Roma. Begitu bunyi pepatah selama ini, yang bisa Anda ganti artinya menjadi ”banyak cara mencapai kekayaan”, jika itu merupakan satu-satunya tujuan hidup Anda. Tapi, semua orang tahu, tidak ada jalan singkat menuju kota Roma. Di masa lalu, setiap jalan di wilayah ekspansi dari Afrika Utara hingga Asia Barat, yang terhubung langsung dengan imperium Roma sebagai pusatnya, berjarak ribuan mil, berbatu, sempit, dan berkelok-kelok.

Tapi apa boleh buat. Keadaan dengan logika hidup yang serba cepat mendorong seseorang menginginkan hasil dari tindakan yang cepat pula. Waktu adalah uang bukan isapan jempol belaka karena telah merasuki sampai di jantung kesadaran masyarakat. Paul Virilio, karena itu menyebut logika demikian sebagai tanda-tanda masyarakat mutakhir, yang telah mengalihkan persepsi realitasnya menuju realitas berbasis kecepatan. Siapa cepat dia dapat, yang berarti setiap peluang mesti dapat dimaksimalkan, meski terkadang itu dilakukan tanpa bimbingan moral sekalipun.

Realitas virtual juga menjadi sebabnya, membuat kecepatan menjadi satu-satunya indikasi kemajuan dari semua pengalaman manusia. Dalam keadaan ini, realitas fisik tidak lagi signifikan dalam memberikan makna kehidupan manusia, karena telah dihancurkan melalui citra virtual yang bersifat visual dan imajinatif. Sekarang, jika Anda mencari relasi penandaan terkait kebenaran, kebahagiaan, kesejahteraan, bahkan kekayaan, Anda tidak mencarinya ke dalam kehidupan ril di sekitar Anda, tapi langsung mengacu kepada penampakan citra dunia virtual, dan ini dapat Anda lakukan hanya sepersekian detik dari usaha sebenarnya jika itu dilakukan di dalam kehidupan ril Anda.

Belakangan ini entah dengan suatu cara, di media muncul orang-orang bergelar sultan, yang menandai kekayaan mereka nyaris tanpa batas. Gelar sultan ini, karena ulah media, telah menggeser pengertiannya dari masa lalu yang terkait dengan kekuasaan politik menjadi penanda kekayaan ekonomi. Tapi, meski berbeda konteks, baik sultan dari era pemerintahan kejayaan Islam dan era milenial, memiliki kemiripan berupa kemampuannya yang bisa melakukan apa saja. Dengan harta melimpah, kemana ia mengarahkan telunjuknya, apa pun akan segera menjadi miliknya.  

Para sultan ini, yang awalnya tidak dikenal publik—kecuali yang berasal dari kalangan artis—sering mengumbar kekayaan di muka umum, seolah-olah itu tindakan mulia yang layak dilakukan walau kemiskinan masih menjerat banyak orang di sekitarnya. Tapi, mereka tidak seperti Paman Gober si Donal Bebek, yang terkenal pelit meski kepada keponakan-keponakannya. Para sultan memiliki lumbung uang dari pekerjaan yang nyaris kelihatan tanpa usaha, tanpa perlu banyak menggunakan keringat, dan tidak terlalu memerlukan banyak tenaga, sehingga dengan gampang melakukan aksi bagi-bagi uang kepada orang-orang miskin yang mereka sebut sedekah. Mereka adalah Paman Gober versi yang lebih simpatik, yang memiliki uang bergudang-gudang bak tumpukan barang-barang rongsokan.

Lalu, jenis kekayaan para sultan ini berbeda dengan konsep kekayaan dari masa silam. Kekayaan dari masa lalu adalah kekayaan yang diasalkan dari kepemilikan properti berupa tanah, ladang minyak, atau usaha jasa. Jenis kekayaan ini, juga masih mengandalkan pekerjaan fisik, atau setidaknya melibatkan aktivitas gerak tubuh dalam skala besar demi menghasilkan energi yang kemudian diproses melalui kegiatan bernama kerja. Zaman industrialisasi merupakan era yang menggunakan prinsip ini, ketika tenaga manusia dikolektifkan secara besar-besaran di dalam pabrik-pabrik di bawah brand perusahaan multisektoral.

Tapi sekarang abad data, dan kekayaan berdasarkan versi dunia ini berbeda secara fundamental. Sekarang, seseorang dapat dengan mudah menjadi tajir jika pandai memanfaatkan dunia digital dengan menguasai hukum algoritmanya. Di abad digital, aktivitas tubuh tidak terlalu signifikan kecuali menggunakan informasi berupa suara, gambar, data, angka, simbol, atau statistik, melalui berbagai macam platform teknologi informasi. Kegiatan ini, dengan keunggulan konektivitas dan pembaruannya tanpa henti, melahirkan kumpulan data berskala gigantik dari berbagai macam sumber yang saling terhubung satu sama lain, sehingga jenis pekerjaan terkait ini akan jauh menjanjikan dari pekerjaan fisik seperti di masa sebelumnya (internet, youtuber, trader, selebgram, blogger, dll). Artinya, dengan mengutamakan kreativitas dalam mengolah seluruh informasi yang diproduksi secara terus menerus, Anda bisa mendatangkan penghasilan dari itu.

Sebagai realitas tersendiri, dunia virtual memiliki prinsip kenyataan yang bertolak belakang dengan dunia ril. Bahkan, secara ontologis ia tidak lagi terhubung langsung dengan kenyataan empiris, tapi sebaliknya lebih signifikan mempengaruhi alam persepsi dan reseptif masyarakat, yang karena itu pemaknaan atas kenyataan diacu dari realitas ini. Sehingga, apa pun yang dihadirkan dalam dunia ini—dunia virtual—akan menjadi ukuran yang mewakili kebenaran, seperti yang mereka harapkan sebelumnya.

Tapi, tidak semua yang disaksikan melalui pencitraan dunia virtual mewakili kejadian sebenarnya. Itu hanya simulasi, kata Jean Baudillard, seorang ahli dunia virtual, yang menyatakan simulasi tidak mengacu kepada apa-apa selain dirinya sendiri. Ia mengacaukan relasi tanda-penanda-tinanda, membuatnya tidak pasti sehingga setiap referensi yang ditujunya tidak sedang menyatakan apa pun. Itu artinya, apa saja yang sedang dinyatakannya hanya berupa tampakan buatan, yang tidak bermakna sama sekali.

Jadi, tidak semua kehidupan populis di dalam dunia virtual benar-benar terjadi. Para sultan, entertainer, selebgram, youtuber, atau para anak-anak muda yang serba kaya, tidak selamanya sedang menyatakan kenyataan sesungguhnya. Konsep kehidupan mereka sudah mengalami peluruhan antara yang faktual dengan yang virtual, sehingga bahkan kehidupan virtual lebih diutamakan dengan menampilkan setingan kehidupan yang serba glamour, high class, dan populis. Tanpa diketahui, luruhnya dua entitas pengalaman ini mengakibatkan kacaunya hubungan penandaan antara dunia ril dan dunia virtual, antara fakta dan buatan, dan antara pencitraan dan kenyataan sebenarnya, mengakibatkan tidak ada lagi kepastian yang stabil, bermakna, dan benar atas semua itu.

Akhirnya ini sama saja kemilau kekayaan yang selama ini tampak ternyata tidak berasal dari warna aslinya. Emas dapat berkilau hanya karena disepur pewarna. Hanya bungkus semata, tidak berisi sama sekali. Lalu, apa artinya kisah kekayaan yang dinarasikan sebagaian orang-orang kaya, setelah belakangan ini terkuak aksi tipu-tipu melalui trading para sultan selama ini, selain hanya gelembung balon yang ditiup makin lama akan pecah juga? Hanya surga visual, doang.

Syahdan, seperti banyak orang menyukai cerita-cerita menakjubkan, terkadang itu menjadi pelipur lara bagi mereka yang sehari-harinya kalah dalam pekerjaan, gagal dalam karir, atau kolaps saat mengusahakan sesuatu, apalagi itu terjadi dari sistem kehidupan sosial yang timpang dan tidak seimbang. Orang-orang kalah membutuhkan sesuatu untuk menyalurkan rasa kekalahan, kegundahan, kesusahan, atau bahkan depresi mereka, entah kepada sosok pahlawan yang bisa menjadi siapa saja, dengan syarat selama itu mewakili semua yang diinginkan, termasuk mengharapkan kekayaan yang serba cepat. Di saat inilah banyak orang akan melakukan setiap cara untuk keluar dari kemiskinan yang memang menjengkelkan, hatta denganmengikuti kisah sukses para konglomerat seperti para sultan. Tapi apa boleh dibilang, itu semua hanya rekayasa. Faktanya, kemilapnya polesan minyak belaka.

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221